Oleh Slamet Samsoerizal
Hari itu 10 Nopember,
hujanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali
memandangnya
Sambil merangkai karangan
bunga
Tetapi yang nampak,
wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnyaSepuluh tahun yang lalu dia
terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar
di dadanya
Senyum bekunya mau berkata:
aku sangat muda
Masih ingat cuplikan puisi kedua bait terakhir berjudul Pahlawan Tak Dikenal tersebut? Hampir setiap perayaan Kemerdakaan Republik Indonesia dan Hari Pahlawan, puisi tersebut menjadi puisi wajib bagi peserta lomba baca puisi.
Puisi yang ditulis oleh Toto Sudarto Bachtiar pada tahun 1950-an, seolah merupakan salah satu judul monumental yang terus diapresiasi generasi demi generasi. Kini penyair yang juga gemar memotret kehidupan sosial dan bersimpati kepada wong cilik itu tiada. Toto Sudarto Bachtiar menghembuskan napas terakhir pada 9 Oktober 2007.
Penyair Terbaik
Toto Sudarto Bachtiar (TSB) lahir di Palimanan Cirebon, Jawa Barat, pada 12 Oktober 1929. TSB memasuki pendidikan Cultuurschool di Tasikmalaya pada 1946, MULO bandung pada 1948 SMA Bandung pada 1950, dan terakhir pada 1952 tercatat sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
TSB mulai memublikasikan sejumlah puisinya pada 1950-an. Puisinya yang terkenal Ibukota Senja ditulis pada 1951. Sebuah puisi yang menggambarkan kehidupan Jakarta pada senja hari penuh dengan kerawanan. Masa produktif dalam menulis puisi, tampak pada 1953-an. Selama hidupnya, ia mewariskan sejumlah karya sastra baik karya asli maupun terjemahan.
Dua kumpulan puisi yang telah diterbitkan adalah Suara Kumpulan Puisi 1950 – 1955 (1956) dan Etsa (1958). Khusus kumpulan puisi Suara pada 1957 memperoleh Hadiah Sastra Nasional dari BMKN (Badan Musyawarah Kesusasteraan Nasional). TSB dinyatakan sebagai penyair terbaik.
Ajip Rosidi (1982:154-157) mencatat, nada umum puisi-puisi TSB murung, terasing. TSB senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang malang yang melarat. Dalam puisi-puisi yang ia tulis ada juga yang berfilsafat tentan nasib, waktu, kemerdekaan, maut, dan hidup dengan sikap aktif-terlibat. Ia memilikikecenderungan untuk menerima nasib dan bermain-main dengannya. Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya : //tanah air dan laut semua suara/ dan tanah air penyair dan pengembara//. Memang, TSB sebagai merasa sebagai seorang pengembara, pengelana yang gelisah.
Dalam puisi berjudul Keterangan, TSB merasa perlu memberikan catatan kepada HB Jassin, bahwa kuburan penyair ”Hanyalah nisan kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur” … //Tulisannya hanya nasib jari yang lemah/ … /Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai dimana dia akan tiba/Tapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak//.
Sang Penerjemah Andal
TSB dikenal pula sebagai penerjemah yang andal. Sejumlah naskah drama, kumpulan cerpen, dan novel para sastrawan dunia diterjemahkan. Sebuah upaya membanggakan pada masa itu sekaligus warisan berharga buat perkembangan sastra Indonesia.
Karya terjemahan TSB adalah naskah drama Pelacur (JP Sartre, 1954), Sulaiman yang agung (Harold Lamb, 1958), kumpulan cerpen Bunglon (1965). Kumpulan cerpen ini antara lain memuat karya Anton Chekov, Ernest Hemingway, dan Rainer Maria Rielke. Bersama Sugiarta Sriwibawa, menerjemahkan novel karya Breton de Nijs (1975) berjudul Bayangan Memudar. Pada 1976, TSB juga menerjemahkan novel karya Ernest Hemingway berjudul Pertempuran Penghabisan. Sejumlah naskah drama terjemahannya dan belum dikumpulkan kini berada di bank naskah DKJ TIM (Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki).
Subagio Sastrowardoyo dalam Sosok Pribadi dalam Sajak membandingkan antara Chairil Anwar dan TSB. Chairil Anwar berwawasan indo, sedangkan TSB berorientasi pribumi. Chairil berpegang pada Eros, Romeo, Juliet, Ave Maria,d an Ahasveros sedangkan TSB tetap berada di bumi sendiri. Dalam puisi Pernyataan –yang ditujukan kepada Chairil Anwar- TSB menulis:
semakin menjauh
tempatmu berkata kesekian kali
makin terbuka
bawah langit remaja biru pengap melanda
Menurut Sastrowardoyo, puisi tersebut menunjukkan sikap TSB yang tidak ingin meninggalkan bumi tempatnya berpijak seperti yang telah dilakukan Chairil Anwar. TSB lebih setia dan mesra menyatukan dirinya dengan nasib dan sikap hidup sesamanya. Ini seperti diungkapkan dalam puisinya berjudul Gadis Peminta-minta —yang banyak dikutip dalam buku-buku pelajaran sastra di SMP dan SMA.
Perkembangan kepenyairan TSB dilihat dalam hubungannya dengan Chairil Anwar adalah dalam hal bahasa persajakan Chairil. TSB sadar bahwa kekuatan Chairil tidak pada puisi, tetapi pada kerapian bahasanya (Damono, 2007). Akan tetapi, kerapian yang merupakan hasil dari pertarungan dengan bentuk itu memang tidak gampang dijiplak. Oleh sebab itu, banyak peniru Chairil hanya menghasilkan puisi gelap yang natara lain disebabkan ketidakmampuab penyair dalam berbahasa, suatu kecenderungan yang juga tampak pada beberapa sajak TSB di awal kepenyairannya.
TSB mengambil jarak menciptyakanbait-bait yang semakin lama semakin mirip nyanyian. Ia tetap mempertahankan simpatinya kepada kaum papa –tanpa kemartahan kepada siapa pun, dalam bait-bait yang rapi. Ia pun sempat menyanyikan puji-pujian kepada kemerdekaan dan kepahlawanan. Itu semua lebih berupa nyanyian, bukan gugatan atau ratapan.
jalan Toto Sudarto Bachtiar
jalanmu lempang ’nuju ke haribaan-Nya
yang penuh ikhtiar
kau isi dengan karya sastra bermakna