Rajungan Makin Langka, Nelayan Kecil di Muara Gading Mas Nyaris Tak Tersentuh Bantuan

Kadim dan anaknya mengecek jaring di atas kapal miliknya, Selasa (19/10/2021). Foto: Teraslampung.com/Mas Alina
Kadim dan anaknya mengecek jaring di atas kapal miliknya, Selasa (19/10/2021). Foto: Teraslampung.com/Mas Alina
Bagikan/Suka/Tweet:

Mas Alina | Teraslampung.com

LABUHAN MARINGGAI — Suasana kontras akan terlihat bila kita memasuki kampung nelayan Desa Muaraga Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Kampung nelayan ini terlihat kumuh. Di tepi pantai banyak sampah berserakan. Rumah-rumah nelayan kecil umumnya kumuh, sangat sederhana, dan kurang terawat. Sebaliknya, rumah nelayan kelas bos atau majikan biasanya besar, megah, dan bersih. Bahkan, ada seorang nelayan tingkat bos yang memiliki rumah megah di atas pantai.

BACA: Sejak Susi Pudjiasti tidak Jadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Kapal Trawl Merajalela di Pantai Labuhan Maringgai, Nelayan Kecil Menjerit

Nelayan kecil adalah sebutan untuk nelayan yang hanya bekerja dengan nelayan yang memiliki modal. Para nelayan kecil akan mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan dengan sang bos. Sedangkan nelayan kelas bos adalah sebutan untuk nelayan bermodal besar.

Biasanya nelayan kelas bos memiliki beberapa kapal dan banyak pekerja. Nelayan kelas bos inilah yang kerap mewakili nelayan ketika ada pertemuan dengan pihak lain. Bahkan, mereka juga sering mewakili nelayan mengikuti pelatihan terkait masalah perikanan dan kelautan.

Salah satu nelayan kelas bos di Muara Gading Mas adalah Juki. Ia menjadi tempat para nelayan kecil meminjam uang ketika para nelayan kecil sedang buntu.

Karena letaknya sangat mencolok, yaitu berada di atas air pantai atau muara di pinggir kampung nelayan, rumah Juki selalu menjadi perhatian para pendatang atau orang yang baru pertama datang di Muara Gading Mas.

Ketua Forum Nelayan Rajungan Lampung, Miswan, menuturkan ada beberapa faktor mengapa nelayan rajungan tidak sejahtera. Antara lain  adalah karena harga rajungan sudah ditentukan oleh ‘pembina’ dan nelayan tidak bisa barbuat banyak karena terlilit utang.

“Selain itu, harga alat tangkap tidak sesuai dengan harga rajungan, alat tangkap nelayan rajungan sering hilang tersapu oleh alat yang tidak ramah lingkungan, dan hasil tangkapan semakin menurun dari tahun ke tahun,” katanya.

Selain itu, peranan pemerintah tidak dirasakan para nelayan rajungan baik secara langsung maupun tidak langsung,  baik bantuan berupa modal / materi maupun bantuan alat tangkap.

“Selama ini kalau ada acara pelatihan dari dinas kelautan dan perikanan untuk nelayan yang diundang justru bukan nelayan tapi bos nelayan, pembina (nelayan pengumpul), dan pihak pihak yang tidak berkompeten dibilang rajungan,” jelas Miswan.

Rumah Kadim di Desa Muara Gading Mas

Karena banyaknya kendala di lapangan terkait masalah rajungan, akhirnya Miswan bersama teman nelayan lainnya berinisiatif membuat forum nelayan rajungan Lampung yang dibentuk pada April tahun 2021 lalu. Forum nelayan ini dibentuk agar bisa koordinasi bersama teman teman nelayan di kabupaten lainnya dan bisa sharing masalah masalah terkaot rajungan untuk dicarikan solusinya, serta sosialisasi dengan teman-teman NGO untuk alat tangkap .

Menurut Miswan, selama ini belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk apa pun, baik modal usaha maupun pelatihan pelatihan.

“Kami ini nelayan kecil yang tradisional.Selama ini banyak diboongin / dikibulin , kabarnya akan dapat bantuan dari pemerintah namun gak ada, padahal sudah kumpulin e- KTP,” jelasnya. Belum lagi , adabya nelayan pengumpul ( tengkulak) serta bos besar yang semakin membuat hidup mereka terhimpit.

