Gunawan Handoko*
BULAN yang kedatangannya dirindukan umat muslim pun tiba. Insha’ Allah besok kita mulai melaksanakan ibadah puasa selama 30 hari di bulan Ramadhan. Inilah bulan pembelajaran yang penuh hikmah dan berkah serta ampunan dari Allah Swt. Salah satu di antara sekian hikmah dan rahasia ibadah puasa adalah memupuk semangat solidaritas, persamaan derajat, kasih sayang, kepedulian sesama dan kesetiakawanan sosial. Dengan hikmah dan rahasia ini, manusia dilatih agar dapat meminimalisasi sikap bakhil dan individualis dalam dirinya, untuk selanjutnya menjadi insan yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Selain kewajiban melaksanakan puasa, umat muslim yang berharta juga diperintahkan untuk membayar zakat fitrah, infak dan sedekah serta amal kebajikan lainnya. Maka ketaatan dan kepatuhan seorang muslim dalam menjalankan ibadah puasa dapat di ukur sejauh mana dirinya menunjukkan kepedulian terhadap kaum du’afa dengan membuang jauh-jauh sifat bakhil.
Jika kita mau berkaca secara jujur, tidaklah mungkin seorang fakir akan menderita kelaparan atau kekurangan sandang, kecuali disebabkan kebakhilan pada diri umat muslim yang berharta. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat kita bukan semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja, tetapi lebih diakibatkan dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural).
Semua terjadi karena rasa kesetiakawanan sosial diantara umat muslim khususnya sudah memudar sehingga terjadi jarak antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Maka apabila dana yang dihimpun dari zakat, infak dan sedekah dapat dikelola dengan baik dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta didistribusikan secara tepat, bukan tidak mungkin masalah kemiskinan dan kefakiran yang ada ditengah masyarakat kita akan dapat sedikit ditanggulangi atau paling tidak diperkecil.
Kebahagiaan hati pun dapat dirasakan para dermawan, selain dapat membantu kaum fakir miskin, juga telah berhasil menambal berbagai kesalahan individu selama menjalani puasa. Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah sebagai penyuci orang berpuasa dari perbuatan dan perkataan buruk serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.
Selain zakat fitrah, umat muslim juga diperintahkan untuk menyegerakan zakat harta atau maal. Zakat harta umumnya dibayarkan apabila menuai hasil atau panen untuk bidang pertanian, gaji dan honorarium, atau telah cukup hitungan setahun (haul) seperti zakat di bidang perdagangan. Meski demikian, banyak umat muslim yang memilih menunaikan zakat hartanya pada bulan Ramadhan. Harapannya tidak lain dalam rangka untuk meraih kemuliaan bulan Ramadhan.
Di dalam kondisi masyarakat yang tengah dihimpit berbagai kesulitan hidup, puasa memiliki pesan solidaritas sosial yang maha penting. Karena itu, ibadah puasa jangan hanya dimaknai sebagai sarana untuk meningkatkan kesalehan individu, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesalehan sosial. Artinya kesalehan diri dapat mendorong kita untuk membantu sesama.
Perlu diingat bahwa zakat bukanlah semata-mata urusan pribadi para muzakki (pemberi) dengan mustahiq yang menerima, tetapi menjadi urusan kelembagaan atau institusi yang secara tradisional dibentuk di hampir setiap masjid. Ini karena zakat adalah titipan umat yang harus dikembalikan kepada umat. Didalamnya terdapat unsur penghimpunan, penyaluran dan pelaporan yang transparan dan bertanggungjawab. Banyak manfaat yang dapat dipetik jika zakat (termasuk infak dan sedekah) disalurkan melalui Amil. Pertama, dalam rangka menjalankan petunjuk Al-Quran, sunah Rasullullah dan para sahabat serta para tabi’in.
Kedua, untuk menjamin kepastian dan disiplin bagi pembayar zakat. Ketiga, untuk menjaga adanya beban moral maupun perasaan rendah diri para mustahiq, karena harus berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
Keempat, untuk menjaga timbulnya sifat ’riya’ bagi para muzakki ketika menerima sanjungan dari para mustahiq atas kedermawannya. Jika hal ini sampai terjadi, maka sia-sialah amal kebajikannya di mata Allah.
