Syaifullah*
Chavchay Syaufullah (dok pribadi) |
Rupanya Denny JA atau tim suksesnya senang sekali dengan istilah-istilah yang
bombastis, hiperbolis, dan sensasional. Setelah memamekan istilah “tokoh sastra
Indonesia paling berpengaruh” sekarang giliran pamer istilah “penyair kondang”.
Dalam hal ini, saya harus akui kalau Denny JA dan tim suksesnya itu peka
terhadap istilah-istilah yang kelak punya implikasi
terhadap kebutuhan promosi.
sepertinya saya perlu juga belajar padanya soal bagaimana sebuah istilah bisa
mendapatkan momentumnya dan merebut pasar. Kalau saya diajarinya tentang hal
itu, sebagai kompensasinya, karena saya telah dijulukinya sebagai penyair
kondang, maka saya akan mengajarinya bagaimana menulis puisi yang keren
sehingga penulis puisinya layak disebut penyair kondang.
Sebetulnya saya belum punya keinginan untuk menulis
soal buku antologi puisi dari 23 penyair yang diminta puisinya oleh Denny JA
melalui Fatin Hamama. Pertama, karena buku itu belum saya pegang (konon dalam
proses cetak, menurut Fatin Hamama dalam wawancara di www.merdeka.com). Tadinya saya benar-benar ingin memastikan
dulu apa judul buku itu (setidaknya agar dalam tulisan ini saya tidak bingung
menulis judul untuk buku antologi puisi dari 23 penyair kondang itu), bagaimana
isi buku tersebut, kemasannya, adakah proses “editing” yang karenanya bisa
“menyesatkan” isi dan estetika puisi itu.
pastikan, adakah pemelintiran yang bisa dikatakan sebagai “manuver politis” pada
buku itu, yang bisa mengakibatkan buku itu jadi buruk rupa dan rusak isi secara
keseluruhan. Seperti misalnya terdapat kata pengantar atau kata penutup atau
kata-kata endorsement yang mengatakan bahwa “penerbitan buku puisi oleh 23
penyair ini adalah bukti nyata bahwa Denny JA adalah tokoh sastra Indonesia
paling berpengaruh”. Kalau hal ini sampai terjadi, barulah saya bisa merespon
secara lebih asyik, karena buku itu bisa bermasalah pada dirinya. Kedua, karena
saya belakangan ini sedang berkonsentrasi dalam aksi melakukan gugatan terhadap
Sitok Srengenge yang diduga atau dilaporkan telah melakukan pemerkosaan
terhadap mahasiswi UI berinisial RW (dan 2 korban lainnya yang juga telah
diBAP) yang tidak ditanggapi secara serius oleh pihak Polda Metro Jaya.
itu, seperti juga telah diketahui banyak orang, kalau saya akhir-akhir ini juga
sedang menentang keberadaan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
(33 TSIPB, terbitan KPG, yang disusun oleh Jamal D Rahman dkk/Tim 8). Jadi
sempat juga saya menduga-duga bahwa Denny JA menerbitkan buku puisi “23 Penyair
Kondang” untuk lebih menjelaskan posisi keterpengaruhan Denny JA di dunia
sastra.
kondang itu yang menggugat keberadaannya dalam buku 33 TSIPB itu. Misalnya
telah terjadi ungkapan dalam hati Denny begini: “Sialan luh, udah gue deketin,
kok malah nyerang gue!” Selain itu ada juga dugaan saya yang sekarang saya
rasakan bahwa penerbitan buku 23 penyair kondang itu selain untuk memecah
konsentrasi isu penolakan pembodohan atas buku 33 TSIPB juga untuk memecah
kekuatan kawan-kawan yang tergabung dalam Aliansi Anti Pembodohan (AAP) dan
Gerakan Ciputat Menolak Pembodohan dll. Semoga saya salah!
Soal buku “23 Penyair Kondang” tentu ia akan
menjadi bermasalah kalau terdapat upaya-upaya pemelintiran di luar dari
kesepakatan awal, seperti adanya klaim-klaim yang dapat menyesatkan pembaca.
Kalau buku itu hanya kumpulan puisi yang ditulis oleh 23 penyair kondang
semata, maka buku itu pada dirinya tidak bermasalah. Lain halnya dengan buku 33
TSIPB di mana buku itu menjadi bermasalah karena memang pada dirinya terdapat
masalah substansial dan manipulasi sejarah sastra Indonesia yang bisa
menyesatkan pemahaman pembaca.
Buku yang belum juga beres cetak itu, barangkali
dianggap bikin “heboh” di mata banyak orang karena sejak terbitnya buku 33
TSIPB persoalan motif Denny JA masuk ke dunia sastra terlihat jelas. Ada ambisi
pribadi Denny JA yang benar-benar di luar dugaan masyarakat sastra, termasuk juga
kawan-kawan 23 penyair kondang itu.
