Nurwidiah
Rimpu merupakan pakaian yang menutup aurat bagi masyarakat Suku Mbojo di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Rimpu memiliki banyak manfaat salah satu di antaranya yaitu dipakai pada saat menghadiri acara resmi.
Mayoritas masyarakat Suku Mbojo dalam mengembangkan nilai adat istiadat dan tradisi budaya menggunakan Rimpu untuk menunjukkan identitas dan ciri mereka kepada masyarakat luar sehingga Rimpu sejak dahulu dikenal sebagai penguat keagamaan masyarakat Suku Mbojo.
Penggunaan Rimpu pada zaman dahulu merupakan suatu kewajiban bagi kaum perempuan Suku Mbojo, Rimpu harus dipakai ketika mereka keluar rumah. Merupakan suatu pelanggaran bagi perempuan Suku Mbojo yang tidak menggunakan Rimpu saat beraktifitas di luar rumah, sehingga perempuan Suku Mbojo selalu menggunakannya.
Keyakinan dan kepercayaan perempuan Suku Mbojo terhadap nilai-nilai yang terkandung pada Rimpu menjadikan mereka kokoh dalam menegakkan nilai agama.Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin, peradaban Islam di Dana Mbojo sangat berkembang dan berjaya. Salah satunya dengan tetap mempertahankan eksistensi Rimpu sebagai salah satu budaya Bima yang khas.
Rimpu digunakan oleh mereka yang sudah balig atau menikah, dalam agama atau trend sekarang disama artikan dengan kerudung. Namun pada beberapa refrensi, kerudung di Indonesia baru terkenal pada tahun 1980-an. Rimpu memiliki multifungsi dalam menyikapi jamannya pada saat itu. Pertama, Rimpu merupakan identitas keagamaan, sehingga pada bagian ini dengan adanya perkembangan dakwah di Bima yang cukup pesat, maka kaum wanita mulai mempelajari dan memaknainya sebagai suatu nilai-nilai luhur.
Kedua, Rimpu dikombinasikan dengan budaya lokal masyarakat pada saat itu yaitu kebiasaan menggunakan sarung tenun dalam aktifitas sosial. Intergrasi ini menjadikan icon budaya Bima yang mulai berkembang. Ketiga, proteksi diri kaum hawa ketika melakukan interaksi sosial. Klimaks kondisi ini terjadi ketika jaman kolonial Belanda dan Jepang. Keempat, Rimpu merupakan alat pelindung terhadap kondisi lingkungan yang buruk, di sisi lain juga pembajakan makna dan budaya.
Rimpu, terdiri dari 2 model, yaitu pertama Rimpu mpida. Ini khusus buat gadis Bima atau yang belum berkeluarga. Model ini juga sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti gerak-geraknya dibatasi. Hal ini menunjukkan budaya yang diciptakan oleh para mubalig sudah mengakar sampai pelosok desa. Namun dengan modernisasi yang salah diartikan membuat identititas tersebut rapuh termakan jaman, sungguh menyayangkan.
Kedua Rimpu colo. Rimpu jenis ini diperuntukan buat ibu-ibu rumah tangga. Toleransi agar mukanya sudah boleh kelihatan oleh masyarakat luas. Di pasar-pasar tradisional, masih bisa ditemukan ibu-ibu yang memakai Rimpu dengan sarung khas dari Bima (tembe nggoli).
Tradisi Rimpu masih memiliki eksistensi yang kuat dalam keseharian kehidupan masyarakat Suku Mbojo di Kabupaten Bima, dukungan dari masyarakat Suku Mbojo serta pemerintah sangat diperlukan dalam menjaga eksistensi Rimpu guna mempertahankan budaya lokal masyarakat Suku Mbojo di Kabupaten Bima.***
Nurwidiah, Mahasiswa FKIP PGSD Universitas Sarjanawiyara Tamansiswa, Yogyakarta