Kelima, untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat sesuai dengan skala prioritas yang ada di wilayah kerja amil setempat. Selain manfaat tersebut, satu hal yang harus menjadi pertimbangan umat muslim adalah perlunya syiar Islam dalam rangka memperlihatkan semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami, meski kita sadar bahwa negara kita bukanlah negara Islam.
Sebaliknya, apabila zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahiq, meskipun secara hukum syariah adalah sah, tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat menjadi kurang bermakna. Terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat akan sulit diwujudkan, padahal kewajiban zakat bertujuan untuk dapat menanggulangi kemiskinan.
Rasulullah SAW dan para sahabat pada zamannya tidak pernah terjadi pemberian zakat dari muzakki langsung kepada mustahiq, melainkan disalurkan melalui badan amil yang dibentuk oleh Imam (pemerintah).
Kita wajib bersyukur karena hampir di setiap masjid pada bulan Ramadhan membentuk badan Amil untuk menerima dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah. Meski belum sepenuhnya memenuhi harapan, paling tidak dapat meringankan penderitaan dan kesulitan kaum miskin di lingkungannya.
Kesediaan melakukan pengorbanan untuk orang lain haruslah didasari demi mengharapkan keridhoan Illahi robbi, karena berkorban adalah sebuah ajaran tentang mengurangi kepentingan diri pribadi untuk kepentingan orang lain dalam rangka mencapai kemuliaan di hadapan Allah SWT. Memang, bukan hal yang mudah untuk menyadarkan kaum muslim yang berharta agar tergerak hatinya terhadap penderitaan yang dialami saudaranya sesama muslim.
Nyatanya, di penghujung Ramadhan masih banyak kaum muslimin yang tidak ikhlas menyisihkan hartanya sedikit saja untuk diserahkan kepada badan Amil. Yang terjadi justru sebaliknya, banyak diantara mereka yang membawa zakat fitrah dan sedekahnya pulang mudik ke kampung halaman, sekaligus sebagai upaya untuk mendapat pengakuan dengan menunjukkan jati diri sebagai orang yang telah sukses dan berhasil selama di kota. Akibatnya, banyak diantara muzakki yang ’memperlakukan’ zakat sebagaimana halnya infak dan sedekah.
Menurut terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Antara makna secara bahasa dan istilah berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang ( QS. At-Taubah: 103 dan Ar-Rum: 39). Karenanya patut menjadi ajang koreksi internal ketika mudik lebaran semata-mata dijadikan untuk tujuan pragmatisme individual dengan tradisi ’unjuk gigi’.
Niat mudik tak jarang juga diberi label dengan muatan menunjukkan jati diri dan status sosial pemudik berkaitan dengan prestasi, jabatan, gelar, kendaraan, harta, dan label materi lainnya, tak jarang ikut hadir sebagai bagian yang turut memperkuat alasan mengapa harus mudik. Kita harus belajar ’berani’ membedakan antara kewajiban zakat dengan infak maupun sedekah. Dalam menunaikan zakat, infak dan sedekah hendaknya kita ikhlas untuk menyerahkan pengelolaannya kepada lembaga Amil, tanpa harus berpikir siapa orang yang akan menerimanya nanti.
Mari kita jadikan Ramadhan ini sebagai momentum untuk mengobarkan semangat solidaritas sosial sebagai wujud kesholehan individu dan strategi muroqobah seorang hamba dengan Tuhannya, menambah kecerdasan dan kesalehan sebagai makhluk sosial. Karena sesungguhnya harta kita yang abadi adalah yang telah kita sedekahkan dan menjadi simpanan di akhirat.
Selebihnya merupakan milik Allah yang dititipkan kepada kita. Dengan menghilangkan sifat bakhil diharapkan akan menyempurnakan ibadah puasa dan menghantarkan kita untuk menggapai maqam tertinggi dihadapan-Nya sebagai hamba yang menyandang derajat muttaqin. Marhaban Ya Ramadhan.
*Pengurus IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Rajabasa, Bandar Lampung