Budaya  

Tradisi Peta Kapanca pada Masyarakat Mbojo di Bima NTB

Peta Kapanca, tradisi Suku Mbojo di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Fatu Irniani Puspita

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai beragam budaya. Salah satunya adalah Peta Kapanca, tradisi upacara yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Bima, Nusa Tengga Barat.

Peta Kapanca merupakan salah satu ritual yang biasa dilakukan oleh calon pengantin wanita pada malam hari sebelum di berlangsungkannya akad nikah, dengan bertempat di kediaman calon mempelai wanita. Filosofi dari ritual mistis ini merupakan dua kata yang terdiri dari peta berarti tempel  dan kapanca berarti daun pacar yang ditumbuk halus. Dalam upacara peta kapanca calon pengantin wanita akan didandani dengan pakaian adat Bima dan didudukkan di antara tamu yang hadir.

Upacara Peta Kapanca adalah acara melumatkan daun pacar atau inai berwarna merah pada kuku-kuku sang mempelai wanita yang dilakukan secara bergantian oleh para wanita yang hadir pada acara tersebut. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda bahwa sang calon pengantin wanita akan segera menikah keesokan harinya. Selain itu, upacara ini juga memberikan pesan kepada para hadirin khususnya yang wanita. Bagi seorang ibu, upacara ini menjadi sebuah pengharapan agar putrinya bisa mengikuti jejak calon pengantin, sedangkan para gadis dapat menjadikan upacara ini sebagai contoh untuk segera mengakhiri masa lajang.

Upacara Peta Kapanca diawali dengan acara sangongo, yaitu mandi uap dengan beraneka bunga dan rempah atau mandi kembang yang kemudian dilanjutkan dengan acara siraman yang disebut dengan boho oi mbaru.

Dalam prosesi boho oi mbaru wanita sudah disadarkan bahwa wanita ini akan segera diakad dan akan melepas masa lajangnya.. Setelah itu dilaksanakan acara cafi ra hambu maru kai atau membersihkan, menata, dan merias kamar calon pengantin wanita. Selanjutnya memasuki acara utama, yaitu pelumatan daun inai pada kuku-kuku calon mempelai wanita sembari dilantunkan zikir kapanca yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT dan berharap agar pasangan calon pengantin bisa membangun keluarga yang sakinah, mawardah, dan warahmah. Acara diakhiri dengan rawa mbojo, yaitu nyanyian tradisional yang mengadung nasihat untuk calon pengantin sambil diiringi oleh alunan musik hingga menjelang pagi hari.

Dalam hal ini tergambar adanya rangkaian bunga-bunga telur yang pada saatnya nanti akan diperuntukan pada Ibu-ibu yang masih memiliki anak gadisnya, yaitu telurnya untuk dimakan oleh anak gadisnya sedangkan rangkaian bunga dijadikan hiasan pada kamar anak gadisnya.

Itulah sebabnya upacara kapanca ini merupakan dambaan para ibu dalam masyarakat Bima, di mana mereka mengharapkan puteri-puteri mereka segera melewati upacara yang sama yang menandai hari bahagia mereka. Maksud dan tujuan pengantin wanita dilumuti dengan daun pacar pada kuku kaki, tangan dan telapak tangan pengantin wanita tadi menandakan diri mereka yang tadinya bermanja-manja dengan memanjakan kukunya dan bermalas-malasan. Dengan begitu, sejak upacara peta kapanca si pemilik  tangan dan kaki yang mulus ini dikotori dengan daun pacar ini memberitahukan kepada kita semua anak kita ini/adik kita ini mulai berkerja keras dan rajin demi mencapai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera mawadah warahmah dunia akhirat.

Hingga saat ini, tradisi Peta Kapanca masih erat melekat dalam kehidupan masyarakat Bima pada umumnya, Peta Kapanca akan dipertahankan sebagai warisan Budaya yang terus dilestarikan.***

*Mahasiswa FKIP PGSD Universitas Sarjanawiyara Tamansiswa, Yogyakarta