Opini  

Membangun Kota Baru Astacita dari Kawasan Transmigrasi

Dr. Eng. IB Ilham Malik
Dr. Eng. IB Ilham Malik
Bagikan/Suka/Tweet:

Dr. Eng. IB Ilham Malik
Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan – Dosen Prodi PWK ITERA

Data yang di sampaikan oleh Kompas beberapa hari yang lalu cukup menggelitik kita karena ada data serapan anggaran kementerian transmigrasi yang masih rendah jika dibandingkan dengan kementerian lainnya. Tetapi saya melihatnya ini bukan sebagai masalah, hal ini merupakan sebuah tantangan yang harus diselesaikan oleh kementerian terkait serta beberapa stakeholder yang memiliki concern pada masalah transmigrasi. Jika kita melihatnya dari sisi infrastruktur dan pembangunan wilayah, maka mungkin ada beberapa konsep yang bisa ditawarkan untuk mengintegrasikan seluruh program yang dimiliki oleh presiden yang dapat dicanangkan dan dilaksanakan oleh kementerian transmigrasi. Hal tersebut akan saya bahas di bawah ini.

Integrasi Program Presiden

Selama ini, transmigrasi sering dipandang sebagai program masa lalu—sebuah kebijakan pemerataan penduduk yang kini kehilangan relevansi di tengah urbanisasi dan industrialisasi yang begitu cepat. Namun sesungguhnya, di balik sepi perhatian publik dan rendahnya serapan anggaran di sektor transmigrasi, tersimpan potensi besar untuk membangun kota-kota baru yang produktif dan mandiri. Bila diarahkan dengan visi yang tepat, kawasan transmigrasi dapat menjadi simpul pembangunan terpadu yang menyatukan berbagai agenda besar Presiden: program 3 Juta Rumah, Sekolah Garuda, Sekolah Rakyat, Makan Bergizi Gratis (MBG), food estate, hingga Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC).

Banyak kawasan transmigrasi saat ini telah berkembang melampaui tujuan awalnya. Mereka bukan lagi sekadar permukiman baru di wilayah terpencil, melainkan embrio kota yang memiliki sistem sosial, ekonomi, dan ruang hidup yang stabil. Sebut saja kawasan Melolo dan Lewa di Sumba Timur, yang kini tumbuh menjadi pusat produksi ternak dan hortikultura;  Labangka dan Tambora di Nusa Tenggara Barat, yang mulai dikenal sebagai sentra pertanian dan peternakan modern. Di Kalimantan Barat, kawasan seperti Entikong dan Ketungau Hulu telah terhubung dengan jalur perdagangan lintas batas, sementara di Sulawesi Tengah, kawasan Toili dan Minakarya menjelma menjadi pusat agroindustri.

Semua contoh ini menunjukkan satu hal: transmigrasi sebenarnya sedang melahirkan bentuk-bentuk awal kota baru Indonesia.

Optimalisasi Program Prioritas

Di tengah dorongan besar pemerintah untuk menyediakan rumah layak bagi rakyat, memperkuat ketahanan pangan, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan gizi anak bangsa, kawasan-kawasan transmigrasi ini dapat menjadi wadah paling ideal untuk integrasi program lintas sektor. Lahan yang tersedia, status kepemilikan tanah yang bisa disertifikasi, serta komunitas masyarakat yang sudah terorganisir menjadi modal awal yang kuat. Di sinilah pembangunan perumahan rakyat dapat berjalan berdampingan dengan pengembangan food estate yang menyuplai bahan pangan untuk program MBG, sementara sekolah-sekolah rakyat dan Sekolah Garuda menjadi pusat peningkatan SDM lokal. Semua kegiatan ini bukan sekadar proyek fisik, tetapi fondasi peradaban baru yang tumbuh dari pinggiran.

Tentu, gagasan ini memerlukan tata kelola yang solid. Karena itu, dibutuhkan Task Force lintas kementerian di bawah koordinasi KSP untuk mengawal integrasi program dan memastikan kawasan transmigrasi benar-benar naik kelas menjadi Transmigrasi-Transpolitan — kota-kota baru berbasis kemandirian pangan, pendidikan, dan perumahan rakyat. Dengan skema pembiayaan campuran antara APBN, swasta, dan koperasi lokal, pembangunan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah, melainkan menjadi gerakan ekonomi bersama yang berkelanjutan.

