Oleh Frieda Amran*
Sejak Juli 2014 yang lalu, Perpustakaan Koninlijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV) menutup pintunya. Koleksi
buku-bukunya menjadi bagian khusus di perpustakaan Universitas Leiden.
Perpustakaan universitas terletak di Wittesingel, di seberang sungai
kecil di belakang gedung perpustakaan KITLV—kira-kira berhadap-hadapan
dengan kantin universitas di gedung Lipsius.
Sebetulnya,
dari perpustakaan KITLV, yang secara fisik berpindah tempat ke UB
(universiteitsbibliotheek) hanyalah beberapa orang pegawai perpustakaan,
koleksi-koleksi buku referensi, majalah dan suratkabar saja. Koleksi
itu kini pindah di Ruang Baca UB di lantai bawah tanah. Koleksi naskah
pun pindah. Ke ruangan khusus untuk naskah di UB. Buku-buku lainnya
disimpan di rak-rak di gedung KITLV yang lama (juga di lantai bawah
tanah). Sebagian lagi disimpan di fasilitas penyimpanan buku di kota
Almere, di sebelah utara Amsterdam (kira-kira 100km jauhnya dari
Leiden). Tampaknya buku-buku yang disimpan di Almere adalah terutama
buku-buku yang sudah didigitalkan.
Perpustakaan
universitas—UB—jauh lebih besar dengan fasilitas yang lebih banyak dan
lebih modern daripada perpustakaan KITLV yang terkenal itu. Perpus lama
hanya terdiri dari satu ruang baca yang besar dengan 3 atau 4 rak yang
menyimpan buku-buku referensi dan sekitar 8 meja besar untuk empat orang
di tengah-tengah ruangan dan meja-meja di sepanjang jendela yang
menghadap ke UB. Ada satu ruangan kecil yang pintunya dapat ditutup
untuk orang yang memerlukan konsentrasi penuh ketika bekerja. Tak ada
wifi—kecuali untuk mahasiswa dan pegawai universitas Leiden.
Ruang duduk dan deretan monitor di belakangnya. (Foto: Frieda Amran). |
Suasananya
tenang, tetapi hangat. Siapa pun dapat masuk dari pintu ruang baca yang
tidak pernah dikunci pada jam dan hari-hari kerja. Berbeda halnya
dengan UB. Selepas pintu masuk, sebagian besar ruangan utama
kosong—seperti alun-alun yang dibatasi oleh pagar Plexiglas yang tembus
pandang. Di sebelah kanan terdapat meja resepsi dengan 2 orang
pegawainya. Merekalah yang menggantikan kartu perpus KITLV milikku
menjadi kartu UB. Aku diminta berdiri di depan webcam kecil di depan
meja resepsi itu, senyum dikit, nunggu sebentar—lalu jadilah kartu
perpus UB yang kecil dan mungil.
Kartu itu bukan hanya
berfungsi sebagai tanda pengenal diri. Kartu itu ditempelkan di pintu
pagar plexiglas tadi supaya orang bisa melangkah masuk. Tapi, bukan
hanya fisik tubuh yang masuk. Dengan kartu itu, kita sudah log-in di
fasilitas UB. Dengan tempelan sedetik, seketika, seperti baru saja
disebul oleh dukun, wifi univ Leiden tiba-tiba terbuka!
Ruangan
perpustakaan yang luas tertutup oleh atap berbentuk seperti kubah.
Bagian atasnya tertutup kaca sehingga sinar matahari masih dapat masuk.
Di bawah kubah itu ada lingkaran rak berisi majalah dan surat kabar,
meja besar dengan lampu baca yang terang dan kursi-kursi empuk berwarna
merah. Kalau ngantuk, pasti enak membaca dan tertidur di situ. Tapi tak
ada yang tertidur.
Di belakang tempat baca itu, ada
meja-meja dengan monitor komputer berderet-deret. Di sini, orang mencari
buku di katalogus UB dan membaca buku dan artikel yang sudah digital.
Kalau mau, tentunya setiap orang dapat membuka katalogus dan membaca
buku yang didownload di laptop masing-masing. Untuk itu, di bagian lain
tersedia meja-meja lain lagi.
Lemari pengambilan buku dan meja-meja belajar. (Foto: Frieda Amran). |
Di bagian tengah ruangan,
terdapat meja para pustakawan—yang siap membantu orang-orang bingung
seperti aku. Koleksi kolonial dan naskah di lantai atas. Koleksi khusus
dan referensi ada di ruang baca di bawah. Buku yang dikehendaki sudah
dipesan online ketika kita memilih dari katalogus. Koleksi UB tersedia
dalam waktu 1 jam; koleksi KITLV (yang harus menyeberang jalan) tersedia
dalam waktu 1,5 jam. Di samping meja-meja pustakawan, tersedia
lemari-lemari bernomer yang tertutup rapat. Semua buku pesanan
diletakkan di dalam lemari-lemari itu. Kartu perpustakaan UB dipindai di alat
tertentu kemudian di layarnya akan muncul nomer pintu lemari yang
menyimpan buku-buku pesanan tadi. Pintu itu akan terbuka setelah kartu
UB discan oleh alat itu.
Wah, …. Aku terperangah. Alangkah
hebatnya. Untung ada anakku yang membantuku meminjam dan mengambil
buku. Aku merasa seperti ayam kampung yang kebingungan di antara
roda-roda mobil di tengah kota Jakarta!
Banyak
orang—termasuk aku sendiri—sedih ketika mendengar bahwa perpustakaan
KITLV akan tutup. Aku tidak sedih lagi. Bahkan sangat setuju.
Perpindahan KITLV ke UB berarti membuka akses ke buku-buku koleksi UB
Leiden (yang juga banyak menyimpan naskah dan buku tentang Indonesia).
Ruang baca yang tadinya hanya kecil saja di KITLV sekarang berukuran
minimal 4 kali lebih besar dengan koleksi referensi yang jauh lebih
banyak. Koleksi orang Belanda seperti RA Kern kini terbuka untuk
kupegang, kubaca dan kunikmati. Buku-buku referensi itu memang tidak
boleh keluar dari ruang baca, akan tetapi di sini pun disediakan
meja-meja besar, lampu-lampu terang dan colokan listrik yang memadai
untuk laptopku.
Cuma, … sepi. Hanya ada satu orang saja
yang duduk membaca dan mengetik di laptopnya di ruang baca itu. Suara
tak-tuk jemarinya hampir tak terdengar, bersamaan dengan dengung halus
pengatur suhu udara dan pemanas ruangan. Biarlah. Aku tidak memerlukan
teman mengobrol di sana. Lain kali aku akan datang lagi dan mengubur
diri di ruang baca ini. Di bawah tanah kota Leiden.
* Antropolog, tinggal di Leiden