Tsunami Nir Empati

Dampak tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 di Desa Pulau Sebesi
Dampak tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 di Desa Pulau Sebesi
Bagikan/Suka/Tweet:

Pada Kamis, 27 Desember2018 sepasang remaja warga Bandarlampung dihujat dan terancam diproses hukum karena menunjukkan rasa tidak memiliki empati terhadap para korban tsunami Selat Sunda di wilayah pesisir Kalianda, Lampung Selatan.

Dilihat dari gayanya, sepasang remaja itu bukan berasal dari golongan keluarga susah. Dengan enteng mereka mengatakan tidak perlu membantu korban tsunami di Kalianda.

Celotehan yang mungkin sekadar bercanda atau iseng langsung menuai reaksi publik dunia maya. Reaksi begitu cepat ketika ada aksi yang menurut tata krama masyarakat tidak patut.

Mungkin benar anak remaja itu salah dan layak menerima ‘ganjaran’. Namun, sebagian dari kita acap tidak menyadari bahwa sebagian dari kita juga kerap kehilangan rasa empati dalam topik bahasan yang sama. Dalam topik tentang musibah tsunami Selat Sunda, banyak yang berpangku tangan sembari rajin menyebarluaskan ‘perang opini’ soal siapa presiden Indonesia paling peduli bencana,

Ada pula bombardir foto dan meme bernada olok-olok tentang kepala negara yang datang menyambangi lokasi tsunami ‘hanya untuk berselfie ria’. Terasa mak nyus ketika diimbungi dengan kesaksian korban yang marah-marah karena ‘kelakuan presiden’ yang hanya suka pencitraan. Bencana jadi perbincangan pro-kontra seolah-olah di negara ini isinya cuma kecebong dan kampret yang selalu berseteru memperebutkan kebenaran dan cap paling  hebat.

Yang ‘berantem’ bukanlah cuma para remaja. Pembela mati-matian Jokowi dan Prabowo dalam Pilpres 2019 dan hobi ‘mengampretkan’ dan ‘mencebongkan’ lawan adalah orang-orang dewasa juga.

Mereka — orang–orang dewasa– juga tanpa rasa sungkan dan malu-malu lagi mempertontonkan laku lajak yang tidak sepantasnya mereka lakukan karena profesi atau jabatan yang melekat diri mereka. Agak lucunya, sikap lajak itu hanya tersebab oleh pilihan politik.

Itu hanya satu contoh betapa saat ini sarkasme, hilangnya rasa empati, lenyapnya rasa tenggang rasa dan saling menghormati tidak melulu dialami kelompok usia remaja.

Maka itu, khusus bagi kita yang sudah tidak muda lagi dan masuk dalam barisan orang terhormat karena profesi dan jabatan, ada baiknya juga berintrospeksi sebelum ‘menghajar’ abege dengan cap ‘kurang ajar’ dan tidak punya empati. Dari mana sepasang remaja itu bersikap nir empati seperti itu terhadap saudara-saudara kita yang sedang dirundung musibah?

Di luar soal sepasang remaja yang nir empati terhadap korban tsunami, saya yakin masih banyak remaja yang hati nurani ‘terasah’. Mereka bergerak tanpa dikomando orang tua mereka atau guru dan dosennya untuk mengumpulkan donasi yang akan mereka sumbangkan kepada para korban tsunami Selat Sunda. Hal itu bisa kita lihat di sejumlah tempat keramaian atau di sekitar lampu pengatur lalu lintas di Bandarlampung dan beberapa daerah di Indonesia.

Oyos Saroso H.N.