Denny dinilai telah merekayasa satu
pekerjaan penulisan sejarah di mana ia bisa tampil sebagai tokoh sastra
Indonesia paling berpengaruh seperti halnya Chairil Anwar, WS Rendra, Sutan
Takdir Alisyahbana dll, seperti telah ia lakukan dalam penerbitan buku sejarah
tentang tokoh-tokoh reformasi di mana ia bisa sejajar dengan Amin Rais,
Abdurrahman Wahid dll. Dalam konteks inilah saya dan kawan-kawan merasakan
diperalat, dicipoa, dan ditunggangi. Ia buat istilah puisi esai (istilah yang
menurut saya masih problematis), ia gemakan, ia sayembarakan, lalu ia minta
puisi pada penyair-penyair kondang untuk bergabung berkarya, dan golnya ia
mainkan peran Tim 8 untuk menobatkan Denny JA sejajar dengan para tokoh sastra
yang memang punya pengaruh dalam dunia kesusasteraan Indonesia.
Langkah-langkah Denny JA memang agak sulit ditebak,
apalagi ia didukung oleh tim sukses yang benar-benar licin dan tidak hanya
terdiri atas Tim 8 itu, melainkan dari tim Lingkaran Survei Indonesia (LSI),
Yayasan Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi, juga para mantan aktivis
Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini memilih kerja untuk Denny JA. Atas
aksi-aksi Denny dan tim suksesnya dalam politik pencitraan Denny JA, sampai
saat ini saya juga belum tahu apakah golnya dia akan merebut kursi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan atau Gubernur atau Bupati atau entahlah pada 2014
ini, atau tepatnya kalau kliennya, Abu Rizal Bakrie, benar-benar jadi Presiden
RI. Ini hanya spekulasi saya saja yang bisa jadi salah kaprah, seperti yang
sudah ia bantah dalam tulisan terbarunya berjudul “Propeknya Puisi Esai dan
Fitnah Seputarnya”.
Lalu setelah mengetahui motif dan ambisi Denny di
dunia sastra pada Januari 2014, para penyair kondang yang diminta puisinya pada
September-Oktober 2013 silam itu mau bagaimana? Mau menarik puisinya dari buku
itu? Mau mengembalikan uang honor ke Denny? Dalam hal inilah saya rasa harus
diambil langkah-langkah yang realistis, terukur, dan menjaga kebersamaan para
“penyair kondang” yang merasa dikorbankan oleh ambisi Denny.
Untuk menarik puisi dari buku itu, saya rasa sudah
tidak ada gunanya. Buku itu sudah dicetak dan tinggal nunggu waktu untuk
diedarkan. Di samping itu saya rasa para penyair kondang itu harus sadar juga
bahwa sejak awal Fatin memang menjelaskan bahwa mereka diminta menulis puisi
bukan untuk dimuat di koran atau majalah, melainkan dalam bentuk buku bersama
penyair-penyair lainnya. Jadi, sejauh itu dimuat dalam buku antologi puisi, dan
tidak dimuat di koran atau majalah, tidak ada masalah. Kalau tidak jadi buku
antologi puisi, malah itu bermasalah, karena sejak awal janji Fatin akan jadi
buku. Namun buku itu akan bermasalah pada dirinya dan harus ditolak
keberadaanya kalau di dalam buku itu ada pernyataan-pernyataan pemelintiran
yang menegaskan bahwa penyair-penyair kondang itu proses kreatifnya dipengaruhi
oleh Denny JA. Saya rasa selain itu tidak benar, Denny JA bisa saja mengalami
kutukan “Dewi Puisi” seperti bisa saja impoten atau keremian sepanjang masa.
Apakah honor penulisan puisi harus dikembalikan?
Saya kok sependapat dengan Saut Situmorang dalam komentarnya: “Kenapa duitnya
harus dipulangkan? Bukankah sajaknya udah dipakek walo pemakekannya gak sesuai
dengan info awal? Kemudian, kerna si penyair ditipu sejak awal, maka duit yang
dibayarkan ke dia adalah resiko si penipu. Kalok si penyair harus jugak
mengembalikan duit tsb, bukankah si penyair sudah dua kali dikerjain!” Saya
juga setuju dengan pendapat Isbedy Stiawan yang telah dipublikasi di www.teraslampung.com dan pendapat Agus Noor yang telah
dipublikasi oleh www.bukuonlinestrore.com
Selain itu, harus saya tegaskan di sini bahwa honor
penulisan puisi boleh diterima oleh penyair mana pun jika memang terdapat
ketentuan atau kesepakatan. Misalkan saja penyair berhak mendapat honor dari
perusahaan koran atau majalah karena memang dalam perusahaan koran atau majalah
itu ada ketentuan untuk melakukan pembayaran jasa penulisan puisi. Bahkan kini
jasa penulisan puisi bisa dibayar oleh perusahaan-perusahaan iklan, karena
memang ada ketentuannya. Begitu pun dalam lomba-lomba yang mencantumkan
ketentuan honor juara penulisan puisi. Jadi, honor penulisan puisi itu adalah
honor yang halal. Kalau saya disuruh membunuh Denny JA dan saya melakukannya,
lalu saya menerima honor dari perbuatan saya, itulah honor haram.
