Wak Ipoh

Bagikan/Suka/Tweet:

Rois Said

Wak Ipoh (almarhumah) adalah kakak ipar dari almarhumah ibu saya. Dia perempuan biasa, dalam arti hanya seorang ibu rumah tangga yang sering nyambi menjajakan pakaian. Dagangannya spesifik kain batik, sarung, mukena, dan pakaian-pakaian lain yang tak terikat dengan perkembangan mode.

Jika berjualan penampilannya selalu rapi. Mengenakan kain kebaya, selalu memakai cela penghias mata atau sekarang dikenal eye shadow, lengkap sanggul besar menghiasi rambutnya, perempuan yang konon masih memiliki darah Tionghoa ini selalu mendatangi beberapa pelanggan yang amat terbatas; hanya orang-orang dekat dan masih terhitung saudara. Belakangan saya berpikir, mungkin berjualan kain itu hanya “alat” dia untuk bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya. Dugaan ini rasanya cukup masuk akal, karena ia tidak setiap hari menjajakan dagangan.

Dia sangat dermawan, terutama untuk masalah makanan. Amat sering ia mengirimi kami masakan-masakan yang untuk ukuran saya terbilang mewah. Sambal goreng daging atau ati, sayur ikan cucut (ikan asap), hingga gepuk. Daging ayam sudah barang tentu. Kiriman itu tidak mengenal waktu dan momentum. Kapan saja mau memberi, dia akan kirimkan melalui tukang becak yang biasa ngetem di depan rumahnya. Kalau sekarang mungkin semacam aplikasi Go Send.

Karena rumah adik-adiknya ada tiga berderet, maka semua kebagian jatah. Kiriman biasa disusun dalam satu set rantang. Ketika ada kiriman dari Wak Ipoh inilah kami bisa makan mewah, seperti sedang ada hajatan.

Salah satu keunikan Wak Ipoh yang mungkin tidak perlu ditiru adalah bergosip. Tetapi, meski kebiasaan ini terbilang tidak baik, bagi saya pribadi ini rupanya menjadi sebuah pengenalan awal tentang seni peran. Betapa tidak, cara dia bergosip menurut penilaian saya (saat ini) lebih mendekati pentas monolog. Ia begitu ekspresif. Artikulasi pun jelas, dan disesuaikan dengan cerita (gosip) yang dibawakan. Jika objek penceritaan itu sebuah bentuk kemarahan, maka ia akan menunjukkan pula ekspresi marah, dengan bola mata melotot dan kalimat-kalimat tandas menghujam yang keluar dari mulutnya. Walhasil, ibu saya yang menjadi pendengar sepintas seperti sedang dimarahi.

Ingatan tentang Wak Ipoh tiba-tiba mengalir deras manakala saya merasa seperti dirampok oleh dokter gigi. Hanya untuk mencabut dua gigi, saya harus mengeluarkan uang yang setara dengan harga setengah kwintal beras. Padahal dulu, Wak Ipoh cukup bermodalkan benang jahit untuk mencabut sebiji gigi. Ini memang kemampuan lain dari Wak Ipoh; mencabut gigi. Tidak ada bayaran, apalagi resep obat untuk diminum setelahnya. Toh, semua aman-aman saja.

Ah, Wak Ipoh. Keberadaanmu ternyata menjadi salah satu warna indah yang pernah menghiasi hidup saya. Salam hormat untukmu. Semoga kau bahagia di sisi Allah SWT.