Tuhan Memanggil Pulang dengan Cara-Nya

Pro. Dr. Sudjarwo/Foto: Istimewa
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Sore itu kami sekeluarga dikejutkan oleh berita dari seorang sahabat yang mengabarkan anak perempuan satu-satunya meninggal dunia akibat ovid-19, padahal baru tiga hari lalu suami dan putri mereka meninggal dunia. Berarti jalur keluarga ini telah putus karena anak putri semata wayangnya dan cucu serta menantunya meninggal dunia.

Cerita-cerita seperti di atas ternyata pada masa ini bermunculan setiap hari di media sosial; termasuk bagaimana cerita seorang dokter merawat sang ibunda; harus mengikhlaskan maut menjemput dengan media tidak didapatkannya tabung oksigen. Bagaimana hancurnya hati sang dokter, karena merasa sang ibundalah yang bersusah payah membiayai sekolahnya sampai menjadi dokter semenjak berpulangnya Ayahandanya di saat sang dokter masih berusia belia.

Kalaulah kita ingin membukukan peristiwa kematian saat ini mungkin sudah berjilid jilid kita tulis. Namun mari kita mengambil jarak sejenak dengan haru-biru kehidupan, mari menepi dan mengingat kembali satu firman yang berbunyi; bahwa semua yang hidup akan mati, hanya cara, waktu dan tempat itu bukan milik manusia, tetapi milik Sang Khalik sebagai Yang Maha Menetapkan.

Teriakan seorang dokter jauh sebelum peristiwa ini terjadi masih terngiang dengan mengiba agar pemerintah menutup pintu masuk negara untuk beberapa waktu, agar tidak terjadi penularan yang “menggila”. Semua kita abai, bahkan mungkin ada di antara kita yang terlalu jumawa bahwa pemerintah siap menanggung semua akibatnya. Ternyata apa yang menjadi kekhawatiran dokter tadi menjadi kenyataan. Nasi pun sudah menjadi bubur, upaya yang dilakukan tidak mungkin membuburkan bubur menjadi nasi. Tinggal upaya bagaimana bubur tadi tidak membuburkan semua beras yang ada.

Negeri ini nyaris luluh lantak oleh Corona. Kecepatan penyebaran tidak sebanding lagi dengan upaya penanggulangan. Hal ini harus diakui secara jujur oleh semua kita, dengan tidak harus menunjuk hidung siapa yang bersalah. Limaratus lebih dokter sebagai garda depan sudah menjadi korban keganasan, janganlah cukup melabelkan “pahlawan kesehatan” kepada mereka dianggap cukup. Bukan pula melabelkan kata “takdir” kepada mereka yang sudah menjadi korban, kita anggap selesai. Namun harus ada upaya mobilisasi yang lebih besar dan melibatkan semua komponen bangsa untuk “melawan” musuh bersama ini.

Membangun kesadaran “melawan musuh bersama” harus kita ciptakan dengan mengedepankan cara-cara manusiawi. Kita pernah sukses menjadi swasembada pangan pada masanya, karena pemimpin mampu menciptakan image bahwa “kelaparan” adalah musuh bersama. Dalam waktu singkat kita gerakkan bersama secara serentak antara ditemukannya benih padi unggul, sistem pengairan yang baik, ketersediaan pupuk yang melimpah, sehingga gerakan itu kita beri nama ilmiah “Revolusi Hijau”. Walau tetap diakui eksesnya terhadap pemiskinan hara tanah, ketergantungan terhadap pupuk organik, hancurnya sistem sosial pertanian dan sebagainya ; menjadi catatan tersendiri.

Tampaknya sekarang kita tidak menyiapkan cara berpikir ilmiah sistematis itu; yang ada pendekatan “perdagangan” semata. Membeli Vaksin, kemudian menyuntikkan secara masal, hal itu dianggap selesai. Model berfikir ketergantungan seperti ini pernah dikritik habis habisan oleh Almarhum Aref Budiman dalam pemikirannya “Negara Negara Dunia Ketiga” pada masanya.

Bagaimana menyiapkan riset yang kuat dan cepat menugaskan kepada Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset lainnya, dibiayai dengan skema tertentu; sehingga kita memiliki vaksin khusus untuk bangsa sendiri dan berdikari tidak tergantung dengan bangsa lain. Skema riset segera diubah, dan kolaborasi antarlembaga dilakukan; sehingga ditemukan sistem riset bersama untuk menciptakan berbagai vaksin untuk berbagai varian, dapat cepat tercipta. Bukan malah memusuhi rintisan yang sudah ada, atau mematikan ide kemandirian; justru sekarang saatnya kita memacu putra putri terbaik kita untuk menemukan vaksin yang kita butuhkan. Apa yang sudah dilakukan oleh dokter Terawan, yang sudah diakui dunia itu; sudah seharusnya mendapatkan support dana dan semangat untuk terus melaju dengan risetnya; di samping kita menyiapkan pasukan lain yang menemukan vaksin dalam komposisi lain, dan itu sangat bisa kita lakukan.

Menghadapi kondisi seperti saat ini tidak cukup menghadapinya dengan cara kerja “pemadam kebakaran” semata, akan tetapi harus disertai upaya upaya ilmiah yang sistematis guna menemukan jawaban dari persoalan yang ada. Meminjam istilah Dr.Syarief Makhya,  upaya kolaborasi atau pentahelik harus dilakukan sesegera mungkin.

Tuhan memanggil pulang umat-Nya dengan cara-Nya; salah satu rahasia yang terkandung dari kepulangan tadi adalah meminta kita untuk berpikir dan mengambil hikma akan peristiwa itu. Dengan kata lain Jalan tol boleh dibangun, tetapi tol kematian tidak harus dikerjakan. Sisihkan sebagian pendanaannya untuk membangun tol kehidupan agar lebih baik. Mari kita canangkan Revolusi Kesehatan dan Kehidupan untuk negeri tercinta ini.

Entah kapan pun Tuhan akan memanggil pulang kita; tetapi menjadi lebih bijak jika sisa umur yang ada pada kita bermanfaat bagi orang banyak.

Selamat Merayakan Hari Raya Kurban di tengah keprihatinan.