Karena itu ketika ada keinginan Sihar Ramses
Simatupang untuk mengembalikan honornya, langsung saya jelaskan bahwa honor itu
tidak bermasalah sama sekali. Itu uang keringat penulisan puisi yang sah
diterima oleh penyair yang berhak. Sebelumnya saya sudah komentar dalam status
facebook Saut Situmorang bahwa: “Cara melawan yang paling simpel adalah
mengembalikan uang dan menarik puisi. Tapi apakah semua kawan yang (konon
jumlahnya) 23 orang itu punya cukup uang untuk mengembalikannya? Honor
penulisan puisi yang memang halal itu mungkin sudah habis saat diberikan untuk
kebutuhan ini dan itu. Di luar 23 orang itu, banyak lagi yang lebih awal
terjebak dalam permainan Denny JA, yaitu mereka yang mengikuti lomba penulisan
puisi-esai, yang menulis di Jurnal Sajak di rubrik khusus Puisi-Esai yang
(kalau ditotal) jumlahnya mungkin ratusan (penyair).
mengembalikan honor? Atau karena kita benci sama Surya Paloh, maka honor menulis
puisi di Media Indonesia harus juga dikembalikan? Kalau kita gak suka dengan
Jakob Oetama apakah honor puisi di Kompas harus dikembalikan? Ini agak
problematis. Kalau saat ini saya berstatus konglomerat, dalam suasana hati yang
sedang marah saat ini, pastilah akan saya kembalikan seluruh uang Denny JA yang
diterima kawan-kawan saya itu, meski totalnya mencapai miliaran rupiah.
Saya
rasa harus dipikirkan jalan perlawanan yang lebih realistis dan menyelamatkan
nama baik mereka yang telah merasa ditunggangi oleh Denny JA untuk meraih
statusnya sebagai “Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”. Kawan-kawan
lainnya yang memang saling bersahabat sebelum ada Denny JA, agar tidak menambah
merusak perasaan kawan-kawan yang sedang merasa jadi korban. Korban penipuan.
Korban cipoa. Korban tunggangan liar. Jangan gara-gara Denny tatanan
persaudaraan sastrawan malah rusak, justru tatanan itu harus bertambah kuat
untuk menghajar arogansi Denny JA!”
Dalam komentar lainnya juga saya menulis:
“……..Sampai di rumah saya baca tulisan Sihar Ramses Simatupang, Ahmadun Yosi
Herfanda, Isbedy Stiawan Z S, dan Kurnia Effendi. Saya jadi terharu. Meski saya
melihat benang merah tulisan mereka, yaitu merasa dicipoain oleh Denny JA dan
tim suksesnya, namun saya melihat respon yang berbeda-beda dan efek luka batin
yang berbeda-beda kualitasnya. Ada yang mengutuk dirinya jadi pelacur, ada yang
mau narik puisinya sambil mengembalikan honor, ada yang menyesal dan lain
sebagainya.
Ngapain juga berlarut dalam penyesalan yang toh memang kawan-kawan (termasuk
saya sendiri) benar-benar tidak tahu apa maksud Denny JA dulu. Bagi saya
sendiri, yang dibutuhkan saat ini bukan penyesalan, karena tidak ada yang perlu
disesalkan! Juga bukan pertaubatan karena tidak ada dosa besar yang harus
dipersalahkan! Yang dibutuhkan saat ini adalah PERLAWANAN. Kita harus melawan
klaim propagon Denny JA, sebab Denny memang tidak punya epigon. Kita harus
melawan politisasi sastra oleh Denny JA untuk kepentingan pencitraan dirinya
sendiri secara tidak pantas dan merusak tatanan persaudaraan dalam dunia
sastra. Saya rasa hanya Denny dan Tuhan yang tahu isi hati Denny. Saya pribadi
baru tahu manuver “politis” Denny setelah terbit buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Itu pun
tidak langsung tahu. Karena ketika 3 Januari diluncurkan saya masih berada di
sekitar Danau Toba dan pedalaman Sumut.”
Kembali kepada pengembalian honor. Saya tegaskan di
sini bahwa saya tidak akan mengembalikan honor saya yang sebesar 3 juta kepada
Denny JA. Bahkan saya mengancam akan meminta lebih kalau sampai ada klaim Denny
JA bahwa dengan saya ikut serta dalam kumpulan puisi 23 Penyair Kondang itu
maka saya dikatakannya sebagai pengikut Denny JA. Kalau begitu, saya akan
tuntut dia uang pengganti rugi sebesar 3 trilyun. Ya, 3 trilyun. Itu angka
paling rendah bagi mereka yang ingin merendahkan nama baik saya. Tolong
Wicaksono Adi mencatatnya sebagai jawaban saya atas tulisannya berjudul: Sastra
“Gorengan” Prabayar.
Saya ingin menegaskan bahwa pekerjaan mengembalikan
uang sebesar 3 juta bagi saya adalah pekerjaan yang terlalu ringan. Saya justru
ingin yang berat-berat. Saya tidak ingin dikatakan bersih dengan pengembalian
uang. Kalau saya harus dikatakan kotor dan hina karena menerima hak saya
sebagai penyair yang menerima honor penulisan puisinya, itulah resiko yang
harus saya terima. Saya akan melawan mereka dengan menelusuri apakah mereka
hidupnya bersih dari honor-honor? Apakah mereka benar-benar sepanjang hidupnya
bersih dari menerima honor yang berhak mereka dapatkan dari hasil pekerjaannya?
