Opini  

Melihat Indonesia dari Perspektif Gundala

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Rois Said

Menonton film Gundala karya Joko Anwar, kita seperti dibawa berjalan ke tepi jendela, lalu melihat Indonesia dalam satu sudut pandang (angle) tertentu. Sebagai film yang diadaptasi dari komik asli Indonesia, yakni Gundala Putra Petir karya Harya Suraminata alias Hasmi (1969-1982), film Gundala boleh dibilang sukses mempertahankan identitasnya sebagai orang Indonesia. Parameternya: ia mampu menyajikan situasi yang “Indonesia banget”.

Di luar hal-hal teknis perfilman yang secara subjektif dinilai cukup memancing decak kagum, Gundala juga rasanya mampu menyajikan satu perspektif cerita yang menarik diikuti. Spesifik, tentang latar waktu dan tempat cerita ini berlangsung.

Film ini memang tidak secara khusus merujuk satu tempat atau kota dimana cerita ini berlangsung—walaupun penonton dapat merasakan bahwa ini lebih dekat dengan latar Jakarta. Hal ini diperkuat dengan tidak dimunculkannya bangunan atau apa pun yang bersifat ikonik yang ada di daerah tertentu di Indonesia. Begitu pun, tidak dijelaskan setting waktu, kisaran tahun berapa cerita ini terjadi. Tetapi orang Indonesia ataupun orang manapun yang mengenal Indonesia pasti mafhum, inilah situasi “Bumi Pertiwi” yang terjadi selama ini. Paling tidak, selama masa hidup sang sutradara.

Secara eksplisit, Joko Anwar dalam sebuah wawancara dengan sebuah media memang mengakui, ia ingin menampilkan Gundala dalam setting yang lebih realis, tidak seperti dalam komiknya yang kental imajiner. Artinya, ia ingin menampilkan Indonesia apa adanya.

Wiji Thukul Masih “Hidup”

Dalam hal ini, sang sutradara cukup jeli memotret karakteristik-karakteristik khas Indonesia dalam scene-scene yang dibangun. Mulai dari kemiskinan, carut-marut dunia buruh, posisi wakil rakyat yang tidak mewakili rakyat, dunia mafia, hingga masalah suap yang seperti sudah menjadi DNA orang Indonesia.

Namun demikian, transisi waktu antara kehidupan Sancaka kecil ke Sancaka dewasa yang tidak secara spesifik ditunjukkan dengan penanda teknis seakan-akan Gundala ingin mengatakan kepada kita bahwa Indonesia tidak atau belum berubah. Kita bisa lihat, misalnya, masalah perburuhan yang diwakili oleh orang tua Sancaka dalam adegan-adegan pembuka, mampu membawa memori kita pada kasus-kasus perburuhan yang terjadi pada masa pra-Reformasi.

Di situ kita bahkan merasakan seakan-akan Wiji Thukul—yang menjadi figur simbol perjuangan buruh—hidup kembali. Bagaimana posisi buruh kala itu yang tidak pernah bisa menuntut hak-hak mereka. Jikapun berani menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan, maka konsekuensinya adalah mati atau hilang. Ya, itulah situasi buruh yang terjadi semasa Wiji Thukul hidup hingga akhirnya menghilang secara misterius pada Juli 1998.

Nyatanya, kondisi itu tidak banyak berubah saat ini, saat Sancaka dewasa, atau saat film Gundala dirilis di bioskop-bioskop. Terbukti, dalam kehidupan nyata, kaum buruh kini tengah menghadapi “ancaman” dengan tengah digebernya revisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan/UUK) yang dinilai semakin memarginalkan nasib kaum buruh. Sekalipun serikat buruh mendesak untuk membatalkan revisi UUK, tapi pemerintah bergeming dengan dalih relasi perekonomian dunia yang menginginkan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.

Di titik itulah nasib buruh tidak pernah beranjak. Dan lagi-lagi, kalangan pemilik modallah yang tetap mendapat keuntungan besar dari regulasi yang ada. Malah, boleh jadi, nasib buruh kini lebih mengkhawatirkan. “Tidak ada kepastian untuk jenjang karier, dan PHK sepihak akan dengan mudah dilakukan para pengusaha tanpa ada kompnesasi pesangon bagi para buruh,” demikian diungkapkan Ketua Konfederasi Serikat Buruh Indonesia Ilham Syah, seperti dikutip dari tirto.id, belum lama ini.

Artinya, nasib tragis yang dialami ayah Sancaka, yang dengan baik diperankan Rio Dewanto, menjadi kondisi yang masih sangat up to date hingga kini. Padahal, dalam film kejadian itu berlangsung saat Sancaka masih kecil.

Idealisasi Legislatif

Cermin lain yang disajikan Gundala adalah tentang kronik lembaga legislatif. Di film, lembaga legislatif lebih merupakan kepanjangan tangan dari tokoh Pengkor, seorang mafia yang tumbuh sebagai yatim piatu penuh dendam sehingga ia mengkoordinir anak-anak yatim, disekolahkan, dan disalurkan bekerja dengan profesi berbeda-beda, termasuk menempatkan orang-orangnya di lembaga legislatif untuk memuluskan bisnisnya. Artinya, legislatif yang secara tersirat diceritakan dalam Gundala, selama ini tidak mewakili rakyat yang memilihnya.

Namun, Joko Anwar mampu membungkus ironi ini dengan sebuah harapan akan adanya lembaga wakil rakyat yang ideal. Legislatif yang tidak takut dengan mafia sekalipun nyawa taruhannya. Legislatif yang mau mengakui kesalahannya, dan sadar dimana posisi dia berdiri. Legislatif yang mau meletakkan jubah partainya manakala itu menyangkut kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Harapan tersebut disimbolkan dengan situasi suksesei, dimana anggota-anggota lembaga legislatif, termasuk di antaranya legislator Ridwan Bahri yang diperankan Lukman Sardi, baru saja dilantik. Di situ Ridwan Bahri mengalami titik balik dengan mengakui segala kebusukannya di masa lalu untuk berbalik membela kepentingan rakyat dan masa depan negara. Lewat kronik ini, Joko Anwar seperti ingin berkata, “Yuk, kita lupakan wakil rakyat yang lalu, kita bikin wakil rakyat seperti di film Gundala ini.”

Dua kondisi tersebut amat kental terasa di film Gundala. Bukankah itu Indonesia banget? Apalagi dalam bagian-bagian kecil lainnya, Joko Anwar juga menyelipkan sentilan-sentilan tentang kehidupan bar-bar kaum pinggiran, juga budaya suap yang mendarah daging di masyarakat.

Tentu saja, kita tidak bisa menghakimi Joko Anwar yang lebih banyak menyajikan potret suram bangsa ini. Itu adalah realitas yang sengaja dipilih, karena seorang pahlawan tidak akan lahir dalam situasi normal.***

*Rois Said adalah Penulis skenario freelance

 

Baca Juga: Erick Thohir: Film Gundala Bukan Hanya Balik Modal