Ini Alasan Melarang Wartawan Meliput Berita Termasuk Pelanggaran Undang-Undang

Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.*

Berita Kapolres Way Kanan AKBP Budi Asrul Kurniawan menghina dua wartawan, Minggu (27/8/2017), menjadi berita heboh sekaligus memalukan. Heboh, karena yang menjadi korban adalah wartawan betulan. Artinya, keduanya memang wartawan sungguhan yang sedang menjalankan tugas profesi. Memalukan, karena penghinaan dan larangan meliput dilakukan oleh polisi setingkat Kepala Kepolisian Resort (Kapolres).

Kasus itu tidak perlu terjadi jika Kapolres Way Kanan paham tugas wartawan. Setidaknya ia pernah membaca UU Pers, KUHP, Deklarasi Umum HAM, dan Nota Kerjasama Dewan Pers dengan Polri tentang Penyidikan Perkara Delik Pers.

Kapolres Way Kanan tampaknya harus belajar “hukum pars pro toto”: ketika seorang pejabat publik berhadapan dengan wartawan yang sedang menjalankan tugasnya, maka ia tidak hanya berhadapan dengan 1-2 wartawan, tetapi dengan seluruh komunitas wartawan.

Wartawan yang sedang menjalankan tugasnya berbeda dengan wartawan yang sedang berburu uang amplop atau uang receh dari narasumber. Itulah sebabnya, solidaritas terhadap dua wartawan yang berkasus dengan Kapolres Way Kanan menjadi besar. Bukannya komunitas wartawan ingin sok-sokan atau gede kepala karena ada UU yang melindunginya saat menjalankan tugas. Lebih dari itu, orang yang melarang tugas wartawan — apalagi menghinanya — bisa terkena delik pasal UU Pers dan KUHP.

Sampai detik ini, rangkaian kasus semacam itu masih banyak terjadi di Indonesia. Itulah sebabnya, meskipun seperti jarum jatuh di tengah hutan, peristiwa penghinaan terhadap wartawan dan larangan meliput yang dilakukan Kapolres Way Kanan gemanya mencapai seluruh pelosok Tanah Air.

BACA: Hina Wartawan, Kapolres Way Kanan Panen Kecaman

Undang-Undang No 40/ 1999 tentang Pers pada Pasal 4 UU menegaskan: Pertama, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Perlindungan hukum untuk wartawan disebutkan dalam Pasal 8 aUU No 40/1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 disebutkan: Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

Yang dimaksud dengan perlindungan hukum dalam UU Pers adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kenapa perlindungan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugasnya ‘sedemikan tingginya’? Hal itu karena wartawan saat menjalankan tugas profesinya tidak semata-mata untuk perusahaannya, tetapi juga untuk kepentingan publik yang lebih luas. Hal itu sama dengan anggota Polri ketika sedang menjalankan tugasnya.

Polisi dalam menjalankan tugasnya juga dilundungi UU Kepolisian. Artinya, wartawan dan polisi dalam bekerja perlindungan hukumnya berbeda dengan penjual bakso, tukang sate atau makelar jual beli mobil. Tidak ada UU yang secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi penjual bakso, tukang sate, dan makelar jual beli mobil

Ke depan, kita berharap tidak ada lagi pejabat publik yang tidak paham tentang UU Pers dan peran wartawan. Sebaliknya, terhadap wartawan bodreks, wartawan abal-abal, dan wartawan pemeras polisi bisa bertindak tegas. Jangan sebaliknya: polisi diam saja ketika tahu ada aksi wartawan pemeras yang bergerilya ke kampung-kampung, tetapi marah besar kepada wartawan yang sedang bekerja untuk menyampaikan laporan terkait kepentingan publik.

Kasus pengangkutan batu-bara yang melintasi jalan raya di Way Kanan jelas berkaitan dengan kepentingan publik. Sebab itu, dengan alasan apa pun, polisi tidak boleh gegabah melarang wartawan melakukan peliputan terkait kasus tersebut.

*Pemred Teraslampung.com, Ahli Pers Dewan Pers