Oleh: Sudjarwo*
Dua kata itu di era tahun limapuluhan sangat akrab di telinga orang Indonesia; bersamaan dengan juga kata: patik, hamba, sahaya, mashur dan masih ada beberapa lagi. Semua itu populer pada zamannya. kata itu bagi mereka yang mendalami Bahasa Indonesia merasa tidak asing karena merupakan serapan dari Bahasa Melayu. Sejauh kaidah serapan itu dipenuhi; maka tidak akan menjadikan persoalan.
Pertanyaannya, mengapa dua kata itu dijadikan judul tulisan dan akan dibahas apanya? Sepintas dua kata itu baik baik saja dan tidak memiliki keistimewaan apapun. Namun jika kedua kata itu dikaitkan dengan peristiwa atau personal pendukung dari kata tadi, maka akhir akhir ini riak gelombang perpolitikan bangsa agak sedikit bergejolak, walaupun hanya pada sisi kecil laut kehidupan.
Dua kata itu ternyata mengguncang beberapa kelompok dalam masyarakat yang merasa punya kepentingan untuk suksesi pada tahun 2024. Dua kata itu dijadikan simbol untuk menaungi ideologi dari suatu sistem berfikir kolektif; sehingga kemudian memunculkan jargon sebagai pengikat emosi antarmereka.
Tampaknya dalam alam bawah sadar sosial pada masyarakat kita selama ini tidak dihidupkan berpikir alternatif semua dibuat linier sehingga saat garis linier itu harus berhenti pada satu titik, karena hukum sosial yang dibuat mengharuskan berhenti. Maka yang terjadi adalah kebuntuan berpikir pada saat berhadapan dengan keterusan atau keberhentian dari suatu sistem.
Berpikir alternatif, untuk sebagian orang; seolah sesuatu yang keluar dari pakem yang ada, dan ini dianggap sebagai pelanggaran yang serius.Menjadi lebih serius lagi bahwa fatwa Ketua Umum seolah hukum tuhan yang mengikat para wadyabala. Sementara untuk sebagian kita; terutama generasi millennial, berpikir alternatif merupakan penciri bagi mereka. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin generasi millennial akan meninggalkan generasi yang tidak sejalan dengan pakem yang mereka anut.
Kondisi ini tentu sangat membahayakan untuk keberlangsungan organisasi kepartaian di Indonesia. Bisa jadi konsep partai menurut mereka sama sekali berbeda dengan konsep konvensional seperti yang kita anut sekarang ini. Definisi standard yang menyatakan partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan umum.
Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Menilik konsep dasar seperti di atas; tentu celah gugatan oleh kelompok millennial sangat terbuka sekali; terutama berkaitan dengan gambaran idea mereka tentang negara, tentu akan sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap dunia perpolitikan. Jika ini tidak disadari oleh para ideolog partai, terutama berkaitan dengan kaderisasi; maka tidak menutup kemungkinan keanggotaan mereka, baik yang berbasis ideologi maupun massa, akan mengalami kemunduran jumlah maupun kualitas kader. Spektrum generasi milenial tentang konsep bernegara bisa jadi jauh melampaui apa yang dipikirkan oleh para ideolog partai.
Pendidikan politik model pertunjukan Tuan dan Puan tentu tidak menguntungkan bagi keberlangsungan suatu organisasi, sama halnya dengan membuat sempalan partai karena tidak terpenuhinya sahwat politik dari sedikit orang. Tentu untuk jangka pendek masih dimungkinkan, karena ada rasa kebersamaan ideologi dan usia pada masanya; namun setelah itu nanti akan terjadi perubahan sosial yang besar karena beda pandangnya kaum milenial.
Jargon “partai wong cilik, partai nasionalis, partai agama” dan sebutan sebutan yang menyempit lainnya; pada waktunya akan menjadi besi tua yang tidak ditoleh oleh kelompok millennial. Kelompok ini memiliki ideologi pasar dan teknologi yang begitu kuat; sehingga penguasaan akan keduanya menjadikan simbol dari kesuksesan mereka.
Jargon emosional subjektif perlahan tapi pasti akan ditinggalkan, dan berganti menjadi rasional objektif. Oleh karena itu “massa apung politik” ditahun 2024 menjadi begitu menarik untuk dicermati, karena periodesasi pergantian generasi akan terjadi; dan tentunya akan membawa konsekwensi di berbagai bidang; termasuk kehidupan bernegara di kelak kemudian hari.
Di era diskrupsi seperti saat ini, semua memiliki peluang untuk terjadinya perubahan, termasuk di dalamnya perubahan sosial; oleh karena itu keihlasan untuk diambil alih generasi harus diterima dengan lapang dada; karena tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. ***
*Prof. Dr. Sudjarwo adalah Guru Besar FKIP Universitas Lampung (Unila)