Terungkap, Rekaman Detik-detik Jatuhnya Lion Air JT 610

Kotak hitam Lion Air JT 610 yang berisi percapan pilot dan co-pilot sebelum pesawat jatuh di perairan Tanjung Karawang, 27 Oktober 2018 lalu.
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Investigasi terbaru terhadap kecelakaan Lion Air Boeing 737 MAX pada 29 Oktober 2018 lalu mengungkapkan detik-detik terakhir sebelum pesawat dan seisinya terjun ke perairan Laut Jawa.

Dalam rekaman kotak hitam pesawat diketahui bahwa pilot dan awak kendali pesawat Lion Air JT 610 jenis 737 MAX digambarkan bersusah payah mencari informasi dari buku panduan setelah pesawat jet yang mereka kendalikan tiba-tiba menukik ke bawah.

Namun tak banyak yang bisa mereka lakukan. Mereka akhirnya kehabisan waktu dan terhempas seketika ke dalam lautan, menurut tiga sumber Reuters yang mengetahui isi rekaman suara kokpit pesawat itu.

Ini adalah pertama kalinya isi rekaman suara dari pesawat Lion Air yang nahas tersebut diperdengarkan.

Investigasi ini dilakukan setelah otoritas penerbangan Amerika Serikat Federal Aviation Administration atau FAA dan regulator lain menghentikan operasional model pesawat Boeing tersebut pascakecelakaan di Ethiopia pada 10 Maret 2019.

Kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET 302 terjadi hanya berselang sekitar lima bulan setelah pesawat Lion Air dengan tipe sama jatuh di perairan Laut Jawa.

Penyelidik tengah mencermati sejumlah faktor dua kecelakaan itu, di antaranya bagaimana komputer memerintahkan pesawat untuk menukik sebagai respons terhadap data dari sensor yang salah dan apakah pilot memiliki cukup pelatihan untuk menanggapi keadaan darurat dengan tepat.

Menurut laporan awal yang dirilis pada November 2018, Kapten pilot Lion Air memegang kendali penerbangan Lion Air JT 610 ketika pesawat itu lepas landas dari Jakarta, sedangkan co-pilot pesawat bertugas menangani radio.

Hanya dua menit setelah lepas landas, co-pilot melaporkan “masalah kontrol penerbangan” kepada pihak ATC (air traffic control) dan mengutarakan bahwa pilot bermaksud mempertahankan ketinggian di 5.000 kaki.

Co-pilot tidak memerinci permasalahan yang dialami, tetapi menurut seorang sumber, rekaman suara kokpit menyebutkan kecepatan udara. Sementara itu, sumber kedua mengatakan indikator menunjukkan adanya masalah pada layar kapten, bukan pada layar co-pilot.

Kapten pun meminta co-pilot untuk memeriksa buku panduan referensi cepat, yang berisikan daftar peristiwa-peristiwa abnormal, seperti dituturkan sumber pertama.

Selama sembilan menit berikutnya, pesawat itu memperingatkan sang pilot adanya kondisi stall dan otomatis meresponsnya dengan mendorong bagian hidung pesawat ke bawah, laporan itu menunjukkan.

Kondisi stall terjadi ketika aliran udara di atas sayap pesawat terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuatnya tetap terbang.

Sang kapten, dikatakan sumber yang sama, berjuang keras untuk menaikkan pesawat. Namun komputer, yang masih salah merasakan kondisi stall, terus menekan hidungnya menggunakan sistem trim pesawat. Normalnya, sistem trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.

“Mereka tampaknya tidak tahu trim itu bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Hanya itu yang mereka bicarakan,” ungkap sumber ketiga.

Ketiga sumber menuturkan bahwa pilot Lion Air JT 610 terdengar tetap tenang selama sebagian besar penerbangan. Sang pilot kemudian meminta co-pilot untuk menerbangkan pesawat sementara dia memeriksakan manual untuk mencari solusi permasalan.

Sekitar satu menit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki. Permintaannya ini disetujui, menurut laporan awal tersebut.

Saat kapten mencoba untuk menemukan prosedur yang tepat dalam buku panduan, co-pilot pesawat digambarkan tidak mampu mengendalikan pesawat itu.

Rekaman data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir dari co-pilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh kapten pilot.

“Ini seperti ujian dimana ada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75. Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time-out,” terang sumber ketiga, sebagaimana diberitakan Reuters.

Kapten kelahiran India itu pada akhirnya terdengar terdiam, sementara co-pilot asal Indonesia menyerukan “Allahu Akbar”. Yang terjadi sesudahnya tragis: pesawat itu menghantam perairan laut dan menewaskan total 189 orang di dalamnya.

Badan investigasi kecelakaan udara Prancis, BEA, pada Selasa, 19 Maret 2019 mengatakan, rekaman data penerbangan dalam kecelakaan Ethiopian Airlines pertengahan Maret ini yang menewaskan 157 orang menunjukkan “kesamaan yang jelas” dengan bencana Lion Air.

Sementara itu, Boeing Co. menolak memberikan komentarnya pada Rabu, 20 Maret 2019, karena investigasi masih tengah berlangsung. Produsen pesawat asal AS itu mengatakan ada prosedur untuk menangani situasi tersebut.

Kru yang berbeda di pesawat yang sama pada malam sebelum kecelakaan pada 29 Oktober mengalami masalah yang sama tetapi mampu menyelesaikannya, menurut laporan pada November. Tapi mereka tidak menyampaikan informasi tentang masalah yang mereka alami kepada awak pesawat berikutnya.

Sejak tragedi Lion Air, Boeing sebenarnya telah mengupayakan peningkatan perangkat lunak untuk mengubah seberapa banyak otoritas yang diberikan kepada Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, atau MCAS, sistem anti-stall baru yang dikembangkan untuk 737 MAX.

Penyebab kecelakaan Lion Air belum ditentukan, tetapi laporan awal menyebutkan sejumlah faktor di antaranya sistem Boeing, sensor, serta prosedur pemeliharaan dan pelatihan maskapai penerbangan.

Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi Soerjanto Tjahjono, pekan lalu mengatakan laporan itu dapat dirilis pada Juli atau Agustus ketika pihak otoritas berusaha mempercepat penyelidikan pascakecelakaan Ethiopian Airlines. Ia pun menolak mengomentari isi rekaman suara kokpit.

Tempo.co