Ahmad Yulden Erwin, Hidup – Mati untuk Puisi

Ahmad Yulden Erwin
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Penggal November 1996. Anak muda berperawakan kecil, berambut gondrong, dan berkulit kuning langsat itu tampak marah kepada Remmy Novaris DM, panitia acara Mimbar Penyair Abad 21, di ruang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Ia protes keras kepada Remmy karena ia tidak bisa membaca puisi pada malam itu. Sesuai jadwal, ia harus membaca puisi besok malam. Padahal, malam itu anak muda itu harus sudah ada di kampus Universitas Lampung (Unila) untuk ujian skripsi.

BACA: Ahmad Yulden Erwin, Menikmati Keras – Lembut Hati Guru Shaolin

Isbedy Stiawan ZS, penyair Lampung yang tampaknya menjadi ‘ketua tim penyair asal Lampung’ asal Lampung pun tampak marah. Isbedy sendiri sebenarnya bukan termasuk penyair ‘generasi baru’ yang diundang pada acara tersebut. Namun, ia datang untuk mendampingi para penyair muda Lampung itu.

“Isbedy sampai marah-marah,” kata Remmy Novaris DM kepada saya melalui pesan Facebook, Minggu sore (13/2/2022).

Isbedy mengaku, ia memang turut marah besar dalam insiden itu. “Saat itu saya memang ngamuk-ngamuk sambil gedor-gedor meja di Dewan Kesenian Jakarta. Berlanjut di belakang panggung teater Graha Bhakti Budaya,” katanya, Senin petang (14/2/2022).

Ahmad Yulden Erwin muda. Foto: dok pribadi/Istimewa

Anak muda itu adalah Ahmad Yulden Erwin. Selain Erwin, penyair asal Lampung yang diundang dalam acara Mimbar Penyair Abad 21 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, adalah Juperta Panji Utama dan Iswadi Pratama.

Melalui negosiasi — juga dukungan penyair Sutardji Calzoum Bachri — akhirnya Erwin bisa membaca puisi pada malam itu. Namun, ‘kericuhan kecil’ itu tidak saya sia-siakan. Saya pun menulisnya menjadi berita di harian Lampung Post (kala itu saya menjadi wartawan Lampung Post di Biro Jakarta).

Insiden kecil itu menjadi awal perkenalan saya dengan Erwin. Malam itu ia pun saya ajak tidur di tempat kos saya di Rawamangun, Jakarta Timur. Kami diskusi soal puisi dan ngobrol hal-hal lucu sampai pagi. Oh ya, saat menginap di tempatku itulah Erwin mengaku baru pertama kali melihat tikus-tikus gede Jakarta yang berseliweran di gorong-gorong di sepanjang Jalan Rawamangun Muka Selatan II, belakang Lapangan Golf Rawamangun. Bila bercerita kembali tentang tikus-tikus besar itu, Erwin selalu tertawa terbahak-bahak.

Saya kembali bertemu Erwin ketika bertugas di Lampung Post di Lampung mulai Agustus 1997. Saya bekerja sebagai redaktur opini di Lampung Post, Erwin sudah lulus kuliah dan saya dengar juga bekerja di sebuah tabloid. Saya, Ali Imron, dan Mas Budisantoso Budiman mengajak Erwin bergabung dengan para wartawan di Lampung menjelang Pemilu 1999 untuk membentuk Jaringan Jurnalis Pemantau Pemilu (JJPP). Banyak wartawan yang gabung. Antara lain Connie Sema, Yuntardi, Iman Untung Slamet, Gunawan Pharikesit, Panji Utama, Dandy Ibrahim. Rapat awal di kantor LKBN Antara. Kami bantingan mengumpulkan uang untuk memantau pemilu pertama di era reformasi. Tujuannya: agar pemilu tidak ada kecurangan dan wartawan tidak jadi alat politik parpol.

Ahmad Yulden Erwin. Foto: Facebook via Dede Safara

JJPP inilah yang kemudian menjadi awal Erwin membenamkan diri di organisasi nonpemerintah (Ornop). Ia membangun Komite Anti Korupsi (KoAk) Lampung bersama kawan-kawannya pada 2000. Sedangkan saya harus bertugas kembali di Jakarta di koran baru Trans Sumatera. Pada 2001 saya kembali ke Lampung dan diajak membantu penerbitan majalah Sapu Lidi yang diterbitkan KoAK.

Meskipun saya bekerja untuk KoAk, Erwin tidak memposisikan diri sebagai bos saya. Inilah yang membedakan saya dengan para pengurus dan anggota KoAk. Kalau dengan para anak buahnya Erwin bisa marah dan membuat para anak buahnya stres, ia tidak bisa marah sama saya. Sebaliknya, saya bisa marah sama Erwin ketika ia saya nilai ‘nggak bener’.