Saya akan melawan mereka dalam konteks ini.
Selain itu, saya tegaskan di sini bahwa
pengembalian honor bukanlah penyelesaian masalah. Sama sekali tidak
menyelesaikan masalah. Saya tidak mau mengembalikan honor puisi dengan gagah
perkasa hanya untuk dikatakan orang-orang di media sosial bahwa saya “hebat”
atau “jujur pada hati nurani”. Inilah kesesatan yang harus dilawan. Kalau saya
kembalikan honor itu, lalu saya dikatakan “hebat” dan “jujur pada hati nurani”,
lalu bagaimana dengan kawan-kawan lainnya yang memang tidak punya uang untuk
mengembalikan uang itu? Apakah mereka menjadi orang yang “tidak hebat” dan
“tidak jujur pada hati nuraninya”?
terpanggil untuk menjaga nama baik mereka. Saya tidak tega mendengar
kawan-kawan kita yang tidak punya uang terpaksa harus meminjam uang ke
mana-mana atau menjual ini-itu hanya untuk mengembalikan uang 3 juta ke Denny?
Bagi sebagian penyair, uang 3 juta mungkin adalah nominal kecil, tapi bagi lainnya
itu adalah nominal besar. Apakah saya harus memaksa mereka yang menerima honor
kerja mereka untuk mengembalikannya?
Bukan hanya 23 penyair kondang itu loh,
tapi mereka yang terlibat dalam antologi pusi esai sebelumnya, seperti Peri
Sandi Hauizche, Beni Setia, dan Saifur Rohman (dalam antologi puisi esai: Mata
Luka Sengkon-Karta), Katherine Ahmad, Kedung Darma Romansha, Rahmad Agus
Supartono, Wendoko, dan Yustinus Sapto Hardjanto (dalam antologi puisi esai:
Dari Rangin ke Telpon). Arief Setiawan, Arif Fitra Kurniawan, Catur Adi
Wicaksono, Hanna Fransisca, dan Jenar Aribowo (dalam antologi puisi esai: Dari
Singkawang ke Sampit), Nur Faini, Onik Sam Nurmalaya, Sahasra Sahasika, Syifa
Amori, Stefanus P. Elu, dan Yudith Rosida (dalam antologi puisi esai: Mawar
Airmata), Alex R. Nainggolan, Baiq Ratna Mulyaningsih, Carolina Betty Tobing,
Chairunnisa, Damhuri Muhammad, dan Huzer Apriansyah (dalam antologi puisi esai:
Penari Cinta Anak Koruptor). Saya tidak tahu apakah orang-orang itu menerima
honor atau tidak dan besarnya berapa? Saya tidak tahu.
Kepada kawan-kawan yang masuk dalam barisan “23
penyair kondang” dan “penyair-penyair kondang sebelum kami” yang telah menerima
honor penulisan puisi dan uang honor itu sudah dinikmati untuk makan bersama
keluarga di rumah atau untuk beli susu anak atau untuk nambal genteng bocor
atau untuk beli buku sastra atau untuk servis motor, berarti kalian telah
menghormati hasil kerja kalian. Uang halal itu telah kalian belanjakan untuk
kebutuhan yang halal. Luar biasa! Salam saya untuk keluarga kalian.
Dalam kasus Ahmadun Yosi Herfanda, saya hormati
sikapnya meski ada beberapa langkahnya yang saya tidak setuju. Terutama soal
mengatakan diri sebagai pelacur dan mengembalikan uang 10 juta. Beberapa kawan
langsung menghubungi saya bahwa itu berbahaya sebab menjadi presenden bahwa
para penyair yang menulis puisi yang diminta Fatin Hamama adalah para pelacur.
Sementara mereka telah bekerja secara professional, serta menghabiskan waktu
dan pikirannya. Honor 10 juta yang dikembalikan Ahmadun seperti ia tulis bahwa
itu ia lakukan karena sejak awal memang dirinya mengaku melalui proses yang
tidak wajar. Tidak seperti kawan-kawan lainnya, Ahmadun melakukan negosiasi
langsung dengan Denny JA soal angka 10 juta, karena dirinya merasa tidak puas
dengan angka 3 juta. Entah persoalan apa-apa lagi yang ia negosiasikan saya
tidak tahu, namun yang jelas negosiasi dengan Denny JA itulah bagian yang ia
sesalkan.
sejumlah orang di media sosial. Mungkin selama ini ia belum pernah diserang
orang sehingga membuatnya kaget bukan kepayang dan tidak bisa melawan secara
frontal. Begitulah Ahmadun, dia saya kenal baik sebagai orang baik. Dia bukan
tipe orang yang bisa menyerang, ketika ia bisa mengalah. Ia memilih mengalah
dan menyakiti diri sendiri dengan menyatakan diri sebagai pelacur. Saya bisa
merasakan kepedihan hati Ahmadun ketika menghadapi serangan yang tak terduga
itu, yang antara lain datang dari teman baiknya sendiri. Lain Ahmadun, lain
saya. Saya yang merasa dikorbankan dalam politik pencitraan Denny JA dalam
dunia sastra, maka saya memilih melawan.
