Isbedy Stiawan ZS
NAMA tak seindah nasibmu. Syahdan, seperti juga seluruh para orang tua, menginginkan anaknya tidak miskin.
Begitu juga kedua orang tuamu, Winda. Menginginkanmu hidup kaya, bukan seorang pemulung. Punya rumah, bukan sebagai tuna wisma. Memiliki kendaraan dan bukan sebuah gerobak. Selalu sehat, bukan berpenyakit.
Tetapi jalan hidup memang berbeda. Boleh dikata nasib, bisa pula karena diri kita. Cuma lupakan nasib baik yang tak berpihak itu.
Sebagai mahluk Tuhan, kita punya hak yang sama. Mesti tak ada diksriminasi. Sebagai warga negara yang baik, kita menginginkan perlakuan yang sama, sebagaimana hukum berhadapan dengan warga.
Barangkali, kalaulah negara berpedoman pada Undang-Undang, niscaya akan menjalankan amanat bahwa yang tidak bekerja dibayar oleh negara. Barangsiapa warganegara yang masih prasejahtera kemudian sakit dan mesti dirawat oleh rumah sakit, negara berkewajiban membebaskan ‘tambangnya’ (baca: biaya/ongkos–bahasa Melayu) tanpa kecuali. Saya katakan berkewajiban, berarti wajib tak boleh menolak atau ditolak untuk dirawat.
Saya pernah mengobrol dengan seorang resepsionis di Singapura, ternyata para orang tua uzur di sana masih mendapat uang dari negara meski masa mudanya bekerja di swasta atau pemerintah, pengangguran sekalipun. Begitu banyak negara-negara lain juga menghormati hak-hak manusia.
Sayangnya tak terjadi padamu. Sebaliknya kau diusir dari rumah sakit, atau pasien lain di rumah sakit pemerintah dan dibuang di pos ronda.
Sungguh, apakah kemanusiaan kita sudah cadang? Apakah keterharuan kita sudah pupus? Sehingga begitu santainya mengusir orang yang membutuhkan perawatan?
Bahkan, begitu teganya menabalkan dirimu sebagai “kurang waras” atau kejiwaan–istilah direktur rumah sakit.
Berdoalah sekiranya kau waras atau tak sesuatu kurang kejiwaanmu, direktur beserta keluarga dan dokter yang menyatakan kau tak waras, gilakanlah mereka.
Dan kau, Winda, manusia waras di antara sekawanan orang gila.
Semoga kau lekas sehat, sebenar-benar waras…