Frans Agung Mula Putra |
Teraslampung.com – Anggota DPR RI dapil
Lampung dari Fraksi Partai Hanura, Frans Agung Mula Putra, mendesak pemerintah
mengklarifikasi munculnya tiga pasal siluman dalam UU Pilkada No.8 Tahun 2015 yang telah disahkan
DPR RI pada 17 Februari 2015 lalu.
itu diduga kuat saat terjadi pertemuan antara pimpinan Panja RUU Pilkada dan
Kapoksi Komisi II DPR RI dengan pihak pemerintah di Sekretariat Negara (Sekneg)
pada 9 Maret 2015. Sebab itu, saya
meminta pemerintah menjelaskan soal kemunculan tiga pasal
ini,” kata Frans Agung melalui rilis yang dikirim ke Teraslampung.com, Minggu (26/4).
tahu persis siapa yang menghilangkan dan atau yang
menambahkan pasal dalam UU Pilkada setelah disahkan itu. Namun, dirinya menduga hal itu terjadi setelah ada pertemuan pihak DPR RI dengan pemerintah di Sekneg
pada 9 Maret 2015,” kata bakon
calon bupati Lampung Selatan itu.
selesai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) No.1 Tahun 2014 dan disahkannya menjadiUU No.1 Tahun 2015 dan UU No 8
Tahun 2015 tentang Perubahan UU No.1 Tahun 2015tersebut.
tidak ada dalam UU atau pasal yang sudah dibahas dan disahkan oleh paripurna
DPR pada 17 Februari 2015 itu,” katanya.
Frans menyebutkan pasal yang bermasalah tersebut; Pertama, Pasal 42 Ayat 7 UU
No 1 Tahun 2015 yang disetujui DPR menyebutkan, “Pendaftaran calon
gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil
bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota selain
pendaftarannya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik, jugà
harus disertai surat persetujuan dari pengurus partai politik tingkat
pusat.”
Menurut Frans, pasal itu ternyata hilang atau tidak ada dalam UU No 8 Tahun 2015.
Kedua, Pasal 87 Ayat 4 UU No 1 Tahun 2015 yang berbunyi;”Jumlah surat
suara di TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar
pemilih tambahan ditàmbah dengan 2,5% dari daftar pemilih tetap sebagai
cadangan.
DPR. Tapi anehnya kata Frans Agung, pasal ini justru muncul dalam UU No.8 Tahun
2015 tersebut,” katanya.
Ketiga, Pasal 71 Ayat 2 UU No.1 Tahun 2015 berbunyi, “Pengisian jabatan
hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.” Bahwa penjelasan pasal
ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dalam perubahan UU
No.1 Tahun 2015. Namun muncul menjadi; ”Dalam hal terjadi kekosongan jabatan,
maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.”
Putra mantan bupati Tulangbawang Abdurachman Sarbini ini menambahkan telah
hilang tiga point dari sebelumnya sebanyak 115 poin dan kini hanya menjadi 112
poin. Bahkan terjadi kekosongan hukum untuk politik uang dan jual beli suara
dukungan partai politik dalam UU No.1 tahun 2015 dan UU No.8 tahun 2015
tersebut. “Jadi, masih terjadi pertentangan antar ketentuan, tumpang-tindih,
batasan syarat dan ketentuan pengajuan ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu justru
melangar hak asasi manusia,” ungkapnya.
Selain itu adanya ketersediaan anggaran bagi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota,
tapi ada yang sudah dianggarkan dengan dana berlebih dan ada pula yang belum
dianggarkan. “Jangan sampai kekurangan anggaran ini dijadikan alasan untuk
menunda pelaksanaan Pilkada dan politik anggaran jangan sampai dijadikan alat
untuk menyandera Pilkada langsung ini,” pungkasnya.