TERASLAMPUNG.COM — Vonis hukuman pencara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat, Kamis (27/10/2016) menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Selain menjadi perbincangan luas di kalangan masyarakat awam, vonis terhadap Jessica Kemala Wongso dalam kasus pembunugan Wayan Mirna Salihin juga ramai di media sosial. Sebagian netizen mendukung vonis tersebut, tetapi tak kalah banyak netizen yang mengritik vonis tersebut.
Pihak yang pro menilai bahwa vonis itu sudah selayaknya dijatuhkan hakim atas kesalahan Jessica membunuh Mirna dengan racun sianida. Namun. pihak yang kontra menilai bahwa dalam persidangan jaksa tidak berhasil menunjukkan bahwa Mirna meninggal karena racun sianida yang dicampur di kopi vietnam.
Salah satu yang mendukung vonis tersebut adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan. Menurut Edi, vonis majelis hakim 20 tahun penjara terhadap terdakwa Jessica Kumala Wongso membuktikan penyidik Polri bekerja profesional.
“Ini jadi bukti kinerja penyidik (Polri) profesional dan bisa mempertanggujawabkannya kepada publik,” kata Edi, seperti ditulis suara.com, Kamis (27/10/2016).
Mantan Komisioner Kompolnas ini memuji penyidik Polri yang telah bekerja keras menangani kasus pembunuhan Mirna. Sesuai KUHP, kata dia, kasus pembunuhan berencana tidak harus ada saksi yang mengetahui waktu pelaku melakukan aksi.
“Tapi kita harus melihat ada motif di dalamnya,” ujarnya.
Berbeda dengan Edi Hasibuan, jurnalis senior dan analis hukum Happy Sulistyadi menilai vonis itu tidak tepat dkiterapkan untuk Jessica.
“Bagaimana bisa kasus itu tanpa satu pun bukti langsung? Jaksa penuntut umum: sekadar mengkopas berkas perkara (termasuk bukti-bukti) dari penyidik. Jaksa juga kurang cantik beracara litigasi pada setiap persidangan,” kata mantan wartawan Tempo di akun Facebook miliknya.
Menurut Happy legal reasoning putusan itu agak lemah dan jauh dari semangat hukum progresif. Hakim dinilainya sekadar mengikuti “kebiasaan” untuk menghukum pidana terdakwa, apalagi bila tuntutan jaksa demikian tinggi.
Bambang Bider, aktivis yang tinggal di Pontianak di akun Facebooknya menulis: “Sama dengan vonis, “pokoknya” titik…hukum membentur logika dasarnya. Kebuntuan hukumkah ini…? Atau Anomali Hukum…? Atau sengaja dicari-cari koq pakai intuisi..? Bukankah putusan harus berdasarkan fakta hukum, bukti materiil, koq pakai intuisi.”