Opini  

Wisata Halal Versus Wisata Religi

Dr. Andi Desfiandi
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Andi Desfiandi*

Baru-baru  ini “wisata halal” kembali hangat dibicarakan dan komentar pro maupun kontra kembali mencuat. Barangkali ada masyarakat yang belum paham apa yang dimaksud dengan “wisata halal”. Bahkan mungkin bagi yang kontra ada persepsi liar yang menuduh akan ada islamisasi daerah dan islamisasi masyarakatnya.

Tentu saja persepsi tersebut tidak benar dan menyesatkan karena itu bukan konsep “wisata halal / moslem friendly tourism“. Banyak negara non muslim yang mengadakan paket-paket wisata halal seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, Australia, dll. karena potensinya sangat besar.

Pada tahun 2019 diperkirakan pengeluaran dari 140 juta pelancong wisata halal mencapai 200 miliar dollar atau setara dengan sekitar Rp2.800 triliun. Bahkan, diperkirakan tahun 2024 bisa mencapai 300 miliar dollar atau setara dengan Rp4.200 triliun dengan jumlah wisatawan halal mencapai lebih dari 200 juta orang.

Potensi devisa tersebut yang kemudian diambil oleh negara-negara di dunia termasuk negara mayoritas penduduknya non-Islam dengan menawarkan beragam paket wisata halal bagi umat muslim di dunia.

Negara-negara mayoritas nonmuslim tersebut tidak menjadikan daerah wisatanya atau masyarakatnya menjadi Islam atau menerapkan peraturan syariah, tapi mereka melakukan modifikasi pelayanan dan sarana/prasarana untuk para pelancong tersebut. Misalnya mulai  penerbangan dengan maskapai yang tidak menyiapkan alkohol dan makanan non halal, hotel atau penginapan khusus yang tidak campur dengan tamu-tamu yang bebas berpakaian minim, kolam renang tidak campur dengan yang berpakaian bikini, makanan yang disediakan di hotel dan restoran khusus halal, paket-paket atraksi juga islami, tempat-tempat wisata yang dikunjungi juga tidak mengumbar aurat, kunjungan ke tempat religius, dll.

Bagaimana kalau misalnya di perjalanan atau secara tidak sengaja berpapasan dengan yang, mohon maaf, memakai bikini atau pakaian agak terbuka ? Anggap saja itu ujian. Ya, namanya juga di negara atau daerah yang mayoritas masyaraatnya nonmuslim.

Potensi ekonomi yang cukup besar itu yang kemudian juga dibidik oleh pemerintah sejak beberapa tahun lalu, dengan mulai mempersiapkan program dan juga sosialisasi kepada masyarakat Indonesia dan juga dunia.

Bagi negara atau daerah sebenarnya tidak berdampak kepada wisatawan konvensional tapi malah memperluas/ menambah pasar dari wisatawan halal yang artinya juga menambah pendapatan negara/daerah/masyarakat. Apalagi Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim dan Bhineka Tunggal Ika sehingga keberagaman dan toleransi sudah menjadi budaya kita.

Kemudian ada pertanyaan apakah wisatawan yang beragama lain boleh membuat “wisata religi” sesuai dengan agama masing-masing misalnya wisata religi khusus beragama Budha, Hindu, atau Kristiani ? Tentu saja jawabannya boleh karena di negara lain juga ada yang menyiapkan paket wisata religi untuk agama apapun.

Jadi bagaimana dengan wisata halal/religi ? Kalau saya sih jawabannya “yes” alias “monggo kerso” atau silakan saja, asal jangan ada wisata seks halal.

Kalau ada juga yang menolak dengan segala alasannya bagaimana? Ya tidak apa-apa, karena itu juga hak masyarakat. Namun, kalau ada perusahaan travel yang kemudian mengadakan paket wisata halal di daerah wisata tersebiut jangan juga ditolak atau diusir. Biarkan saja perusahaan travel itu yg repot cari penginapan khusus, tempat ibadah, resto halal, dll.

Mungkin juga ada penganut agama Katolik/Kristen ortodoks dan penganut agama Yahudi ortodoks yang juga tidak minum alkohol dan makan babi dan juga memakai pakaian sangat tertutup juga ingin melakukan “wisata religi” versi agama mereka.

Barangkali, supaya tidak menjadi bahan perdebatan, bagaimana kalau “wisata halal” diganti istilahnya menjadi “wisata religi” agar penganut agama lain juga bisa membuat paket khusus sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut dan yakini? Wallahu’alam.

*Dr. Andi Desfiandi, S.E,. M.A., adalah seorang praktisi dan  akademisi. Tinggal di Bandarlampung