Teror Bom dan Liputan Televisi yang Kacau

Bagikan/Suka/Tweet:
Soeyanto, Ph.D.

“Sungguh, tiap kali ada kejadian terorisme di Indonesia, media televisi memberitakannya tanpa melakukan sejumlah verifikasi informasi. Mana yang diperoleh, langsung dilontarkan. Teror pada Kamis 14 Januari ini pun semakin kacau. Stasiun televisi secara serabutan mengundang ‘pakar’ atau komentator yang yang tidak diketahui siapa mereka. Mereka melakukan justifikasi sana-sini yang terkesan mereka jauh lebih tahu dari aparat keamanan.

Sungguh saya tidak terkesan apalagi percaya dengan mereka. Media tidak gigih mencari sumber resmi. Bahkan menyebut nama gedung pun mereka salah-salah: Sarinah, Depan Sarinah, Starbucks Sarinah, Gedung Cakrawala, Djakarta Theatre, dll. Semua penyebutan ini keliru. Saya sempat menyaksikan di CNN dan CNN benar. Mereka menulisnya: Skyline Building yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, pihak gedung menyebut diri mereka sendiri dengan  nama Menara Cakrawala. Tidak ada itu sebutan Cakrawala Building atau Gedung Cakrawala!

Yang masih lumayan tepat, menyebutnya: Kawasan Sarinah. Jadi kalau mengumbar-umbar omongan komentator antah-berantah dan salah-salah menyebut lokasi, saya menganggap media adalah bagian dari teror itu sendiri karena, kalau kalian ingin menjaga bangsa ini, kalian harus menyampaikan berita dengan akurat!

Oh ya, ormas-ormas sudah-sudahlah berhenti mengutuk  teror semacam ini. Pegal telinga mendengarnya. Seolah-olah kalian takut dituduh mendukung kalau tidak ikut mengutuk. Toh kalian tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengusir terorisme. Yang terlihat malah pemimpin-pemimpin ormas mendapat panggung. Eksis di atas kengerian massa dengan mimik dianggun-anggunkan.

Seharusnya, marilah kita bersama-sama fokus bahwakejadian seperti pada  Kamis 14 Januari ini adalah: 1. Aksi teror, 2. Teror bisa dilakukan oleh siapa pun yg tak waras, 3. Meredam sikap radikalisme masyarakat, 4. Aktif menginformasikan pihak keamanan, dan 5. Jangan gampang percaya dengan televisi.

Kita juga tak perlu tahu apakah pelakunya dari ISIS, ISAS, ISUS, atau apalah, karena ini bisa bermuatan politis dalam konteks strukturasi dunia dan intelijen. Dus, banyak  teroris malah bertindak atas alasan agar labelnya eksis di media; biar ngetop (karena media senang meliput kejadian-kejadian mencekam).

Sesungguhnya yang kita harap adalah setiap aksi teror bisa dicegah sedini mungkin ditangani.”


Soeyanto, Ph.D, alumni The University of Melbourne, tinggal di Bandarlampung