Oyos Saroso H.N.|Teraslampung.com
BANDARLAMPUNG–Suatu siang pada pertengahan Oktober 2009, saya bertemu dengan para aktivis Walhi Lampung di sebuah acara di Bandarlampung. Di sana berkumpul juga para nelayan dari Lampung Selatan.
Di sela waktu istirahat, saya mengobrol dengan beberapa nelayan. Tiba-tiba seorang nelayan curhat. Dia mengaku gelisah karena kegiatannya mencari ikan terganggung oleh aktivitas kapal tongkang ukuran besar yang menyedot pasir dari dasar laut di sekitar perairan Gunung Anak Krakatau.
Menurut nelayan tersebut, dengan mesin penyedot, pasir Gunung Anak Krakatau dialirkan melalui paralon besar ke tongkang. Tongkang nyaris penuh pasir itu kemudian meninggalkan perairan Krakatau.
BACA: Kisah PT Ascho Menambang Pasir Gunung Anak Krakatau (2)
Saya pun kemudian konfirmasi kepada Direktur Walhi Lampung Hendrawan. Hendrawan berkilah dirnya tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada bukti pengambilan pasir. Saya kemudian berinisitif minta relawan Walhi untuk memfilmkan proses penambangan pasir tersebut.
Pada 22 Oktober 2009 seorang relawan (namanya terpaksa saya rahasiakan) menghubungi saya. Dia sudah berhasil merekam semua aktivitas penambangan. Bahkan, proses pasir diangkut dengan tongkang pun berhasil dia dapatkan.
Esok harinya, 23 Oktober 2009 tulisan saya disertai foto-foto tongkang siap mengangkut pasir muncul di The Jakarta Post. Siang itu, saya pun mengontak Kepala BKSDA Lamping (saat itu Ambar Dwiyono). Saya menanyakan mengapa BKSDA memberikan izin penambangan pasir. Ambar mengaku dia tidak mengizinkan penambangan.Dia hanya memberi izin mitigasi bencana.
“Tidak ada penambangan pasir kok. Anda dapat info dari mana?” tanya Ambar.
“Silakan Bapak lihat foto di Jakarta Post siang ini. Itu foto penambangan pasir!” kata saya.
Ambar kemudian mengajak saya bertemu. Bahkan dia mengajak saya mengecek lokasi.
Beberapa hari kemudian Direktur PT Ascho Usaha Pratama (AUP), Suharsono, menelepon saya. Saya diajak bertemu di sebuah hotel di Bandarlampung. Saya pun berangkat dengan semangat. Tiba di tempat pertemuan, saya kaget. Ternyata Suharsono datang bersama dengan orang yang sangat saya kenal: Prof. Dr. Ali Kabul Mahi.
Di sana saya juga bertemu dengan Taufik Wijaya, wartawan Radar Lampung. Kami berempat kemudian ngobrol. Wawancara lebih seperti ngobrol biasa.
Pak Ali Kabul terlihat santai. Ia tidak kikuk sama sekali saat bertemu saya. Dalam pertemuan itu Suharsono memperkenalkan Ali Kabul sebagai ahli dari Universitas Lampung yang berperan sebagai penasihat proyek mitigasi bencana di Gunung Anak Krakatau.
Suharsono pun kemudian bercerita banyak tentang kenapa proyek mitigasi bencana di Gunung Anak Krakatau harus dilakukan. Dia juga memberi alasan mengapa harus dibuat saluran. Tapi ada yang tidak dia ceritakan: ke mana pasir itu diangkut dan nilainya berapa untuk tiap tongkangnya.
Meskipun mengaku sudah membaca tulisan saya di The Jakarta Post, Suharsono tidak protes. Ia tampak biasa-biasa saja. Ia agak kaget ketika saya beri kartu nama.
Sementara Pak Ali Kabul Mahi, selain menambahkan penjelasan Suharsono, dia lebih banyak bercerita soal kedekatannya dengan saya beberapa tahun sebelumnya.
“Saya dulu sering main-main ke AJI (maksudnya sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Lampung,, tempat saya berorganisasi–OSHN),” kata Pak Kabul.
Memang benar. Saya dengan Prof. Ali Kabul Mahi lumayan dekat. Ketika saya menjadi ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, Pak Kabul sering menyambangi kantor kontrakan kami di Gang Alpukat, Jl Pangeran Diponegoro Bandarlampung.
Setelah saya digantikan Firman Seponada, Pak Kabul juga masih sesekali diskusi dengan kami di kantor AJI. Namun, hubungan kami (pengurus AJI Lampung) dan para aktivis lingkungan dengan Pak Kabul agak renggang ketika Pak Kabul yang semula mendukung gerakan menolak reklamasi Pantai Teluk Lampung justru berbalik mendukung perusahaan penimbun pantai.
Sejak itu saya tidak pernah bertemu dengan Pak Kabul, sampai bertemu kembali dalam pertemuan wawancara dengan Suharsono pada bulan Oktober 2009.
* Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di The Jakarta Post