“Terkadang kami kurang modal , pinjam bos besar Rp 5 juta pada tahun ini. Selanjutnya tahun depan hutang semakin meningkat bukan Rp 5 juta lagi karena adanya bunga yang tinggi,” katanya.

Menurut Miswan, musim rajungan hanya pada bulan tertentu yakni bulan Januari hingga Mei. Biasanya jika lagi musim harga rajungan jatih dibawah Rp 50 ribu/ kg.

“Saya berharap agar ketika lagi musim rajungan harga jangan rendah banget Rp 15 ribu / kg. Saya ingin harga rajungan kami maksimal bisa Rp 50 ribu sampai Rp 100 / kg,” jelasnya.

Miswan yang mengaku menjadi nelayan sejak SD ini berharap agar pemerintah berperan aktif membantu nelayan rajungan agar nelayan bisa sejahtera.

Rumah mewah di atas pantai dekat mura di Desa Muara Gading Mas, Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Foto: Mas Alina/Teraslampung.com
Rumah mewah di atas pantai dekat mura di Desa Muara Gading Mas, Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Foto: Mas Alina/Teraslampung.com

Sementara itu, Kabid Perikann Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Sutaryono,  mengaku selama tahun 2021 ini pihaknya bermitra dengan kelompok kelompok nelayan yang aktif. Menurutnya, pihaknya memberikan  bantuan cold box dan bubu rajungan.

“Kelompok nelayan bisa mengajukan proposal bantuan ke kami dengan syarat harus ada akta notaris kemenhukham agar dapat menerima bantuan,” katanya.

Hesti Widodo, Senior Program Manager CTC, mengatakan ada beberapa hal yang dilakukan untuk membantu dan mendukung nelayan rajungan .

CTC secara spesifik di Lampung mendukung pengembangan kapasitas bagi Komite Pengelolaan Perikanan Rajungan Berkelanjutan (KPPRB) dan menyelenggarakan pelatihan bagi para perempuan yang terlibat dalam perikanan rajungan di Kuala Teladas dan Sungai Burung. Peserta pelatihan kami menyasar para perempuan dengan variasi usia dan peran. Saat ini tim kami sedang melatih kelompok tersebut.

Pelatihan sudah dimulai sejak Juni 2021 dirancang secara modular untuk memastikan proses belajar berjalan terstruktur dan memberikan waktu pendalaman kepada peserta.

Pelatihan dirancang untuk diselenggarakan sampai dengan awal November 2021 dan diharapkan pada tahap akhir proses pengembangan kapasitas, para perempuan nelayan yang terlibat akan dapat menampilkan opini mereka tentang kondisi sumber daya laut di desanya, menyampaikan pendapat dari sisi perempuan tentang masalah tersebut berdampak pada kehidupan sosial sebagai langkah awal menuju keterlibatan kelompok ini pada pengambilan keputusan terkait sumber daya.

Pemilihan kelompok perempuan dalam pelatihan kami berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan kapasitas dan analisis gender bahwa kelompok perempuan nelayan belum mendapatkan kesempatan yang cukup untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya.

CTC tidak menargetkan nelayan laki-laki secara khusus karena sudah ada mitra lokal yg menyasar kelompok tersebut.

Kedua desa di Kabupaten Tulang Bawang merupakan lokasi pembelajaran kami dan kami masih akan melakukan proses pemantauan dan evaluasi agar dapat mereplikasi metode pengembangan kapasitas yang paling efektif menyasar kelompok perempuan nelayan. Dalam beberapa waktu mendatang bedasarkan hasil evalusi nanti, kami berencana untuk melakukan pendampingan dan pengembangan kapasitas perempuan nelayan rajungan di Lampung dengan lokasi berbeda dan Jawa Tengah.

CTC melalui program pengembangan kapasitas dan penjangkauan masyarakat di lokasi-lokasi target, mengajak dan menginspirasi para pihak untuk melakukan praktik perikanan yang berkelanjutan. Pelibatan para wakil masyarakat (champions) yang berperan sebagai inspirator dan motivator akan membantu dalam proses perubahan perilaku di masyarakat.

“Meskipun demikian,  kami paham bahwa itu saja tidak cukup, perlu mitra-mitra lain yang berkompeten dalam pemberdayaan nelayan pesisir secara langsung dan juga peran penegakan aturan dalam pengelolaan sumber daya agar hasilnya berdaya guna,” kata Heri Widodo.