Perlu saya catat di sini bahwa kalau saya
kembalikan uang honor dalam konteks ini berarti saya tidak punya karakter, itu
sama saja saya tidak berani melawan mereka yang tidak memahami konteks. Kalau
pun saya kembalikan uang honor itu, saya benar-benar tidak akan menjadi seperti
Jean-Paul Sartre yang menolak Hadiah Nobel, melainkan mirip Goenawan Mohamad
yang mengembalikan Achmad Bakrie Award. Boro-boro saya akan dikenang sebagai
pahlawan, yang ada malah terkulai sebagai pecundang.
sebagai pecundang. Kalau pun ada yang mau mengembalikan uang honornya, karena
mungkin rekeningnya terlalu gendut, saya malah menyarankan daripada
mengembalikan uang honor yang halal dan sah itu kepada Denny JA yang berlimpah
uang itu, lebih baik uang honornya diberikan kepda mereka yang sedang berduka
di Tanah Karo akibat meletusnya Gunung Sinabung atau berikan kepada mereka di
Manado yang masih memerlukan dana karena rumahnya hancur oleh banjir bandang.
Anggap saja sedekah uang honor itu sebagai zakat profesi kalian sebagai
penyair. Itu lebih bermanfaat dan lebih elegan. Namun kalau pun anda melakukan
sedekah atau zakat profesi itu, tidak usah pula digembar-gemborkan. Biasa saja.
Kalau perlu tangan kiri anda tidak usah tahu, ketika tangan kanan anda memberi.
Soal puisi yang saya tulis berjudul “Rintih Perih
Globalisasi” yang masuk dalam antologi puisi “23 Penyair Kondang” itu, perlu saya
jelaskan bahwa ada Fatin Hamama atau tidak, ada Denny JA atau tidak, puisi itu
memang sudah saya tulis. Puisi itu saya tulis cukup intens karena saya
rencanakan untuk menjadi semacam catatan pengantar saya yang berbentuk puisi
untuk buku kajian ilmiah saya yang dalam proses terbit berjudul Pemuda dan
Globalisasi (sekarang masih dalam proses revisi akhir). Buku ini gagal terbit
di tahun 2013, karena menurut masukan beberapa orang yang sudah melihat
drafnya, termasuk Radhar Panca Dahana, meminta saya untuk menambahkan poin ini
dan poin itu. Terpaksa saya menundanya untuk menambahkan beberapa hal, termasuk
catatan kakinya.
Pada September akhir, tanggal persisnya lupa, Fatin
Hamama menghubungi saya dan meminta saya untuk menulis puisi panjang, bertema
bebas, dan diberi catatan kaki. Fatin Hamama adalah seorang penyair perempuan
yang saya kenal sudah lama. Saya suka dengan banyak puisinya yang bicara
tentang Timur Tengah dan cara ia membacakan puisi-puisinya. Saya mengenalnya
karena ia aktif juga dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang acara-acaranya
sering saya datangi. Karena saya kenal baik dengan Ahmadun Yosi Herfanda dan
Wowok Hesti Prabowo sebagai dedengkot KSI, begitu pun Fatin kenal baik sama
kedua orang ini, saya pun akhirnya berkenal baik dengan Fatin. Namun saya tidak
mengenal kehidupan pribadinya seperti apa. Saya cuma tahu bahwa Fatin adalah
isteri dari salah seorang pejabat penting negeri ini. Namanya siapa, persisnya
sebagai pejabat apa dan di mana, saya juga tidak tahu.
Ajakan Fatin saya penuhi, karena saya sama sekali
tidak merasa direcoki harus begini dan begitu, apalagi harus dimirip-miripkan
seperti Denny JA. Tidak ada sama sekali. Saya benar-benar dalam kondisi bebas.
Kalau pun Fatin suka menghubungi saya pertanyaannya tidak jauh: “Sudah beres
belum puisinya?” Sampai deadline tiba, puisi yang diminta Fatin belum juga saya
tulis. Ditambah 10 Oktober 2013 lalu, isteri saya melahirkan. Saya lebih banyak mengurus isteri dan bayi keempat saya di rumah sakit.
Setelah urusan keluarga aman terkendali, saya
menghubungi Fatin untuk meminta maaf karena saya tidak bisa memenuhi
permintaannya. Walaupun tidak ada kontrak kerja tertulis antara saya dan Fatin,
apalagi antara saya dan Denny JA, tapi saya tidak mau hubungan saya sesama
kawan sastra terganggu. Tak disangka, ketika saya mencoba minta maaf, Fatin
malah jawab tetap menunggu puisi dari saya. Mendengar jawabannya, saya tambah
merasa tidak enak hati dengan kawan yang sudah lama saya kenal baik. Saya takut
dia merasa kecewa dan menuding saya tidak mau memenuhi undangannya, sementara
dia beberapa kali mau memenuhi undangan saya untuk membacakan puisi dalam
acara-acara yang saya selenggarakan.
