Dewi Ria Angela/Teraslampung.com
JAKARTA–Florence Sihombing, mahasiswa UGM asal Sumatera Utara yang sedang menempuh pendidikan S2, barangkali bersalah. Ia salah karena telah mengeluarkan kata-kata kasar melalui media sosial Path, sebagai reaksi atas pengalamannya mengantre di sebuah Stasiun Pengisian Bakar Bakar Umum (SPBU) di Kota Gudeg.
Dampaknya pun luar biasa. Hanya dalam hitungan jam, ocehan Florence sudah tersebar secara masif di media sosial lain, baik Facebook maupun Twitter. Bahkan, ada ‘relawan’ yang mengunggah kasus Flo—sapaan Florence—di Youtube. Ocehan Flo pun kemudian menjadi trending topik di media sosial.
Berita tentang Flo juga menghiasi sejumlah media online dan media cetak. Baca: Serobot Antrean Mobil di SPBU, Gadis Pemotor Ini Disoraki Warga
Yang menambah heboh, puluhan warga Yogya menggelar aksi protes di Bundaran kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (28/8/2014). Dalam aksinya, seperti ditulis detik.com, warga membentangkan spanduk bertuliskan, ‘Florence Silakan Angkat Kaki dari Jogja’, ‘Pidanakan Penghina Warga Yogya’, ‘Aku wong Jogja Ora Trimo, Usir Florence’, ‘Usir@Florence’ dan masih banyak spanduk lainnya.
Intinya: Flo menjadi objek caci maki massal karena dianggal tidak tahu diri. Tidak tahu diri, karena sebagai warga luar Yogya yang sedang tinggal di Yogya justru menjelek-jelekkan Yogya. Flo pun seolah-olah memiliki dosa sangat besar dan layak dibull di media sosial.Meski sudah meminta maaf lewat media lokal di Yogya, serangan terhadap Flo tak juga reda.
Hal itulah yang membuat beberapa intelektual, seniman, dan jurnalis asal Yogya prihatin. Mereka prihatin, karena reaksi terhadap Flo sudah terlampau berlebihan. Padahal, di luar masalah antrean panjang di SPBU dan kata-kata kasar Flo, masih banyak kejahatan lain yang dibiarkan—dan publik diam.
Bramantyo Prijosusilo, seniman asal Yogya yang lama bergelut di Bengkel Teater Rendra, misalnya, menyayangkan sikap berlebihan warga Yogya. Di beranda akun Facebooknya, Bramantyo menulis: “Mbak Florence Sihombing yang malang, sebage warga Yoja sane mo mentak maaf mbek Situne, soale banyak warga Yoja yang lebay membully Situne ndhik medya soshyal sampek ada demo segala mengusir Situne dari Yoja. Berlebihan itu. Situne nyolot antrean dan itu salah. Titik ndhik situ jaaaa … kita jangan lebay yah.”
Tri Agus Susanto Siswowihardjo, mantan aktivis 1980-an yang kini menjadi dosen di sebuah PTS di Yogya menulis di status FB-nya: “Flo sudah minta maaf. Ya sudah, tak perlu diperpanjang. Tak perlu ada demo usir Flo, sampai tuntut pakai UU ITE segala. Semua orang bisa marah dan kepleset. Saya pun mungkin juga bisa kepleset lha wong hobinya plesetan. Hehehehe”
Imbauan untuk tidak bersikap berlebihan disampaikan akademikus Yogya yang sekarang mengajar di Australia, Ariel Heryanto. Di akun Facebook-nya, Ariel menulis: “YOGYA: jika kalian memberikan tanggapan berlebihan terhadap tuduhan ngawur dari seseorang tentang kota kalian, tanggapan demikian menyediakan bukti yang tidak perlu, seakan-akan tuduhan itu benar.”
Status Ariel pun kemudian disambut banyak komentar. Beberapa di antaranya bahkan justru ‘menyerang’ Ariel dan menjelek-jelekkan Kota Pelajar. Pada salah satu komentarnya,Ariel menulis pendek: “Sementara pembunuh, penculik, pemerkosa dan preman diangkat jadi pejabat tinggi negara?”
Willy Pramudya, mantan guru, alumni IKIP Sanata Darma Yogya yang kini menjadi jurnalis di sebuah media nasional di Jakarta, membuat catatan panjang tentang kasus yang menimpa Flo. Berikut petikan lengkapnya:
Flo, wajahmu adalah wajah paradoks negerimu juga wajah kami
Flo, mungkin Jay (Jay Jay Wijayanto), guru vokal dan seniman serba bisa itu benar bahwa kamu bukanlah orang bodoh. Apalagi kamu bisa bersekolah sampai S2. Di UGM pula. Kalau tak ada yang sesat, maka dengan posisimu itu hanya orang yang dianggap bodoh yang mengatakan kamu bodoh.