Membangun kota dari kawasan transmigrasi bukanlah romantisme masa lalu, melainkan strategi masa depan. Ketika kota-kota besar di Jawa mulai jenuh dan padat, Indonesia membutuhkan model kota baru yang tumbuh dari bawah—dari masyarakat yang bekerja di tanahnya sendiri, bersekolah di lingkungannya sendiri, dan menghasilkan pangan untuk bangsanya sendiri. Transmigrasi yang direvitalisasi bukan lagi sekadar program pemerataan penduduk, tetapi sebuah desain baru pembangunan nasional yang menghidupkan cita-cita keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan di seluruh Nusantara.

Revitaliasi Kota Terpadu Mandiri

Gagasan menjadikan kawasan transmigrasi sebagai cikal bakal kota baru sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya baru. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah pernah meluncurkan program Kota Terpadu Mandiri (KTM)—sebuah inisiatif untuk mengembangkan kawasan transmigrasi yang telah maju menjadi pusat pertumbuhan ekonomi regional. Ide dasarnya sangat visioner: menjadikan kawasan transmigrasi tidak lagi berhenti pada tahap permukiman, melainkan naik kelas menjadi simpul produksi, perdagangan, dan pelayanan publik. Beberapa KTM sempat menjadi model percontohan nasional, seperti KTM Mesuji di Lampung, KTM Lagita di Sulawesi Tenggara, dan KTM Belitang di Sumatera Selatan.
Namun seiring perubahan fokus kebijakan dan keterbatasan pembiayaan, program KTM berjalan tersendat. Banyak kawasan yang semula dirancang menjadi kota baru akhirnya stagnan di tengah jalan karena lemahnya konektivitas, minimnya investasi, dan tidak adanya integrasi lintas sektor. Padahal, cetak biru dan infrastruktur dasar sudah tersedia—tinggal dibangkitkan kembali dengan model tata kelola yang lebih adaptif dan terarah.

Kota Terpadu Astacita

Di sinilah peluang besar muncul di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Program-program unggulan beliau seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Garuda, 3 Juta Rumah, dan food estate nasional memiliki karakter yang saling melengkapi dan sangat cocok untuk diintegrasikan ke dalam kerangka revitalisasi KTM. Dengan pendekatan ini, kawasan-kawasan KTM lama dapat dihidupkan kembali sebagai Kota Terpadu Astacita—model kota baru yang menjadi simpul pangan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat berbasis kemandirian komunitas.

Bayangkan bila dalam satu kawasan eks-KTM, terdapat 10.000 unit rumah rakyat, 5.000 hektar lahan produktif pangan untuk mendukung MBG, serta sekolah-sekolah Garuda yang mencetak generasi unggul berbasis kemandirian desa. Di sekelilingnya tumbuh koperasi pangan, industri kecil, dan logistik desa yang terhubung langsung ke sistem distribusi nasional. Maka, transmigrasi yang dahulu menjadi simbol pemerataan penduduk akan bertransformasi menjadi simbol pemerataan peradaban dan kemandirian bangsa.

Dengan dukungan KSP dan koordinasi lintas kementerian, revitalisasi KTM menjadi KTA menjadi instrumen strategis untuk mewujudkan visi besar Presiden Prabowo: memperkuat ketahanan nasional melalui pemerataan pembangunan, kemandirian pangan, dan peningkatan kualitas manusia Indonesia. Dari KTA inilah nantinya akan lahir kota-kota baru yang bukan sekadar layak huni, tetapi juga layak tumbuh—tempat di mana rakyat dapat bekerja, berproduksi, dan hidup dengan bermartabat di tanahnya sendiri.

Revitalisasi KTM dalam era Prabowo bukan sekadar melanjutkan program lama, melainkan memperbaruinya dengan semangat baru: menjadikan pembangunan tidak berhenti di kota besar, tetapi mengalir ke seluruh pelosok negeri, menyatukan pangan, pendidikan, dan perumahan dalam satu visi besar kemandirian Indonesia. Ini juga menjadi bagian isu pengembangan Sistem Logistik Nasional dimana hub baru bisa dibangun di lokasi yang kita sebut sebagai Kota Terpadu Astacita tadi.

Jika kita bisa menggabungkan antara pengembangan kota terpadu Asta cita ini yang melibatkan seluruh kementerian di mana seluruh program presiden Prabowo bisa diwujudkan di lokasi tersebut, dan tentu saja tersebar di berbagai tempat di setiap pulau di seluruh Indonesia ini, kita juga bisa menggabungkannya dengan program strategis nasional dan program untuk mengaktifkan beberapa bandara internasional, maka ini berarti kita bisa mewujudkan mimpi presiden untuk membangun bangsa ini secara sistematik. Dan seluruh anak bangsa saya yakini bisa mewujudkannya.***