Oyos Saroso H.N.
Seandainya Gendul terpilih jadi lurah di Kampung Margondil, pastilah orang sekampung yang usianya 60 tahun ke atas akan selalu dicekam ketakutan. Mereka takut kalau teringat zaman gelap, zaman ketika Mat Gendul jadi kecu, puluhan tahun lalu.
Bahwa Gendul pernah jadi kecu–rampok besar yang tak segan menghabisi nyawa korbannya–pernah santer terdengar. Tapi itu dulu, sekitar 30 tahun lalu. Artinya, zaman ketika warga kampung yang kini berusia belasan tahun masih belum dicetak. Warga desa yang kini usianya 30-an tahun barangkali baru njeprot dari rahim ibunya.
Kampung Margondil sejatinya hanyalah tiga gerumbul kecil. Penduduknya tak lebih dari 1.000 jiwa. Namun, setiap menjelang pemilihan kepala desa (orang kampung menyebut kepala desa sebagai Lurah), desa kecil itu seperti Padang Kurusetra. Tombak dan keris berseliweran. Tombak dan keris ada yang memang jalan sendiri–dijalankan kekuatan supranatural–tetapi banyak pula yang memang ditenteng warga untuk berjaga-jaga.
Memang belum pernah terjadi ada warga kampung yang mati tertusuk keris atau dihunjam runcing mata tombak. Namun, jika warga lain yang tak pernah lihat kekerasan menyaksikan warga Karang Abang malam-malam menenteng tombak dan menyelipkan keris di pinggang, tentu agak bergidik ngeri. Karena ngeri itulah, banyak warga Karang Abang yang jirih hatinya lebih baik menghindar. Mereka lebih memilih mengungsi ke rumah saudaranya di kampung lain dan lebih suka tidak ikut memilih calon lurah.
Kerap terjadi, dalam pemilihan lurah di Kampung Margondil, yang berhadap-hadapan adalah sesama saudara kandung. Ngeri, karena dua kubu saling memfitnah. Seperti kerumuman orang memercikkan kotoran sendiri ke wajah. Mendaku dirinya seharum minyak kesturi, meski sejatinya bau busuknya enggak ketulungan. Ngeri, karena dua saudara kandung saling berebut dukungan saudara kandung lain dan warga desa pemilik hak pilih agar memilih dirinya. Kengerian bertambah karena dua kubu sama-sama menenteng tombak dan membawa keris. Juga pedang dan panah.
Itulah suasana paling mengerikan yang pernah dialami Karto Klewer, saat usia Karto belum genap 7 tahun.
***
Kampung Margondil baru saja menggelar pesta demokrasi. Hanya ada dua calon: Gendul Gowang Sonto (tanpa Loyo) dan Jemblem Kuwatno. Gendul pengusaha sukses. Jemblem juga pengusaha sukses. Gendul putra asli daerah. Jemblem juga putra asli daerah. Bedanya: Gendul sejak cengar keluar dari gua garba ibunya sudah langsung kaya karena keturunan orang luhur bin kaya raya, sedangkan Jemblem Kuwatno terlahir jadi anak susah. Saking susahnya, Jemblem nyaris putus sekolah.
Sejak kecil Gendul manjanya enggak ketulungan. Sampai usia 9 tahun, makan saja harus disuapi oleh ibunya. Kalau main karet atau main gambaran, inginnya menang melulu. Kalau kalah, maka dia akan mengamuk melembu buta. Kawan-kawan yang jadi lawan mainnya akan dituduh curang.
Ketika usia belasan tahun, tiba-tiba usaha orang tua Gendul bangkrut-krut. Semua harta dijual hanya untuk bisa makan. Karena malu, orang tua Gendul kemudian pindah ke lain kampung. Mereka terpaksa tinggal di rumah sewaan.
Beberapa belas tahun kemudian tersiar kabar bahwa Gendul sudah jadi orang kaya raya. Orang kampung sebelah pun heran setelah tahu Gendul kekayaannya bisa sampai sak hohah. Rumahnya melebihi istana. Uangnya tidak berseri, layaknya punya kebun uang yang tiap daunnya jadi lembaran uang jika dipetik. Tiap hari gonta-ganti mobil. Piarannya macam-macam, dari aneka jenis burung hingga aneka jenis kuda termahal.
Dengan modal kekayaan itulah Gendul sangat percaya diri pulang kampung ke Karang Abang. Ia ingin nyalur; nyalon lurah. Ia merasa bisa membeli semua kepala. Juga isi kepala dan jeroan warga Kampung Karang Abang. Tentu, rumah dan kekayaannya di kampung sebelah tidak dilegonya. Ia cuma membawa badan dan sebagian kecil kekayaannya ke Margondil sebagai modal untuk pemilihan lurah.
Pertarungan memang benar-benar seru. Bukan cuma keris dan tombak yang beterbangan pada malam-malam gelap. Uang pun turut berseliweran di depan mata melek. Orang sekampung nyaris tak ada yang tidak diciprati uang oleh Gendul. Yang tidak tembus uang Gendul cuma keluarga Jemblem Kuwatno. Itu karena Gendul merasa tak elok atau malu memberi uang kepada keluarga seteru.
Pada saat pemilihan kepala kampung digelar dan bumbung (bambu besar) berisi surat suara dibuka untuk dihitung, Gendul sudah memperlihatkan tanda-tanda aneh. Matanya tampak merah saga. Ia sangat pelit senyum. Ia makin marah ketika acara penghitungan suara selesai dan hasilnya menakjubkan: Jemblem Kuwatno memperoleh 800 suara, Gendul mendapatkan 38 suara, dan 120 suara tidak sah karena gambar Gendul dan gambar Jemblem dicoblos.
“Kalian asuuuuuuuuuuuuuuuuuu semua! Kalian curang!” teriak Gendul.
Gendul muntab. Ia mengamuk sejadi-jadinya. Panggung tempat dia dan Jemblem duduk manis sebagai calon lurah diobrak-abrik. Anak buahnya ikut ngamuk. Panggung dirobohkan, lalu dibakar. Bumbung tempat suara dihancurkan. Semua surat suara dia bakar. Ia dan para anak buahnya langsung meninggalkan lapangan.
Warga desa cuma terpana. Ngeri. Perasaan warga campur aduk antara rasa sedih dan takut.
Malam harinya puluhan rumah di Margondil dibakar dan dirusak orang-orang tak dikenal. Warga kampung lari ketakutan.
***
Banyak warga Kampung Margondil rugi besar karena rumahnya dibakar orang tak dikenal. Namun, mereka tetap bersyukur dan merasa beruntung karena Gendul Gowang Sonto gagal menjadi lurah. Kalau Gendul yang terpilih, maka seorang kecu tercatat dalam sejarah Kampung Margondil sebagai lurah.
Kalau Gendul terpilih jadi lurah, barangkali koran-koran di ibu kota akan menulis headline dengan huruf besar: “GENDUL, MANTAN PERAMPOK SADISTIS TERPILIH JADI LURAH MARGONDIL”.