Poedjono Pranyoto Wafat, Ini Kiprahnya Saat Menjadi Gubernur Lampung 1988-1997

Poedjono Pranyoto. Foto: datatempo.co
Poedjono Pranyoto. Foto: datatempo.co
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM, JAKARTA — Mantan Gubernur  Lampung  periode Poedjono Pranyoto meninggal dunia di kediamannya di Jalan Cipete Raya No. 36 Jakarta, pada pukul 09.00 WIB. Kemudian akan dimakamkan di Pemakaman Jeruk Purut Cipete Jakarta., Kamis (2/12/2021).

BACA: Dongeng Poedjono Pranyoto Tentang Pelukis yang Bijaksana

Gubernur Lampung periode 1988-1997 itu dikenal sebagai sosok pemimpin yang dekat dengan kalangan wartawan dan seniman. Poedjono antara lain berjasa mewujudkan Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Jenazah  Kemudian akan dimakamkan di Pemakaman Umum Jeruk Purut Cipete Jakarta Selatan.

Letjen TNI (Purn.) Poedjono Pranyoto lahir di Purwokerto 6 Agustus 1936 (umur 85). Ia merupakan seorang politikus berkebangsaan Indonesia.

Pada tahun 1988 ia ditunjuk menjadi Gubernur Lampung menggantikan Yasir Hadibroto. Ia menjabat sebagai Gubernur Lampung dari tahun 1988 hingga 1997.

Sebelumnya, Poedjono menjabat sebagai Wakil Gubernur Papua mendampingi Izaac Hindom. Sebelum menjadi Wagub Papua, Poedjono menjabat sebagai Bupati Cilacap, Jawa Tengah (1979–1987Ia).

Usai menjabat Gubernur Lampung (digantikan Oemarsono), Poedjono  menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah pada 1997 hingga 1999.

Dikutip dari koran Lampung Post, saat pertama menjadi Gubernur Lampung, Poedjono melakukan konsolidasi dengan jajaran dengan mengundang beberapa tokoh adat daerah Lampung. Salah satu yang memberi inspirasi adalah pertemuan dengan Ny. Djohan Samakki. Saat itu, istri Kepala Biro Keuangan Pemda Lampung itu gencar mengembangkan dan memperkenalkan adat budaya Lampung. Baik di Lampung maupun ke kancah nasional.

Dari diskusi dengan beberapa tokoh adat, tentara murah senyum ini menemukan lima prinsip peri kehidupan masyarakat Lampung yang khas. Lima pilar budaya (sumbay) itu, menurut Poedjono, sangat cocok untuk dipakai pijakan budaya membangun di Lampung. Kelimanya adalah piil pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan.

Makna dari lima prinsip ini adalah harga diri (piil pesenggiri), konsistensi memegang adat sebagai jati diri (bejuluk beadok), membuka diri untuk menerima pembaruan (nemui nyimah), bersosialisasi dengan masyarakat (nengah nyappur), dan gotong royong (sakai sambayan).

Kajian untuk mencari saripati dari lima sumbay ini kemudian dirumuskan dalam suatu semboyan. Finalnya, semboyan itu disebut Gerbang Sakai Sambayan, yang secara harfiah diartikan sebagai gerakan membangun Lampung dengan semangat gotong royong.

Gerakan membangun ini kemudian menjadi tonggak setiap kebijakan yang diambil Poedjono. Dalam 10 tahun memimpin Lampung, perkembangan cukup signifikan telah ditorehkannya. Bahkan, konsep pembangunan Jembatan Selat Sunda, saat itu sudah pada tahapan desain. Namun, karena krisis moneter melanda Indonesia, isu itu tenggelam kembali.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Poedjono membuat sepuluh prioritas. Dengan berbagai pertimbangan dan menyesuaikan dengan program nasional, ia tetap menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian. Kemudian sarana dan prasarana transportasi, industri manufaktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, bidang energi, pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal dan berkelanjutan, penanggulangan kemiskinan, kualitas aparatur pemerintahan, pembangunan kepariwisataan, dan mendorong pemekaran wilayah kabupaten.

Dari 10 program prioritas tersebut, beberapa program telah mencatat sejarah gemilang. Untuk bidang pertanian, pada zamannya, ia mampu mengakses proyek nasional dengan pembangunan Bendungan Batu Tegi di Tanggamus. Proyek ini, selain untuk mengairi sawah (irigasi), juga didedikasikan untuk memperoleh sumber energi listrik dari air.

Satu yang menjadi angan-angan Poedjono yang terus diperjuangkan adalah pemekaran wilayah kabupaten. Ini menjadi titik tekannya karena Lampung dinilai kurang cepat maju akibat rentang kendali yang terlalu jauh. Saat itu, Lampung yang luasnya setara dengan Provinsi Jawa Tengah hanya ada satu kota dan tiga kabupaten, yakni Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, dan Kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung yang kemudian berganti nama menjadi Bandar Lampung.

Dan pada zamannya, lahir Kabupaten Lampung Lampung Barat (1991), Kabupaten Tanggamus dan Tulangbawang (1997). Pada zaman kepemimpinan Poedjono Pranyoto pula, tiga kabupaten baru sudah mendekati hasil pemekaran, yakni Kabupaten Way Kanan, Kabupatan Lampung Timur, dan Kota Metro.
Dalam menggerakkan seluruh potensi yang ada, Poedjono dikenal dekat dengan masyarakat dan akomodatif kepada semua kalangan. Tidak heran jika hampir semua tokoh yang diminta pendapatnya menyatakan Poedjono sukses memimpin Lampung selama dua periode.

Ia dikenal dekat dengan ulama dan tokoh agama lain. Langkah ini diambil karena ia begitu paham dengan pentingnya sikap toleransi untuk membangun daerah yang kondusif.

Dalam membangun pendidikan dan budaya, Poedjono dinilai telah melancarkan program pendidikan nasional terimplementasi di daerah yang ia pimpin. Kerja sama dengan perguruan tinggi sebagai salah satu sumber informasi dan pembaruan juga digelar.

Kepada dunia olahraga dan kepemudaan, Gubernur yang mudah akrab ini terus memacu dan membantu. Prestasi olahraga Lampung pernah cukup menonjol pada masa kepemimpinannya. Kegiatan pemuda yang diwadahi berbagai organisasi, seperti KNPI, Karang Taruna, dan lain-lain bergerak cukup dinamis.

Meski berlatar belakang militer, Poedjono sangat piawai dengan manajemen politik. Ia mampu menciptakan iklim kondusif untuk dunia politik di Lampung, dengan mengakomodasi setiap kepentingan untuk kemaslahatan rakyat Lampung.