USBN Harus Wujudkan Desentralisasi Pendidikan dan Peningkatan Mutu

Ujian Nasional SMA (ilustrasi)
Bagikan/Suka/Tweet:

Ganti menteri, ganti kebijakan. Pemeo ini sudah menjadi buah bibir di masyarakat. Kali ini, menimpa jagad pendidikan di Indonesia. Ritual tahunan Ujian Nasinal (UN) segera berakhir dan diganti dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Gagasan ini telah disodorkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy dan kini nasibnya di tangan Presiden Jokowi. USBN ini dilakukan dalam rangka moratorium UN.

Untuk itu, sebelum Presiden ambil keputusan, tampaknya harus mempertimbangkan beberapa hal. Sebab, banyak kalangan mengkhawatirkan jika perubahan dari UN menjadi USBN ini hanya beda nama saja. Ini jangan sampai terjadi. Apalagi, perbedaan nomenklatur ini justru menambah hiruk-pikuk dan kebingungan siswa.Kemendikbud belum lama ini sudah membuat gaduh dengan pergantiankurikulum yang tak jelas ujungnya hingga kini, jangan lagi sekolah dibuat linglung dengan perubahan dari UN ke USBN.

Pada prinsipnya, UN itu sangat tidak logis, karena berupaya untuk menasionalkan standar pendidikan dengan cara memukul rata kualitas sekolah di seluruh pelosok nusantara. Juga, bisa dikatakan melanggar HAM, sebab secara faktual memaksa murid, sekolah, dan daerah yang tertinggal untuk mencapai standar yang sama dengan murid, sekolah, dan daerah yang sudah maju.

Dengan realitas yang seperti itu, JPPI berada pada posisi setuju dengan kebijakan moratorium UN, tapi bukan berarti setuju sepenuhnya dengan USBN, sebab belum ada keterangan yang jelas terkait dengan pelaksanaan USBN ini. Untuk itu, JPPI memberikan catatan terkait dengan USBN ini:

1. USBN harus diletakkan sebagai alat, bukan tujuan (akhir). Karena dia sebagai alat, maka USBN adalah bagian dari proses pembelajaran, bukan hasil akhir,apalagi menentukan kelulusan sebagaimana UN.
2. Karena tidak lagi menjadi standar kelulusan, USBN harus mampu memacu perluasan akses wajib belajar 12 tahun sesuai dengan Nawacita. Sebab, hingga kini, putus sekolah adalah penghalang utama dalam mencapai pendidikan menengah universal dan masih tetap menjadi masalah dalam mewujudkan pendidikan 12 tahun yang universal bagi semua orang di semua negara.
3. USBN harus mengacu pada UU Sisdiknas: “Evaluasi hasil belajar murid dilakukan oleh pendidik” (pasal 58 ayat1).Jadi, kedaulatan evaluasi bukan ditangan pemerintah, tapi guru di sekolah. Setiap guru harus dapat mengevaluasi siswanya. Karena itu, penilaian guru tidak boleh dengan asal. Apabila guru asal meluluskan, guru yang dibenahi.
4. USBN sebagai alat penilaian pembelajaran, ia tidak boleh dilihat terpisah dan berdiri sendiri dari dimensi pendidikan yang lain (ujian non-tulis: karakter, asah bakat, dan yang lain). Karena itu, semua mata pelajaran dan komponen lainnya (kognisi, afeksi, dan psikomotorik) yang dilakukan oleh siswa di kelas, harus dievaluasi.
5. USBN harus terhindar dari praktik-praktik kecurangan dan korupsi. Karena itu, dalam prosesnya (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) jangan dimonopoli oleh pihak pemerintah dan sekolah, tapi juga harus melibatkan partisipasi dari berbagai pihak yang independen.
6. Selama moratorium UN, pemerintah harus melakukan perbaikan 8 standar nasional pendidikan, yang terdiri atas isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga pendidikan dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara terencana dan berkala.

Jakarta, 4 Desember 2016
A. Ubaid Matraji(Koordinator Nasinal JPPI)