Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Setiap pagi semua unsur yang ada di instansi harus melakukan “ritual pagi”, yaitu setor muka ke hadapan layar mesin hadir. “Ritual” ini kemudian menggeser kewajiban esensi lain dan menjadi semacam kewajiban yang bisa membatalkan semua acara kegiatan yang sudah dilakukan hari itu. Jika tidak diawali dengan kegiatan ini, semua yang dilakukan pada hari itu dianggap tidak ada atau batal. Biasanya kehadiran setiap unsur berdatangan secara bergelombang. Tidak jarang menjadi wilayah diskusi singkat sebelum atau setelah setor muka.
Pada menjalankan “ritual pagi” itulah saya berjumpa dengan seorang karib. Entah mengapa pagi itu ia berpakaian agak sedikit berbeda dari biasanya: memakai kain pelekat, berbaju koko, dan berkopiah haji. Saat disapa hendak ke mana, ia menjawab merasa salah jadwal. Seingatnya, hari ini akan melakukan pertemuan pada majelis pembelajaran agama. Ternyata entah mengapa tertuju ke lembaga dulu untuk setor muka. Padahal, setor wajah di muka sidang majelis lebih utama. Ternyata karib yang satu ini sudah menapaki usia kepikunan menyusul penulis naskah ini.
Tampaknya masalah setor muka menjadi persoalan tersendiri lantaran akhir-akhir ini menjadi semacam kebiasaan yang tidak biasa. Seolah-olah setor muka, baik dalam pengertian harfiah maupun abstrak; menjadi semacam kewajiban yang sebenarnya tidak wajib. Namun karena atas nama “modern” atau “kekinian”, maka menampakkan muka itu sesuatu yang berhukum wajib. Karena kehadiran seseorang dalam kelembagaannya dibuktikan dengan adanya “salin wajah” pada mesin pemindai wajah.
Perlu dipahamkan bahwa setor muka untuk kedua lembaga seperti pada judul, adalah dua hal yang berbeda. Jika itu ada pada universitas, perilaku setor muka secara fisik adalah merupakan bentuk kehadiran yang direkam melalui wajah. Sementara jika ada pada musala, setor muka itu memiliki tata aturan yang bersifat keilahian. Tentu saja dengan sejumlah syarat ketat yang harus dipatuhi dan dipenuhi, sehingga kehadiran secara sar’i dibenarkan.
Mengapa universitas dan musala diisejajarkan dalam posisi setor muka? Bukankah keduanya secara harfiah sangat berbeda? Penilaian seperti ini benar adanya.Namun menjadi kurang tepat jika kita melihat atas dasar peran dan fungsi, walaupun untuk kedua hal ini masih sangat mungkin untuk diperdebatkan.
Fungsi hadir di universitas maupun musala adalah syarat mutlak. Namun, bentuk kehadiran keduanya bisa sama. Maksudnya, sama sama hadir walaupun sejatinya tidak hadir. Sebab, bisa jadi secara fisik kehadirannya ada dan terbukti, namun hati dan pikiran tidak ikut hadir bersama kehadiran fisik. Fenomena seperti iini dapat kita simak dalam keseharian. Bisa jadi secara jumlah kehadiran seseorang sangat lengkap. Namun secara kualitas sebenarnya yang bersangkutan tidak hadir, karena tidak ditemukan jejak-jejak waktu dalam pengertian abstrak yang dapat dijadikan ukuran bukti kehadirannya. Apa yang diperbuat sebagai tupoksinya, ternyata tidak ada. Yang ada setor muka, terus pulang, dengan alasan menyelesaikan pekerjaan rumah. Entah pekerjaan itu berkaitan dengan tugas pokok atau sekadar pemanis bibir, hanya Tuhan yang mahamengetahui.
Peran kehadiran menjadi sangat signifikan jika dikaitkan dengan sejumlah variabel, baik di universitas maupun di musala. Keberagaman variabel ini sangat tergantung kuantitas aktivitas dan keberagaman kegiatan yang dilakukan. Makin beragam dari aktivitas yang dilakukan, maka makin banyak frekuensi waktu yang diragamkan.
Menjadi persoalan adalah, banyaknya aktivitas yang beragam sering tidak mampu mewadahi kehendak yang diinginkan. Akhirnya, guna pemenuhannya maka dipilih jalan yang tidak sesuai dengan kaidah dan norma yang ada, baik negara maupun agama. Bisa dibayangkan tampak nyata aktivitasnya “superkeilahian”, namun sejatinya dia sedang berperan sebagai dajal yang mendahului lahir.
Membebankan kehadiran pada anggaran, ada pada sisi universita, sementara kehadiran pada sisi musala adalah ada pada pahala dan surga. Posisi satu ada pada kuantitas, sementara posisi dua ada pada kualitas yang lebih kepada ajaran dari suatu keyakinan. Keduanya memang berorientasi kepada “pemberian”, namun beda makomnya. Sebab, yang satu berorientasi pada pemberian yang bertumpu pendapatan harfiah, sementara yang satunya berorientasi kepada batiniah.
Pada konteks lain ternyata setor muka adalah kehadiran yang lebih diberi makna kurang begitu baik, karena lebih berkonotasi ingin dilihat atasan bahwa dirinya hadir, baik dalam acara formal maupun nonformal. Menjadi lebih parah lagi untuk mendapatkan perhatian dari atasan, maka laku setor muka menjadi semacam ritual yang harus dilakukans sehingga, ujungnya di sana ingin diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan tertentu. Oleh karenanya, pada sisi ini antara setor muka dengan cari muka perbedaannya sangat tipis sekali.
Apa pun perbuatan yang kita lakukan, semua kembali kepada niat yang ada di dalam hati. Mulut bisa menipu, wajah bisa dipatut, laku bisa di balut. Namun, kesaksian keilahian tak satu pun yang mampu mendustakannya. Benar adanya bahwa “Manusia diciptakan bukan untuk sempurna, tetapi untuk berguna. Maka, lakukanlah kebaikan walaupun tak sempurna. Biarkanlah Tuhan yang menyempurnakannya, yang diminta dari kita hanya ikhlas untuk melakukan kebaikan itu”. Untuk meminta penyempurnaan kepada-Nya, di sana makna hakiki dari setor muka yang sesungguhnya.
Selamat menikmati kopi panas….