Sejak Susi Pudjiasti tidak Jadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Kapal Trawl Merajalela di Pantai Labuhan Maringgai, Nelayan Kecil Menjerit

Kadim, nelayan kecil warga Desa Muara Gading Mas, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, menuturkan soal susahnya mencari rajungan di pantai karena makin banyaknya kapal dengan jaring trawl. Foto: Mas Alina Arifin/Teraslampung.com
Bagikan/Suka/Tweet:

Mas Alina | Teraslampung.com

LABUHAN MARINGGAI  — Pagi itu, Selasa (19/10/2021) Kadim (45), sedang istirahat di kapal “Ayu Rezeki” miliknya di tepi pantai Desa Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

BACA: Rajungan Makin Langka, Nelayan Kecil di Muara Gading Mas Nyaris Tak Tersentuh Bantuan

Ayah tiga anak itu terlihat lelah karena baru saja pulang melaut. Kadim biasanya berangkat sore menjelang hari gelap dan baru pulang ketika matahari sudah terbit. Ia berburu rajungan dan ikan lainnya di laut bersama anaknya,  Budi.

Budi, anak Kadim, adalah remaja tanggung setiap hari membantu ayahnya mencari rajungan di laut. Ia mestinya masih bersekolah. Namun, ia terpaksa berhenti sejak ia memperoleh ijazah SD. Alasannya, selain soal biaya, juga harus membantu ayahnya mencari nafkah.

Pendapatan Kadim sebagai nelayan tidak menentu. Terkadang bisa menutup kebutuhan sehari-hari, tetapi sering juga harus ‘nombok’. Kalau sudah begitu, biasanya ia akan berhutang kepada ‘bos’. ‘Bos’ adalah sebutan untuk pengusaha kapal bermodal besar yang mempekerjakan beberapa nelayan.

“Hari ini hanya dapat rajungan sedikit, cuma 2 kg 8 ons,” kata Kadim.

Kadim mengaku, akhir-akhir ini ia makin sulit mendapatkan rajungan. Bisa mendapatkan 2 kg/malan saja sudah lumayan. Hal itu terjadi sejak kapal-kapal besar yang beroperasi dengan jaring trawl hilir-mudik di tengah laut untuk menjaring semua ikan, bahkan ikan ‘kelas bayi’ atau teri sekalipun.

“Kapal dengan jaring trawl itu tentu saja juga menggaruk semua rajungan. Kami tidak  bisa ngapai-ngapain. Mereka orang kuat,”  kakek satu cucu yang sudah menjadi nelayan sejak 1994 itu.

Kadim mengatakan kapal dengan jaring trawl dimiliki hampir semua nelayan disana. Tentunya nelayan dengan kantung tebal, bukan seperti dirinya.

“Saya mah gak ikut ikutanlah. Biarin aja mereka yang pakai jaring trawl,” katanya.

Sikap Kadim itu bukan karena dia mampu secara ekonomi atau sok-sokan. Ia bersikap seperti itu karena ia merupakan satu dari nelayan yang sudah paham akan pentingnya pentingnya pelestarian rajungan berkelanjutan di Indonesia. Yang dipikirkan Kadim adalah nasib anak cucunya jika rajungan musnah.

Gimana nanti nasib anak cucu kita kedepan kalau semuanya dihabisin, termasuk rajungan,” katanya, diamini istrinya.

Kadim bercerita, hasil tangkapan rajungan menurun sejak tahun 2019 atau setidaknya sejak Susi Pudjiastuti tidak lagi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Menurutnya, sejak Susi tidak menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan lagi, kapal trawl makin banyak yang beroperasi.  Kapal-kapal itulah menurut Kadim yang menyebabkan rajungan makin sulit didapatkan.

Dulu rajungan masih banyak , bahkan dalam beberapa hari melaut bisa menangkap rajungan sekitar 8-9 kuintal . Tapi sekarang jika musim rajungan hanya bisa ditangkap paling banyak 7 -10 kg .

Dulu pada 1994, dengan tangkapan rajungan yang banyak dan penghasilan yang besar, Kadim bisa membangun rumah, menyekolahkan anaknya dan membuat dua kapal yakni kapal 3 gross tonnage atau 3 GT dan 2 GT.

Nelayan Muara Gading Mas baru pulang dari melaut. Penghasilannya dari ‘berburu’ rajungan tida menentu karena rajungan kian susah didapatkan.

Selain itu, lanjut Kadim, kelangkaan solar juga menjadi salah satu kendala dalam melaut disana.Meski ada KUD Bina Mina (sekarang sudah tidak aktif), tapi tetap tidak membantu para nelayan, bahkan harus ribut dulu baru solar didapat.

“Saya harus adu mulut dulu ama pengurus KUD agar bisa beli solar yang harganya 80 ribu/ 10 liter,” ujar Aisah (36), istri salah satu nelayan .

Hal yang sama juga dikatakan Imam (45), nelayan rajungan lainnya yang hidupnya lebih memprihatinkan dari Kadim.

Imam mengaku dengan rajungan sepi dan berimbas pada pendapatan yang menurun. Sekarang dirinya jarang melaut.

“Sekarang ini rajungan sedikit, bahkan alat tangkap jaringnya sering hilang dilaut. Dikarenakan merugi terus saya jarang melaut lagi,” katanya.

Imam juga menjelaskan jika tangkapan rajungan dan ikan lagi sepi, dirinya masih memiliki pekerjaan lainnya sebagai merebot masjid / pengurus masjid.

“Alhamdulillah saya masih dianggap tokoh masyarakat disini,” kata Imam yang kebetulan juga ketua RT di sana.

Di kalangan nelayan menjaring iklan dengan kapal trawl ini sudah lumrah. Bahkan jika ada yang protes atau membicarakan tentang kapal dengan jaring trawl,  nyawa bisa  taruhannya. Pemrotes akan mendapatkan teror atau ancaman.

Hal ini dibenarkan oleh pendamping nelayan rajungan dari Mitra Bentala, Nyoman Natih. Menurut Nyoman, dulu pernah ada cerita seorang yang menentang adanya praktik kapal trawl ini dan viral  di medsos,  orang tersebut sempat diancam.

“Ada orang gerot yang melindungi aktivitas  kapal trawl di laut,” kata Nyoman.

Nyoman menjelaskan, sebagai pendamping nelayan, Mitra Bentala sudah menyosialisasikan kepada nelayan rajungan agar jangan menggunakan kapal dengan jaring trawl. Selain akan marusak kelestarian alam, kapal trawl juga akan menjaring rajungan kecil yang belum layak jual. Hal itu akan merusak populasi rajungan di laut.

Sejak Susi tidak menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan,  kapal-kapal yang menggunakan jaring trawl semakin ramai bermunculan pantai di dekat Desa Muara Gading Mas.

Kapal trawl merupakan kapal penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap trawl atau biasa disebut pukat harimau/pukat hela. Trawl merupakan jaring berbentuk kerucut yang terbuat dari dua, empat atau lebih panel yang ditarik oleh satu atau dua kapal di dasar atau di tengah laut.

Dalam praktik penggunaannya, trawl diseret melewati dasar laut sebagai upaya penangkapan ikan. Alat ini banyak digunakan karena dapat menghasilkan tangkapan ikan dengan jumlah besar tapi tanpa memperhatikan kelestarian alam.