Namun karena deadline sudah lama saya langgar, maka
saya ingat puisi saya yang akan saya jadikan pengantar buku saya, yang berjudul
Rintih Perih Globalisasi, yang belum pernah saya publikasikan di mana pun.
Saya ingat puisi itu panjang, jadi saya tidak perlu membuat puisi baru lagi,
melainkan cukup membacanya kembali, merevisinya, dan memberinya catatan kaki.
Lalu saya ambillah catatan-catatan kaki dari draf buku saya yang akan terbit
itu, Pemuda dan Globalisasi. Setelah beres, puisi itu lalu saya kirimkan ke
email yang diberikan Fatin.
Lama juga saat itu saya tidak berhubungan dengan
Fatin, sampai kami bertemu di Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud yang
berada di dekat Pasar Senen itu, di mana kami sama-sama jadi juri sayembara
buku puisi. Dia lalu meminta maaf kepada saya bahwa honor saya terlambat, saya
pun tidak mempersoalkannya karena juga terlambat mengirim puisinya.
Fatin lalu menjelaskan perihal keterlambatan honor
itu karena dari pihak Denny JA belum menyetor kepadanya. Di situlah saya baru
“ngeh” bahwa uang yang dia janjikan 3 juta sebagai honor penulisan puisi datang
dari pihak Denny JA. Saya baru benar-benar “ngeh” uang itu adalah uang Denny JA
karena ketika Fatin pertama kali bicara pada saya tentang permintaan puisi itu
dan honornya sejumlah Rp3 juta adalah ketika saya sedang mengendarai sepeda
motor, selanjutnya ia sama sekali tidak pernah bicara soal honor. Ia hanya
bertanya “puisinya sudah beres belum?”
uang itu dari Denny JA atau bukan, karena saya beranggapan bahwa tidaklah
berdosa orang yang punya kelebihan uang untuk memberi apresiasi, sarana, dan
dorongan bagi perkembangan kehidupan sastra. Malah bukan hanya tidak berdosa,
dunia sastra saat ini masih membutuhkan para pengusaha atau pemilik uang
berlebih atau investor untuk bersama-sama membangun kehidupan sastra Indonesia
yang lebih maju. Kalau perlu sama-sama berkarya. Saya selalu berbaik sangka
dengan para pengusaha yang punya perhatian kepada sastra dan kebetulan saya
kenal dengan beberapa nama untuk kategori itu.
Namun saya tidak menyangka beberapa bulan kemudian
pengusaha dan konsultan politik itu, tepatnya pada 3 Januari 2013, disebut di
dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia paling
berpengaruh, yang antara lain disebabkan oleh kampanye puisi esainya dan web puisi
esainya yang dikunjungi oleh 7 juta pembaca. Ada manipulasi dalam isi buku
tersebut, khususnya mengenai Denny JA. Ada juga indikasi kuat tim penyusun buku
tersebut sejak awal memang merencanakan buku tersebut sebagai panggung
pembaptisan Denny JA sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
antara indikasinya ialah adanya Ahmad Gaus di dalam Tim 8, adanya keterangan
dari Maman S Mahayana sebagaimana termuat dalam Koran Jakarta, dan pengakuan
Jamal D Rahman tentang mandat tim penyusun yang bertentangan dengan penjelasan
PDS HB Jassin. Dana pengerjaan buku yang cukup besar, belum juga dijelaskan
oleh Jamal D Rahman secara jujur dan terbuka, padahal banyak pihak sudah
menduga kuat berasal dari Denny JA. Barangkali mengakui dana penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dari Denny JA atau dari perusahaan-perusahaan Denny JA merupakan upaya
bunuh diri.
Berbeda dengan buku 33 TSIPB yang bermasalah pada
dirinya dan karenanya harus ditolak, saya menunggu dengan perasaan tidak sabar
kehadiran buku yang ditulis oleh 23 penyair kondang itu. Saya akan membacanya,
apalagi di sana terdapat nama-nama penyair yang saya tidak ragukan
kapasitasnya, seperti: D. Zawawi Imran, Ahmadun Yosi Herfanda, Anwar Putra
Bayu, Bambang Widiatmoko, Isbedy Stiawan ZS, Mustafa Ismail, Salman Yoga S, D
Kemalawati, Mezra E. Pellondou, Rama Prabu, dan Remmy Novaris DM.
Sejauh tidak ada klaim-klaim yang menyesatkan yang
tertulis secara sengaja di dalam buku itu oleh Denny JA atau oleh tim
suksesnya, sekali lagi, saya mau bilang kalau buku itu bukanlah buku yang
bermasalah. Kita harus benar- benar melihat eksistensi buku yang bakal hadir
itu dengan akal sehat. Saya yakin buku itu bisa menjadi sarana belajar bagi
masyarakat tentang puisi, khususnya bagi Denny JA sendiri. Saya tidak setuju
juga kalau ada sekelompok manusia dengan tanpa alasan menolak buku ini dan
menolak buku itu, tarik buku ini dan tarik buku itu, dengan tanpa alasan yang
benar-benar kuat. Kalau kondisinya demikian, saya dan kawan-kawan yang memang
setiap hari senang baca buku bisa mati berdiri.
