Oleh Syarief Makhya
Baru-baru ini viral diberbagai media memberitakan kejadian keracunan masal makan gizi gratis di 11 kabupaten di Jawa Barat. Keracunan ini disebabkan faktor mikrobiologi dan fisik. Faktor tersebut akibat suhu penyimpanan tidak sesuai atau disimpan di suhu ruang lama, mikroba patogen pembusuk, seperti E. coli, Salmonella, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus, akan cepat berkembang.(detik.com)
Keracunan MBG tentu saja menuai kritik dan kekecewaan dari masyarakat. Dalam proses pembentukan program MBG, sedikit sekali penolakan yang muncul dari masyarakat; secara substansi program ini a bisa memberikan manfaat untuk peningkatan anak mendapatkan gizi yang cukup untuk tumbuh sehat dan cerdas, sekaligus mengatasi permasalahan malnutrisi dan stunting pada anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Program ini juga bertujuan untuk membangun sumber daya manusia berkualitas, menurunkan angka kemiskinan, serta memperkuat nilai-nilai karakter pada anak.
Program MBG dengan anggaran sebesar Rp757,8 triliun, hampir 50% diambil dari anggaran pendidikan, menjadi bukti kesungguhan pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan di bidang kesehatan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Dengan investasi besar ini, diharapkan program MBG mampu memberikan dampak positif yang signifikan, baik dari segi kualitas layanan, pemerataan akses, maupun peningkatan sumber daya manusia.
Problem Implementasi
Jika ditilik dari sisi studi kebijakan publik dengan melihat akar persoalan terjadi keracunan makanan bersumber dari persoalan implementasin MBG yang bisa dikategorikan bad implementation atau Implementasi yang dilakukan dengan cara yang salah, misalnya kurang efektif, tidak sesuai prosedur, atau sumber daya yang kurang memadai.
Keracunan MBG, berdasarkan informasi resmi dari pemerintah, disebabkan empat penyebab utama yaitu : higienitas makanan buruk, suhu dan pengolahan pangan yang tidak sesuai, kontaminasi silang dari petugas, dan indikasi alergi pada penerima manfaat.
Persoalan ini jelas menunjukkan bahwa dari aspek implementasi, terdapat kegagalan dalam penerapan standar operasional prosedur (SOP) dan pengawasan yang lemah, sehingga mengakibatkan risiko kesehatan bagi masyarakat penerima program. Namun jika ditelah dari aspek politik kebijakan, kondisi ini mencerminkan adanya konflik kepentingan antar aktor yang terlibat, lemahnya komitmen politik untuk memastikan kualitas pelaksanaan, serta tekanan dari berbagai kelompok yang mungkin mengabaikan aspek teknis demi kepentingan tertentu. Faktor-faktor politik ini turut memperlambat pengambilan keputusan yang tepat dan menghambat koordinasi antar lembaga, sehingga SOP yang telah ditetapkan sulit diimplementasikan secara konsisten dan efektif.
Harus Dikontrol
Program MBG baru berjalan kurang dari satu tahun dan direncanakan akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Dampak nyata dari program ini baru akan terlihat dalam jangka panjang, sehingga kesinambungan harus dijaga dengan baik, baik dari segi kualitas implementasi maupun arah pencapaian tujuan program.
Dengan jumlah anggaran yang sangat besar, konsekuensinya adalah harus ada dampak nyata yang sesuai harapan serta akuntabilitas yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, tidak boleh terjadi penyelewengan anggaran, prosedur implementasi harus diawasi dengan ketat, dan pelaksanaan program harus dilakukan secara profesional.
Dalam perspektif tersebut, terdapat dua langkah antisipasi dari aspek implementasi program.
Pertama, implementasi program MBG bukan sekadar persoalan administratif atau prosedur teknis semata, melainkan dengan besarnya anggaran yang dialokasikan, terdapat potensi terjadinya penyalahgunaan atau pencarian keuntungan di balik program MBG.
Logika ini bisa menjadi argumen kuat untuk memperketat mekanisme pengawasan dan transparansi dalam setiap tahap pelaksanaan program, sehingga risiko penyimpangan dapat diminimalisir dan anggaran dapat digunakan secara optimal sesuai tujuan yang telah ditetapkan.
Kedua, secara teknis diperlukan strategi implementasi yang jelas dan terukur untuk menjalankan program dengan efektif, termasuk penetapan standar operasional prosedur yang ketat, pelatihan bagi pelaksana di lapangan, serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan guna memastikan setiap tahapan berjalan sesuai rencana dan target tercapai.
Namun, perlu juga disiapkan berbagai alternatif implementasi jika program MBG gagal atau tidak berhasil mencapai tujuan secara nyata. Beberapa alternatif tersebut antara lain: melakukan revisi desain program agar lebih sesuai dengan kondisi di lapangan dan kebutuhan penerima manfaat; memperkuat kapasitas pelaksana melalui pelatihan dan pendampingan intensif agar implementasi berjalan lebih profesional; memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan transparansi, pengawasan, dan pelaporan secara real-time; menjalin kolaborasi dengan pihak ketiga seperti organisasi masyarakat sipil atau sektor swasta guna memperkuat pelaksanaan dan pengawasan program; serta melakukan evaluasi dan audit berkala yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi kendala dan melakukan perbaikan secara cepat.
Sebagai penutup dalam tulisan ini, program MBG merupakan bagian dari janji kampanye Presiden Prabowo saat pilpres tahun lalu. Tentu saja, dampak positif maupun risiko negatif dari program ini sudah menjadi pertimbangan matang. Jika program ini berhasil dan mampu menghasilkan perubahan yang signifikan, maka dukungan dan legitimasi Presiden Prabowo akan semakin kuat, serta peluang terpilih kembali untuk periode kedua akan sangat besar. Namun, jika program ini gagal, maka bukan hanya kredibilitas pemerintah yang akan menurun, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam memenuhi janji-janji kampanye akan tergerus, yang berpotensi menimbulkan kekecewaan luas dan mengurangi peluang politik di masa mendatang.***
Dr. Syarief Makhya, M.Si adalah staf pengajar FISIP Universitas Lampung