Keras, Cerdas

Dari sekian banyak pergulatan saya dengan Erwin, saya menyimpulkan bahwa Erwin itu sejenis makhluk langka. Selain cerdas, ia pembelajar tekun. Ia keras, tetapi sangat humanis. Pada titik inilah saya sering turut campur tangan ketika ia berkonflik dengan sejumlah kawan. Saya berusaha meredam emosinya yang kerap meledak dan membuat kawannya menjauh. Kepada kawan yang akan menjauh, saya katakan Erwin tidak seperti itu.

Ahmad Yulden Erwin. Foto: Facebook via Adolf Ayatullah Indrajaya

Kecerdasan Erwin masih tampak nyata ketika ia makin menekuni sastra dan keramik. Belajar soal keramik, masih relatif baru. Namun, ia bisa menjelaskan dengan detail soal karya keramik bernilai seni. Terkait sastra, ia makin produktif ketika KoAk mati suri dan tidak lagi ada aktivitas. Saat belum terserang stroke, ia mengantarkan puisinya langsung ke rumah saya buku kumpulan puisi yang baru diterbitkan.

Ketika ia terserang stroke dan kembali bisa beraktivitas, ia rajin mengunggah esai dan puisi-puisi barunya. Ia juga mengulas puisi beberapa penyair yang dianggapnya konsepsi puitiknya bagus. Ia juga mengampu kelas menulis (kursus) online. Peserta bukan hanya orang-orang yang baru belajar menulis, tetapi juga penulis yang menurut saya sudah masuk kategori top. Salah satunya adalah sahabat saya Nezar Patria.

“Dia masih sering marah juga, tetapi sering balik saya marah,” tutur Nezar lewat kepada saya lewat telepon, Minggu sore (13/2/2022).

Kepada Nezar saya katakan, meskipun (tampak) marah, Erwin bukanlah orang kejam. Ia marah karena ia bertanggung jawab dan mungkin terlalu obsesif dengan hasil kursusnya.

Beberapa peserta kursus menulis dengan Erwin mengaku, keunggulan Erwin di bidang penulisan sastra. Erwin bukan cerpenis, tetapi ia bisa ‘melahirkan’ cerpenis. Salah satu yang sering ia banggakan adalah Rinto Andriono, aktivis asal Yogya yang juga terserang stroke. Rinto sempat menerbitkan karyanya yang lumayan bagus sebelum ia meninggal, berkat bimbingan Erwin.

Untuk hal satu ini, sebagai sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia saya mengakui kehebatan Erwin. Saya tidak mampu berperan sebagai guru seperti Erwin menjadi pembimbing menulis bagi banyak orang.

Erwin Setelah Sakit

Dua-tiga tahun terakhir aktivitas fisik Erwin berkurang karena ia terserang stroke. Namun, untuk beberapa acara yang dianggapnya penting, ia berusaha hadir bersama istri yang setia mendampingi. Ia bertakziah dan ikut menyalatkan jenazah ketika istri sahabatnya, Agus Sahlan Mahbub, meninggal dunia.

Ia juga hadir di acara sastra yang digelar penyair Isbedy Stiawan ZS di Pulau Tegal Mas. Juga acara pembukaan pameran seni rupa yang digelar di Taman Kupu-Kupu yang dikelola Bang Anshori Djausal dan Mbak Herawati ‘Iing’ Soekardi Djausal.

Setelah sakit, Erwin masih terlihat cerdas. Hal itu bisa dibuktikan dengan tulisan-tulisannya di Facebook yang tetap jernih dan mengalir. Tulisan-tulisan Erwin dalam beberapa tahun di dinding Facebook miliknya tidak menyiratkan bahwa ia terserang stroke. Saat berbicara Erwin memang tidak selancar dulu, tetapi tulisan-tulisannya tidak berubah.

Satu hal yang tidak banyak diketahui kawan-kawannya adalah perubahan besar terkait religiusitas dan syaraf lucu. Dulu mungkin ada kawan yang pernah mendengar bahwa Erwin ‘ateis’ atau setidaknya tidak genap-genap amat menjalanlan syariat sebagai seorang muslim (secara kelakar dulu ia pernah mengaku sebagai penganut ‘ateis-religius). Ia dulu juga jarang tertawa atau melucu. Namun, sakit mengubahnya 180 derajat. Ia menjadi sangat religius, mudah tertawa ketika mendengar cerita yang tidak lucu-lucu amat, dan mudah menangis ketika mendengar berita sedih. Kalau ia menangis, perlu kesabaran untuk menghentikannya.

Minggu sore, 13 Februari 2022, pukul 14.40 WIB, Allah Sang Maha Rahman, memanggil Ahmad Yulden Erwin menghadapNya. Hingga wafat, Erwin masih memiliki banyak obsesi tentang puisi dan sastra Indonesia. Juga tentang gerakan antikorupsi di Indonesia.

Selamat jalan, kawan. Kini saya tak perlu memarahimu ketika kamu marah-marah. Semoga Allah SWT memberimu tempat terbaik dan mulia…