Oleh Sunardian Wirodono
Apakah Kota Yogyakarta sedang heboh? Yogyakarta baik-baik saja. Aktivitas sosial, ekonomi, budaya, ya, khas Yogya. Adem ayem saja. Tak ada gejolak. Soal kasus itu tuh? Halah, realitas media masa kini, tak bisa jadi ukuran kenyataan di lapangan, apalagi realitas sosmed.
Di sosmed sangat ramai, tetapi kenyataan di masyarakat tak ada gejolak berarti. Wajar sajalah kalau dalam antrian yang puanjang tiba-tiba ada yang menyerobot, pasti akan jadi caci-maki umum. Tapi itu tentu hanya litle-hurt, tak berarti dan hilang bersama angin. Jadi, jangan berlebihan dan mikroskopik.
Bersama beberapa teman dalam tiga hari ini lalu-lalang di beberapa pasar, kampung, cafe, komunitas, apa yang diledakkan di sosmed soal penghinaan atas kota dan masyarakat Yogya, juga biasa-biasa saja. Dalam arti ada aksi ada reaksi, itu normal saja, memang demikian hukumnya. Namun toh itu hanya perbincangan biasa, seperti sampeyan sendiri juga suka mengomentari berbagai hal, sebagai makhluk sosial biasa saja.
Kalau kita membaca, mendengar dan melihat media (apalagi yang dipancarkan dari Jakarta), rasanya jadi lebay, seolah-olah Yogyakarta geger. Jika pun ada 15 LSM menuntut seseorang yang menghina Yogya dan mengaku mengatasnamakan warga Yogya, saya kok tidak pernah menitipkan dan mewakilkan suara saya pada siapapun. Saya sebagai manusia yang lahir, tinggal dan ber-KTP Yogya, merasa keberatan kalau ada komunitas atau LSM mengaku=aku mewakili warga Yogya. Di Yogya, ada seribuan LSM, tak ada satu pun yang minta ijin atau mandat saya.
Dalam pemandangan kami, yang namanya Yogya itu lebih didominasi Kotamadya Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Sleman, juga beberapa wilayah kabupaten Bantul. Gossip masyarakat di tiga tempat itu tak mencolok dan mendominasi. Kenapa? Yogyakarta itu kecil saja, penduduknya tak lebih 3,2 juta. Di Sleman dan Kodya yang jadi center gossip, tak lebih dari satu jutaan orang, dan mungkin tak ada 10% aktivis sosmed (meskipun pengguna internet di Yogya tertinggi persentasenya secara nasional).
Lagi pula, memang masalahnya kecil saja. Hanya bagi yang gila kasus mungkin, masalah itu tampak besar. Di dua wilayah lain, Kulon Progo dan Gunung Kidul, kasus yang konon menghebohkan itu sama sekali tidak terasa.
Yogyakarta tetap wilayah yang toleransi masyarakatnya besar. Kalau pun dulu ada kasus kekerasan di Pangukan, penganiayaan Yulius Felicianus, dan LP Cebongan, mohon maaf, semua pelakunya dari luar dari Yogya, apakah itu FPI, Kopassus (kan memang markasnya di Surakarta?), dan beberapa saudara kita dari etnis tertentu yang jadi centeng di diskotik tertentu. Sekarang dengan ditangkapnya ketua FPI DIY-Jateng Bambang Teddy, situasi relatif tenang. Ditangkap karena militansi ideologis? Enggak tuh. Beliau ditangkap karena kasus penipuan jual-beli tanah, qiqiqiqi. Apakah Bambang Teddy dari Yogya?
Tidak. Markas FPI di jalan Wates, adalah kamp penampungan orang-orang dari luar. Demikian pada kasus penyegelan gereja di Pangukan, wilayah itu basis orang-orang NU. Di sana tak ada cabang atau anak ranting FPI (saya tahu karena dulu pernah berkasus dengan mereka, waktu membuat kafe kopi di Pangukan, cuma selisih satu rumah dari gereja itu).
Kita mah di Yogya baik-baik saja, meski pun dikata-katain dengan kalimat-kalimat yang gagah, bahwa di Yogya kini tumbuh budaya maskulinitas dan sebagainya. Qiqiqiqi, biasa aja keles. Kalau di sosmed, ya wajarlah, wong ditulis sambil duduk-duduk doang sambil minum kopi dan mungkin ngemil.
Datanglah ke Yogya, siang ini di Beteng Vredenburgh, Taman Budaya, Pasar Ngasem ada berbagai aktivitas seni-budaya, di PPPH Bulaksumur ada diskusi sastra, atau bahkan di Titik Nol Yogyakarta dengan pesta gulai kambiang. Belum pula di beberapa komunitas kesenian, kampung, dan desa. Mendaratlah di dunia nyata, dan rasakan aromanya.
Relasi sosial itu ‘kan bukan hanya di sosmed, apalagi realitas sosial.
* Penulis adalah kolumnis dan budayawan asal Yogya. Tulisan ini bersumber dari catatan Sunardian Wirodono