Akhir kalam, sebagai penyair kondang, ternyata saya
masih punya tugas tambahan selain menulis puisi, yaitu memberi apresiasi dan
nasehat kepada Denny JA. Kepada pengusaha yang ia bilang sendiri memiliki lebih
dari 20 perusahaan dan konsultan politik yang ia bilang sendiri terlalu sibuk
dengan beberapa kliennya yang adalah pejabat-pejabat penting negeri ini, saya
ingin mengucapkan terima kasih kepada anda yang telah mau menerbitkan buku-buku
sastra dari kawan-kawan penyair. Semoga ke depan anda bisa lebih produktif
menulis puisi dan lebih aktif membiayai acara sastra dan penerbitan buku
sastra. Saya rasa tidak hanya itu saja, melainkan anda perlu kembangkan lagi
area dukungan moril dan materil anda di dunia sastra. Saya tegaskan, pekerjaan
membangun sastra itu adalah pekerjaan yang mulia. Merawat kesusasteraan adalah
merawat kebudayaan dan kehidupan. Namun demikian, izinkan saya menasehati anda
untuk beberapa hal saja:
1. Pastikan niat anda memasuki dunia sastra dengan
niat yang tulus dan lurus, dengan niat yang ikhlas dan hanif, bukan untuk
mencari sensasi murahan atau memanipulasi sejarah sastra. Bawalah diri anda ke
dalam dunia sastra secara alamiah, maka sejarah sastra akan mencatat prestasi
anda secara alamiah juga. Tidak perlu rekayasa sejarah sastra, sebab itu hanya
menghabiskan uang dan melelahkan hati anda karena anda bakal diejek banyak
orang.
2. Anda punya kewajiban moral untuk menarik
peredaran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dari masyarakat, karena di dalam buku itu terdapat nama
anda yang terang saja itu merupakan kesesatan yang dilakukan oleh tim
penyusun/Tim 8. Kalau anda yang mengatur Tim 8 untuk berbuat demikian, baik
secara langsung maupun tidak langsung, cobalah anda meminta maaf kepada
masyarakat secara terbuka bahwa anda telah merekayasa penerbitan buku itu
dengan cara-cara yang tidak pantas dalam dunia sastra. Setelah itu, dengan cara
yang tentu mudah bagi anda, anda bisa tarik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu dari peredaran.
puisi, baik puisi esai maupun puisi catatan kaki. Itu hak anda sejuta persen.
Jangankan hanya menulis lima buah puisi, lima juta puisi pun, silakan saja.
Saya malah angkat topi setinggi-tingginya. Saya hanya menentang kalau anda
melakukan politisasi dengan cara memanipulasi sejarah sastra untuk kepentingan
pencitraan pribadi anda. Bukan apa-apa, namanya juga manipulasi, isinya pasti
bersumber pada kebohongan dan berakibat pada pembodohan. Sederhana sekali.
3. Perlu anda ketahui bahwa akhir-akhir ini anda
tampil begitu kontroversial, sehingga membuat ketidaknyamanan di dalam
masyarakat. Bahkan tatanan kehidupan sastrawan cukup terganggu, karena kerap
terjadi caci maki yang tidak perlu sesama sastrawan. Memang ada sejumlah
dinamika kritik yang cerdas dalam menyikapi kasus anda, namun ada juga yang
isinya kontraproduktif. Anda punya kewajiban moral untuk meminta maaf kepada
masyarakat luas, khususnya kalangan sastrawan, dengan tidak sekadar lewat
ungkapan kata-kata atau lewat puisi esai, melainkan lewat aksi dan perbuatan
yang lebih nyata. Anda perlu pikirkan hal-hal itu lalu segera wujudkan
bentuknya secara nyata sebagai upaya harmonisasi kehidupan sastra.
4. Janganlah anda membuat klaim bahwa 23 Penyair
Kondang itu menjadi penyair karena pengaruh anda. Jika itu terjadi, saya akan
menuntut kerugian sebesar 3 trilyun rupiah. Untuk hal ini, saya harap anda
jangan main-main dengan saya.
5. Bentuk “puisi esai” yang anda katakan dan anda
tulis dalam buku anda Atas Nama Cinta, sebetulnya bukan satu hal yang baru, di
mana anda harus ngotot sekuat tenaga mengatakan bahwa itu adalah temuan anda.
Dilihat dari segi pendekatan bahasa, struktur puisi, pola pengucapan, tema-tema
yang diangkat juga tipografinya, bukanlah sesuatu hal yang baru. Yang anda
katakan “puisi esai” dalam buku anda sudah banyak saya temukan di dalam karya
penyair-penyair berpengaruh terdahulu, baik yang ada maupun yang tidak ada
catatan kakinya. Saya sendiri lebih merasa cocok dengan istilah “puisi plus
catatan kaki” untuk merujuk pada maksud bentuk puisi esai yang Anda maksud.
esai” lebih baik anda membuat simposium dulu tentang apa itu “puisi esai”.