Jay juga benar bahwa kamu pasti sangat paham bahwa menyerobot antrean saat membeli BBM merupakan kesalahan. Juga ketika kamu merangsek ke jalur mobil padahal menggunakan sepeda motor. Juga keika kamu harus antre untuk berbagai keperluan lain. Paling tidak kamu akan dianggap telah melanggar aturan main dalam hidup bersama apalagi di kalangan banyak orang yang ingin membangun hidup ini lebih berkeadaban.
Aku yakin orang tuamu, keluarga besarmu, guru-guru sekolahmu dulu dan sekarang atau siapa saja yang kau gurukan akan mengatakan bahwa mereka telah merasa mendidikmu dengan benar. Mereka tidak akan rela dinilai tak pernah mengajarimu agar menjadi manusia seperti kamu direaksi banyak orang saat ini. Mereka pasti akan mengatakan bahwa semua nilai mulia yang diambil dari semua kitab tentang kebaikan sudah ditumpahkan kepadamu.
Jadi di mana salahmu? Jay lagi-lagi terlihat benar. Kamu adalah contoh dari gejala yang selalu hadir di negeri ini. Gejala yang akhir-akhir ini menari-nari di langit Indonesia dan menguras seluruh energi rakyat. Apa itu? Kamu tahulah, kecuali kamu adalah bagian dari pencipta gejala itu.
Di sini, banyak orang pintar yang disertai modal kuasa dan uang suka memamerkan kemampuan yang “istimewa”. Jay dan banyak orang menyebutnya kemampuan memelintir logika atau menggunakan logika semu. Penyebabnya? Menurut Jay ialah pertumbuhan nalar dan ketrampilan tidak berimbang dengan perkembangan moral.
Aku punya rumusan yang sedikit berbeda bunyinya. Kalau kepintaran adalah soal otak, maka yang sering terjadi di sini ialah kepintaran otak dibiarkan berjalan sendiri, terpisah dari akal yang di negeri kita kerap dilengkapi dengan kata “budi”. Otak seharusnya tumbuh bersama akal dalam satu pohon, tubuh kita. Tapi sini banyak orang yang dinilai ber-IQ tinggi merasa tak perlu melengkapinya dengan EQ dan SQ. Itulah wajah kehidupan di sekitarmu, dunia kita.
Lalu apa soalnya sekarang? Mengapa kehidupan seperti itu tumbuh subur dan merajalela? Dan yang menakutkan, mengapa ia terus didaur ulang?
Di sinilah soalnya. Kamu tampak seperti lebih tergiur atau terserap ke dalam gejala yang disebut paradoks. Mungkin ia bernama paradoks Indonesia! Kita hidup di sebiah negeri yang penuh paradoks, dengan cara-cara yang paradoks sejak dalam pikiran. Geala ini terjadi di sekitar kita, dalam diri kita, dalam diri kami dan dirimu. Inilah wajah kita.
Misalnyya saja terkait dengan keadaan yang memicumu melakukan aksimu itu. Bukankah kita hidup di negeri yang tidak miskin sumber minyak. kalau tak boleh disebut kaya sumber minyak. Tapi kenyataaannya rakyat di sini terus dipaksa menerima keadaan yang menyakitkan dengan berbagai alasan yang tak masuk akal.
Dalam perkara lain juga sama saja. Kita terus dirudapaksa menerima perkara-perkara yang tak masuk akal. Dalam keadaan seperti itulah pada suatu hari di suatu tempat bernama SPBU kamu tampil dengan kelakuan yang paradoks pula. Sehingga orang-orang yang selama ini dirudapaksa menyimpan akal sehat dan tak berdaya oleh kekuatan besar pun meledak.
Aku tak ingin berujar bahwa kamu sedang berada di tempat dan waktu yang salah. Alih-alih aku lebih suka mengatakan bahwa di suatu tempat, kamu telah “terpeleset” dan keterpelesetanmu menambah rasa sakit banyak orang yang harus melindungi perasaannya sehingga secara mekanis mereka menghantam balik siapa pun yang dapat mereka balas dengan mudah.
