Tiada Daging Sapi, Daging Rusa Taman Nasional Way Kambas pun Jadi

Barang bukti kepala rusa yang berhasil disita Polhut TNWK dari tersangka Sukirno pada awal Oktober 2013 lalu. (dok lampungpost)
Bagikan/Suka/Tweet:

PURBOLINGGO- Perayaan Idul Fitri 1435 H sudah berlalu. Meski begitu, masih ada cerita menarik terkait dengan Lebaran di Lampung Timur (Lamtim), terutama terkait dengan soal konsumdi daging.

Harga daging sapi yang bertahan tinggi, di kisaran Rp100 ribu-Rp110 ribu/kg jelas sangat memberatkan warga yang hendak merayakan Idul Fitri.Tradisi masyarakat dengan menyiapkan masakan dari daging sapi atau kerbau di hari raya sedikit terganggu dengan tingginya harga daging sapi.

Bagi yang berpenghasilan tinggi, mahalnya daging sapi tentu tidak menjadi masalah. Sebaliknya, warga yang berpenghasilan rendah, ini membuat mereka memutar otak untuk menyiasatinya. Misalnya  dengan mengurangi jumlah daging yang dibeli atau menggantinya dengan daging lain yang relatif lebih murah seperti ayam atau  bebek.

Bagi sebagian masyarakat Lampung Timur, khususnya warga desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), daging rusa juga menjadi salah satu alternatif untuk perayaan Idul Fitri.  Meski ilegal karena merupakan hewan yang dilindungi di TNWK, toh peredaran daging rusa masih marak. Maka, menikmati daging rusa saat Lebaran pun bukan menjadi hal yang aneh bagi mereka.

Pada Idul Fitri tahun ini, kata Entong, rusa buruan sulit didapat sehingga tidak bisa memenuhi pesananan pelanggannya. Intensifnya penjagaan oleh Polisi Kehutanan (polhut) TNWK membuat banyak pemburu yang enggan masuk hutan akan berkurang.

Ternyata, secara tidak langsung mahalnya harga daging sapi berimbas kepada kelestarian satwa rusa di TNWK. Rasa memiliki dan upaya turut melestarikan TNWK di kalangan warga masih rendah.  Apalagi, inisiatif untuk melindungi kekayaan satwa TNWK dari penjarahan.

Tidak terlalu sulit bagi warga untuk mendapatkan daging rusa. Calon pembeli bisa mendapatkan daging rusa dengan cara memesan lewat agen. Bisa juga memesan kepada warga yang terbiasa berburu di TNWK.

Penelusuran Teraslampung.com membuktikan, daging rusa biasa dijual dengan harga Rp 50.000 per kg, jauh lebih murah dari daging sapi yang mencapai Rp 100 ribu saat sehari sebelum Lebaran.  Meski teksturnya lebih kasar dibanding daging sapi, tetapi daging rusa tetap diminati karena  harganya murah.

Salah seorang agen daging rusa di Kelurahan Way Bungur, sebut saja Entong, mengaku biasa mendapat pasokan daging dari beberapa pemburu.  Ditemui Teraslampung.com di rumahnya, Kamis (31/7), Entong menceritakan praktik penjualan daging hewan yang dilindungi tersebut.

“Warga yang berburu biasanya masuk ke hutan berkelompok dengan membawa perangkap. Mereka bersepeda dan jalan kaki,” ujar Entong.

Entong mengaku, dirinya biasanya membayar kontan rusa yang didapat dari agen dan mengecerkannya kepada warga yang berminat.

“Hanya yang nekat saja yang masih berani. Tahun ini polhut lagi ketat, dan banyak yang tertangkap sebelum puasa kemarin,” tuturnya.

Menurut Entong, untuk bisa mendapatkan daging ini, pemesan tidak bisa mematok mendapatkan daging rusa pesanannya sehari atau dua hari menjelang Lebaran.  Untuk mensiasati agar daging tidak busuk, biasanya pembeli membekukannya di lemari es.

Entong bukannya tidak tahu praktik yang dia jalankan terlarang dan berisiko hukum.  Harga daging sapi yang tetap tinggi dan banyaknya pesanan membuatnya tergiur  berbuat nekat.

Menurut Entong, kalau harga daging sapi kembali normal ke Rp 60.000-75.000/kg, pesanan daging rusa

Pihak Balai TNWK sendiri bukannya berdiam diri mengatasi perburuan rusa di TNWK.  Berdasarkan data Polhut TNWK, tanggal 15 Oktober 2013, 5 (lima) orang pemburu warga Kecamatan Purbolinggo, berhasil ditangkap aparat Polhut TNWK.   Namun,  ternyata mereka hanya divonis ringan di Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur.

Penegakan hukum yang ‘memble’ terbukti memicu laju aktivitas  perburuan liar. Sejumlah warga di sekitar TNWK juga membenarkan masih banyak dari mereka yang berburu rusa.  Kalaupun ditangkap dan diadili, toh hukumannya rendah.

Menurut seorang warga di perbatasan TNWK, pada umumnya yang masuk ke hutan adalah mereka yang tidak memiliki lahan garapan di dalam hutan TNWK.

Masyarakat juga cenderung tidak mencegah dan menganggap hal tersebut tugas aparat. Terlebih bagi warga sekitar hutan yang berkonflik dengan TNWK, karena sering gagal panen akibat lahannya dirusak gajah TNWK.