Feaby Handana
Sepekan sudah Workshop pendidikan yang digelar oleh PWI Lampung Utara berlalu. Namun, pertanyaan-pertanyaan dari para guru atau kepala sekolah masih saja tergiang di telinga.
Para guru dan kepala sekolah resah akibat ulah sejumlah oknum wartawan di lapangan. Sebab, nyaris setiap pekan para pahlawan tanpa tanda jasa itu ‘dikunjungi’ para oknum wartawan. Terkadang dalam kunjungannya para oknum wartawan tersebut berkolaborasi dengan oknum-oknum LSM. Ada pula oknum wartawan yang sekaligus juga menjadi oknum LSM.
Jumlah kunjungan oknum wartawan ke sekolah-sekolah akan meningkat drastis saat terdengar Bantuan Operasional Sekolah atau BOS telah cair. Umumnya mereka datang ke sekolah dengan cara bergerombol dengan mengendarai dua atau tiga sepeda motor.
Tak jarang pula, mereka juga datang dengan mengendarai satu unit mobil. Jumlah penumpangnya pun kurang lebih sama. Bisa empat atau lima orang lebih. Kunjungan para tamu yang tak diundang ‘dengan tim lengkap bak petugas penyidik kepolisian’ itu membuat pihak sekolah yang didatangi merasa tidak nyaman. Belum lagi jika di antara para ‘tamu’ tersebut ada yang kurang mengerti bagaimana cara etikanya bertamu.
Tata krama sebagai seorang wartawan yang terikat oleh kode etik juga kerap mereka abaikan. Ketidaknyamanan para guru dan kepala sekolah tersebut kian menjadi saat oknum itu menyebut-nyebut jika pihak sekolah diduga telah menyimpangkan dana BOS.
Dugaan penyimpangan yang kerap mereka sampaikan itu di antaranya penggelembungan jumlah siswa dan keberadaan aset sekolah yang dibeli dari dana BOS. Kalau sudah begitu, tentu akan terjadi perdebatan di antara kedua belah pihak. Bagi pihak sekolah yang tak dapat membuktikan bahwa tudingan itu tidak benar, tentu persoalannya akan semakin ‘runyam’. Akhir ceritanya bisa saja melebar ke mana-mana.
Untuk pihak sekolah yang memang ada kasus BOS, oknum-oknum tersebut telah menyiapkan jurus jitu lainnya. Jurusnya bisa berupa meminta uang partisipasi, uang makan atau uang bensin. Kondisi ini semakin membuat citra wartawan menjadi lebih negatif di mata publik.
Fakta seperti ini bukanlah barang baru. Bahkan, pada tahun 2016 silam, puluhan kepala sekolah di Lampung Tengah sempat berbondong-bondong mengundurkan diri dari posisinya. Kabarnya, alasan pengunduran diri itu karena lelah menjadi sapi perahan dari oknum wartawan dan LSM di sana. Untungnya, kala itu kepala daerah Lampung Tengah berani pasang badan untuk melindungi para kepala sekolah sepanjang para kepala sekolah tidak melakukan kecurangan.
Persoalan seperti ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya karena belum adanya kriteria khusus atau mekanisme yang harus dipenuhi atau dilalui oleh setiap calon wartawan. Tak jarang kita melihat kenalan yang sehari sebelumnya berprofesi di luar wartawan telah beralih profesi menjadi wartawan pada keesokan harinya. Padahal, belum tentu yang bersangkutan paham dengan dunia jurnalistik maupun yang menyertainya. Kondisi ini kian diperparah dengan kemungkinan adanya perusahaan pers yang kurang selektif saat merekrut calon wartawan dan juga kurang memperhatikan kesejahteraan wartawannya.
Di era digitalisasi saat ini, sudah waktunya diterbitkan aturan yang mengatur soal standar yang harus dipenuhi oleh setiap calon wartawan. Standar itu bisa saja ditetapkan melalui aturan yang diterbitkan oleh pemerintah. Dengan demikian, aturan itu memiliki daya ikat yang kuat sehingga wartawan di masa mendatang akan benar-benar berkualitas.
Sepanjang aturan seperti itu belum diterbitkan, yakin saja, persoalan sama atau sejenisnya pasti akan terus berulang. Akibatnya, citra buruk wartawan yang telah kadung tersemat semakin sulit dikikis.
PWI sebagai organisasi wartawan tertua di Indonesia tidak ada salahnya menjadi inisiator untuk mendorong terbitnya aturan tersebut. Tujuannya agar marwah profesi ini dapat kembali ke posisi seharusnya. Yang lebih pentingnya lagi, tak akan ada lagi oknum yang menjadikan profesi wartawan sebagai sampingan.