Kamu adalah pencuri yang dijadikan sasaran amuk massa yang lama mendendam karena kampung dan diri mereka selalu jadi sasaran pencurian atau perampokan oleh kekuatan besar. Mereka tak berdaya dan hanya bisa mendendam. Sewaktu-waktu keadaan seperti itu butuh peledakan.
Tapi siapakah para pencuri atau perampok yang membuat mereka ingin balas dendam? Selama ini perampoknya adalah pencipta “gejala” yang penuh paradoks itu.
Keadaan yang kamu hadapi pun berkait dengan paradoks. Subsidi BBM jelas disasarkan untuk rakyat yang secara nalar tak mampu membeli BBM tak bersubsidi. Tapi perampokan subsidi BBM terus terjadi secara terang-terangan di depan mata. Bukankah orang-orang bermobil mahal dan para pemilik pabrik atau usaha lain lebih hobi membeli BBM bersubsidi sehingga subsidi pun tak jadi mengalir ke pihak yang berhak?
Paradoks berikutnya adalah di negeri yang tak miskin migas dan batubara ini rakyatnya kerap menghadapi pemadaman lisrik secara total. Bahkan
sebagai negeri yang kaya air batuan warga kita harus membeli air layak minum yang sumbernya diambil dari alam kita, dengan harga mahal. karena telah menjadi miliki asing maka keuntungannya pun berlari ke negeri orang, sementara kita hanya mendapat sisa kemasan plastik yang tidak terurai hingga ratusan tahun dan anacaman kekurangan air.
Wajah paradoks lainnya tak mudah didaftar. Dan ini mungkin salah satu biang yang memperanakkan kondisi yang sangat mengancam keberadaan negeri ini ke depan. Pada satu sisi sebagian besar masyarakat di sini mengaku agamis tapi pada saat bersamaaan praktik korupsi sukses untuk terus berada di peringkat atas dunia.
Mereka yang berteriak-teriak bahkan bersumpah untuk berdiri di barisan terdepan melawan korupsi menjadi bagian dari jaringan itu. Setidaknya mereka melakukan pembiaran. Bahkan negeri yang kerangka bernegaranya ada;ah negara modern ini, birokrasinya tumbuh sebagai industri korupsi nomor wahid bersama para aparatus pentingna. Negeri ini, katanya, punya koruptor terbanyak di dunia tapi napi koruptornya tergolong paling sedikit dan hanya dikenai hukuman ringan.
Paradoks terbaru adalah di depan mata kita kamu baru saja melihat seorang wakil rakyat di DKI Jakarta pamer lamborghini. Pada saat yang bersamaaan Wagub DKI yang pernah “menantang” si pemakai Lamborghini ketika hendak menertibkan kawasan Tanah Abang itu baru saja dikejar-kejar anak-anak dan warga DKI untuk dimingai uang saat si Wagub blusukan ke kampung warga.
Sebelumnya kamu pasti dengar nasib TKI di hadapan para petugas yang seharusnya melindungi mereka. Alih-alih melayani dan melindungi, mereka malah memeras para TKI yang hendak pulang kampung.
Flo, kamu pasgti ingat bahwa di sini para aparatus dunia hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman yg seharusnya menjadi penegak hukum dan menjaga wibawa lembaga tempat orang mencari keadilan dengan mengeakkan hukum, justru banak yang menadi bandit dan bagian dari mafia hukum.
Flo, terlalu panjang tulisan ini kalau harus memajang berbagai gejala yang penuh paradoks. Mulai dari rakyat yang tinggal di negeri dengan kekayaan alam yang berlimpah tapi justru hidup menderita sekaligus banyak utang karena kelancungan penguasa dan elitnya hingga penguasaan sebagian terbesar aset kekayaan yang berada hanya di tangan segelintir orang super kaya.
Di antara banyak gejala paradoks itu kita baru saja menyaksikan bahwa di negeri ini kita baru saja membiarkan sekelompok orang bermasalah mempermasalahkan pihak lain yang dianggapnya bermasalah. Bahkan kalau bisa Tuhan pun mereka permasalahkan.
Flo, karena lakumu, kamu sudah mendapatkan pelajaran berharga. Kami pun demikian, setidaknya aku. Jadi aku sepakat dengan kawan Ariel Heryanto bahwa kami tak perlu memberikan tanggapan berlebihan atas tuduhan ngawur itu agar kami tak menyediakan bukti yang tak perlu, seakan-akan tuduhanmu benar. Apalagi sebenarnya lakumu hanalah bagian dari wajah paradoks negeri ini.
Jakarta, 30 Agustus 2014
Editor: Oyos Saroso H.N.