Korban Tragedi Talangsari: Kami Memang Militan

Jayus (dua dari kanan) menunjukkan 'ladang pembantaian' di eks-Desa Talangsari
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.|Teraslampung.com

LAMPUNG TIMUR–Meski termasuk warga negara Indonesia, para keluarga korban Tragedi Talangsari 1989 di Lampung Timur hingga kini masih mendapatkan cap negatif.

Mereka susah mendapatkan pekerjaan. Desa Talangsari yang kini berubah nama menjadi Desa Labuhan Ratu pun seolah menjadi ‘anak tiri’ Indonesia. Ketika desa-desa lain sudah dialiri listrik, Desa Labuhanratu masih gelap gulita. Jalan desa pun jauh dari mulus.

BACA: Mereka tak Bisa Melupakan Tragedi Talangsari

Ketika aksi terorisme di daerah merebak, para korban  Tragedi Talangsari juga sering dikait-kaitan. Yang terjadi pada awal Maret 2010 misalnya. Ketika ada aksi terorisme di Aceh kembali merebak, ada pejabat Polri yang yang mengaitkan aksi terorisme di Aceh dengan kelompok militan Talangsari.

Pada Senin, 8 Maret 2010 Polda Lampung menggelar operasi khusus di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan. Operasi ini dilakukan menyusul adanya informasi bahwa salah satu orang yang ditembak polisi dalam aksi di Aceh (berinisial MT) masih berhubungan dengan kelompok militan Talangsari.

Selain menempatkan 30 anggota gabungan Densus 88, brimob, intel, dan reskrim di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, Polda Lampung juga melakukan pemantauan kepada keluarga aktivis Talangsari, Wayjepara, Lampung Timur.

Warga korban Tragedi Talangsari jelas menolak tudingan itu. Menurut mereka, menghubungkan terorisme di Aceh dengan Talangsari hanya akan memperparah kondisi keluarga korban Tragedi Talangsari.

“Kami para keluarga korban Talangsari sampai sekarang hidupnya sudah sangat menderita. Janganlah bikin kami menderita. Demi Allah kami maupun keluarga  korban Talangsari hanya hidup bertani. Sejak dulu kami tidak punya aktivitas politik, apalagi terorisme,” kata Amir, 69, salah korban Tragedi Talangsari.

Amir, mantan guru SD yang terpaksa kehilangan pekerjaan akibat dikaitkan dengan pemberontakan Negara Nasional Indonesia (NII) di Talangsari, Lampung Timur, pada Februari 1989, mengaku sangat sedih pihaknya selalu disudutkan.

Mbah Paimun, salah seorang korban Tragedi Talangsari

“Sejak dituduh sebagai pemberontak bersama Jamaah Warsidi, rasanya hidup dan keluarga sudah seperti mati. Saya ditangkap lalu dijebloskan ke penjara tanpa melalui pengadilan. Status saya sebagai pegawai negeri sipil juga hilang. Selama ini kami sudah minta keadilan kepada pemerintah, tetapi selalu gagal ,” ujar pria asli Klaten, Jawa Tengah itu.

Dengan golongan II B, alumnus PGA Negeri Klaten, Jawa Tengah, ini sejak 1989 golongannya tidak pernah naik hingga pensiun pada tahun 2005 lalu. Tragisnya, begitu pensiun, Amir tidak pernah mendapatkan uang pensiun.

“Untuk mendapatkan uang pensiun saya harus mendapatkan surat keterangan bebas dari tahanan. Tapi surat itu tidak pernah bisa saya dapatkan karena memang tidak ada surat pembebasan saya,” ujarnya.

Peristiwa Tragedi Talangsari terjadi pada 6-7 Februari 1989. Dalam aksi penyerbuan tentara terhadap jamaah yang dimpimpin Warsidi itu ratusan warga sipil tewas. Versi resmi pemerintah menyebutkan korban tewas hanya 37 orang. Jamaah Warsidi diserbu tentara karena dianggap makar dan hendak mendirikan Negara Islam Indonesia .

Setelah lebih 25 tahun tragedi berdarah yang menewaskan ratusan warga sipil itu berlalu, warga Talangsari masih trauma. Kehidupan keluarga korban Tragedi Talangsari sangat memprihatinkan. Selama dua puluh lima tahun Desa Talangsari seperti desa mati: tidak ada aliran listrik, sementara jalan desa susah diakses karena berlumpur jika hujan datang. Padahal, eks-Desa Talangsari letaknya hanya sekitar 5 Km dari jalan lintas Sumatera yang mulus.