TERASLAMPUNG.COM — Setelah tata ruang kota rusak parah karena Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) “ditabrak”, kini Pemkot Bandarlampung berencana meninjau Perda tersebut dan akan melakukan revisi.
Menurut Sekda Kota Bandarlampung Badri Tamam, revisi Perda RTRW perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan Kota Bandarlampung yang kini ditetapkan sebagai kota metropolitan.
BACA: Ini Alasan Pemkot Bandarlampung Ngotot Merevisi Perda RTRW
Direktur lembaga advokasi lingkungan Mitra Bentala, Mashabi, menilai revisi Perda RTRW 2011 – 2030 Kota Bandarlampung mengurangi kawasan resapan air.
“Kami menyoroti Revisi RTRW tersebut yang banyak mengalami perubahan. Salah satunya adalah terkait Ruang Terbuka (RTH), zona hijau, kawasan resapan air yang terus berkurang dan tidak terkontrol dengan baik,” jelas Abi usai mengikuti acara Konsultasi Publik Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandarlampung tahun 2011 – 2030, Kamis (11/7) di ruang rapat Tapi Berseri.
Dia juga meminta pemkot harus konsisten dan berani untuk menjalankan RTRW yang dibuat serta menindak tegas bagi yang melanggar.
“Misalkan ada pihak yg melakukan pelanggaran dalam penggunaan ruang kota harus ditindak tegas secara hukum. Banyaknya alih fungsi lahan menyebabkan terjadinya degadrasi lingkungan dan daya dukung Lingkungan Kota Bandar Lampung terus berkurang.”
“Kita bisa lihat RTH saja bukanya menambah tetapi terus herkurang ,sama juga zona hijau atau sabuk hijau sebagai paru-paru kota beralih fungsi untuk perumahan, wisata kota dan vila,” jelasnya.
Berkurangnya RTH diakui oleh Sekdakot Badri Tamam yang mengatakan kota ini sangat terbatas ruang terbuka hijau bahkan miskin terhadap aset tanah.
“RTH kita terbatas, kota ini miskin aset tanah ini yang harus jadi pemikiran kita ke depan. Kita berharap daerah-daerah yang tidak boleh dikelola ya harus dijaga untuk bagamana RTH ini bisa menjaga dari bencana,” ungkapnya.
Berdasarkan catatan Teraslampung.com, sejak 15 tahun terakhir kerusakan lingkungan di Kota Bandarlampung pelan dan pasti makin parah. Perda RTRW terbukti tidak menjawab laju kerusahan daerah resapan air.
Selain banyak bukit yang digerus, ada beberapa bukit dan daerah resapan air di Kota Bandarlampung yang kini berubah menjadi perumahan elite. Misalnya Bukit Camang dan Bukit Rasuna di Jalan H.R. Rasuna Said.
Daerah resapan air yang selama ini menjadi ikon sejarah meletusnya Gunung Anak Krakatau, yaitu Taman Dwipangga, kini juga berubah fungsi menjadi lahan parkir Polda Lampung.
Sementara itu, berkembangnya bisnis hotel membuat zonasi kawasan bisnis-perkantoran dengan kawasan permukiman di Bandarlampung menjadi makin tidak jelas. Buktinya, ada hotel yang bisa didirikan di kawasan rumah penduduk dan bukan di kawasan bisnis (niaga).
Dandy Ibrahim