Simposium atau seminar atau diskusi intensif itu usahakan berkelanjutan dan
diadakan di beberapa kampus penting di Indonesia. Anda uji lebih dahulu istilah
teknis “puisi esai” itu. Apakah ia merupakan genre tersendiri dalam sastra,
ataukah ia merupakan label dagang saja, ataukah puisi-puisi yang bergaya itu
tidak bisa lain dikatakan selain puisi esai. Lalu kita cari rumusan puisi esai
secara benar dan lebih ilmiah, dan jangan berhenti pada asumsi-asumsi anda
sendiri. Sebab bisa saja asumsi anda salah, misalkan saja puisi esai harus ada
catatan kaki, padahal banyak pula puisi yang bisa anda sebut itu sebagai puisi
esai tapi tidak ada catatan kakinya, karena bagi si penyairnya tidak perlu
catatan kaki atau bila diberi catatan kaki malah melemahkan estetika puisinya
itu sendiri. Hal-hal semacam ini, perlu dibicarakan dalam forum-forum yang serius.
Undanglah mereka yang benar-benar mengerti teori puisi dan kritik puisi. Minta
kepada mereka baik-baik untuk membuat penelitian yang mendalam dengan tanpa
pretensi apapun di luar kepentingan ilmu sastra.
6. Dengan Anda menyampingkan label “puisi esai”
anda akan lebih leluasa mengembangkan puisi Indonesia. Anda bisa berbuat lebih
banyak. Bisa menggalang kebersamaan para penyair Indonesia, bisa menerbitkan
majalah puisi yang memuat puisi-puisi cerdas tanpa embel-embel “puisi esai atau
puisi mbeling atau puisi gelap atau puisi mantra atau puisi ngebor atau puisi
patah-patah atau puisi alam barzah”. Anda dengan demikian tidak membuat
diskriminasi genre sastra. Anda juga tidak akan membuat diskriminasi antara
tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh, setengah berpengaruh, atau
pengaruhnya ada tetapi sepoi-sepoi. Selain mengembangkan karya puisi, anda juga
bisa mengembangkan pusat dokumentasi sastra, pusat penelitian sastra, juga
mengembangan studi kritik sastra. Untuk studi kritik sastra, saya rasa anda
bisa lebih serius lagi karena pada bidang inilah Indonesia sedang mengalami
penurunan kuantitas dan kualitasnya.
7. Sebagaimana pengakuan anda bahwa setiap ingin
mengedit puisi esai anda perlu berwudhu dan membaca surat al-Fatehah, saya
pastikan itu semua sudah benar. Saya hormat pada anda dalam hal ini. Namun
saran saya setelah membaca surat al-Fatehah perlu ditambah juga dengan membaca
istigfar 33 kali, lalu ayat kursi 7 kali, dan shalawat nariyah 7 kali. Ada
baiknya juga anda meningkatkan shalat sunah, seperti shalat dhuha, shalat
tahajud, dan shalat tasbih. Usahakan juga puasa sunah Senin dan Kamis. Selama
menjalakan puasa sunah, usahakan semua anggota tubuh ikut puasa kecuali hati
yang yang terus tiada henti menyebut nama Allah. Utamakan juga wudhu anda
jangan pernah batal, kalau batal cepat ambil wudhu lagi. Tadarus al-Quran juga
jangan sampai putus. Usahakan membaca minimal 5 lembar ayat al-Quran setelah
shalat 5 waktu. Setelah anda bisa memastikan diri anda dekat dengan Allah, maka
dekatkanlah diri anda pada manusia. Suasana nanti pasti akan lebih baik
daripada suasana sekarang. Percayalah sama saya. Saya tidak main-main.
8. Sebagai penyair yang disebut-sebut penyair
kondang, saya ingin bertanya apakah saya memang pantas disebut penyair
kondang?. Bukankah saya lebih pantas disebut “penyair kondangan” alias penyair
yang suka menghadiri undangan. Istilah “kondangan” biasanya digunakan sebagai
menghadiri undangan pesta pernikahan. Dalam pesta itu, saya ingin bersalaman
sama pengantin, sama wali pengantin, sama saudara-saudara dan kawan-kawan
pengantin sekalian. Saya ingin merasakan kebersamaan yang bisa ketawa-ketiwi
sambil minum es campur yang di dalamnya ada buah-buah yang berlainan dan
berwarna-warni plus dicampur susu. Saya ingin kebersamaan yang tidak saling
menunggangi dan menyakiti. Saya juga ingin berjoget sampai berkeringat bila
dalam pesta pernikahan itu kebetulan ada hiburan organ tunggal atau marawisan
atau gambusan. Kolesterol sastra saya kemungkinan akan normal kembali.
Saya rasa cukup sekian dulu. Saya lanjutkan bila
ada waktu dan bila saya dalam kondisi sehat wal afiat. Mohon maaf atas segala
kesalahan dan kekhilafan saya. Al haqqu mir rabbikum wa laa takunanna minal
mumtariin. Wallahu muwaafiq ilaa aqwaamith thaariq. Terima kasih. Salam damai,
jagat sastra!
* Penyair dan Ketua Majelis Kedaulatan
Penyair Indonesia (MAKPI).