Oleh : Zulfikar Halim Lumintang*
Pangan merupakan kebutuhan pokok umat manusia. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka pangan harus terpenuhi demi kelangsungan hidup.Lain negara, sangat dimungkinkan berbeda kebutuhan pangannya. Di Indonesia sendiri, tanaman pangan biasanya terdiri atas tanaman padi dan palawija. Karena kedua jenis tanaman itu yang dominan dikonsumsi penduduk Indonesia.
Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya bisa menjadi negara yang mandiri terhadap pangan. Tapi, kenyataannya tidak demikian, masih banyaknya produk impor yang masuk ke dalam negeri. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pasar produk pangan domestik rusak?. Sehingga daya serap produksi pangan petani lokal banyak yang terbengkalai.
Permasalahan impor berlebih, adalah masalah klasik yang dialami Indonesia pada situasi normal. Namun, saat pandemi, secara logika impor mungkin sudah dibatasi, karena pergerakan manusia juga dibatasi, demi memutus penyebaran pandemi.
Harusnya, ini menjadi kesempatan produk pangan domestik untuk merajai pasar negeri sendiri. Ekspektasinya, petani pun bisa hidup sejahtera dengan ludesnya produk mereka. Apakah demikian kenyataannya saat ini?
Tren Negatif NTP Tanaman Pangan
Selama awal pandemi Covid-19 hingga sekarang (Februari 2020-April 2020), Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) selalu menurun, atau memiliki tren negatif. Pada awal masa pandemi (Februari 2020) NTPP tercatat mencapai 103,76. Dalam kondisi ini, petani masih mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
Indeks Harga yang Diterima Petani (It) Februari 2020 mencapai 109,46. Indeks tersebut menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Komoditas yang masuk dalam hitungan adalah padi dan palawija. It dari komoditas padi mencapai 110,13 dan It dari komoditas palawija mencapai 108,37.
Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) Februari 2020 mencapai 105,48. Indeks tersebut menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk proses produksi pertanian. Ib terdiri dari Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) mencapai 105,83 dan Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) mencapai 104,53.
Pada Maret 2020, NTPP ternyata mengalami penurunan menjadi 102,41. Atau turun sebesar 1,30% dari bulan Februari 2020. Turunnya NTPP disebabkan oleh turunnya It Maret 2020 yang mencapai 1,11% dari Februari 2020 menjadi 108,25. Selain itu, Ib Maret 2020 mengalami kenaikan 0,20% dari Februari 2020.
Selanjutnya, pada April 2020, NTPP kembali mengalami penurunan sebesar 1,45% menjadi 100,93. Sama halnya dengan kondisi Maret 2020. Penurunan NTPP pada bulan April 2020 ini disebabkan oleh turunnya It April 2020 dan naiknya Ib April 2020. It April 2020 turun sebesar 1,34% menjadi 106,79. Sedangkan Ib April 2020 naik sebesar 0,12% menjadi 105,81.
Pada kondisi April 2020, NTPP hampir menuju titik impas (100). Artinya kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya. Dan hal ini sangat mungkin terjadi di bulan Mei. Jika pandemi tak kunjung usai.
Solusi Alternatif
Dengan kondisi seperti itu, tentu sangat miris apa yang terjadi di lapangan. Semakin kesini, bisa dibilang keuntungan petani tanaman pangan (padi dan palawija) di Indonesia semakin menipis ditengah pandemi.
Ya, mungkin hal tersebut adalah wajar, ketika melihat banyak sektor perekonomian yang lesu juga. Tapi, ketika masa pandemi belum jelas kapan akan berakhir, sedangkan kondisi petani semakin merugi. Lalu, siapa lagi yang akan menjadi pemasok pangan dalam negeri?
Kementerian Pertanian dan Bulog tentu bertanggung jawab penuh akan kondisi ini. Penyebab dari semakin menipisnya keuntungan petani pangan bisa disebabkan oleh kualitas produk yang semakin menurun juga. Ketika produk pangan, misalnya gabah memiliki kadar air maupun hampa yang terlalu tinggi, tentu pasar akan berpikir ulang untuk menyerapnya.
Alhasil, Bulog mau tidak mau harus menyerapnya. Setelah itu, Bulog mendistribusikan beras kualitas rendah tersebut dalam bentuk BPNT ke masyarakat miskin. Jadi, berputar-putar kesitu saja produk pangan yang di luar kualitas.
Pupuk merupakan salah satu faktor penentu baik buruknya kualitas produk pangan. Penyediaan pupuk subsidi berkualitas tinggi harus tetap berjalan ditengah pandemi. Kita semua yakin, bahwa petani pasti berkeinginan untuk menghasilkan produk yang baik, tetapi karena keterbatasan akses terhadap fasilitas yang memadailah jadi penyebab hal ini terjadi.
Selanjutnya, regenerasi petani juga harus dipikirkan sejak dini. Petani di Indonesia saat ini sudah didominasi oleh kelompok umur tua. Peremajaan petani diharapkan akan membuat pertanian Indonesia, khususnya tanaman pangan menjadi lebih modern. Kaum millenial yang memiliki bekal ilmu pertanian di dunia kampus dan internet pasti bisa memperbaiki kualitas produk pangan dalam beberapa tahun kedepan.
Ya, di tengah pandemi yang masih berlangsung ini, sikap saling empati harus dijunjung tinggi. Kita sebagai konsumen pangan, sudah selayaknya juga melindungi pahlawan pangan kita yang tetap berjuang memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
*Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara