Oleh : T.H. Hari Sucahyo
Pegiat pada Cross-Diciplinary Discussion Group “Sapientiae”
Kata “maaf” tampak sederhana, tetapi maknanya bisa sangat berbeda ketika berpindah lintas budaya. Sebuah ungkapan kecil dapat memicu pemahaman yang saling bertolak belakang, tergantung pada konteks sosial, nilai budaya, dan cara orang memaknai hubungan antarmanusia.
Di Jepang, permintaan maaf (sumimasen atau gomen nasai) sering diucapkan bahkan ketika seseorang tidak melakukan kesalahan. Di Amerika Serikat, sebaliknya, “I’m sorry” memiliki konotasi yang lebih tegas: sebuah pengakuan atas kesalahan, kelemahan, atau tanggung jawab personal. Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, menempati posisi unik di antara keduanya.
Masyarakatnya menggunakan kata “maaf” untuk menjaga harmoni sosial, menunjukkan kesopanan, dan meneguhkan nilai-nilai religius, namun maknanya sering kali cair dan berlapis. Memahami perbedaan ini memerlukan kacamata psikologi budaya, khususnya melalui teori Geert Hofstede tentang dimensi budaya dan Edward T. Hall tentang konteks komunikasi.
Jika dilihat dari perspektif Hofstede, Jepang adalah negara dengan budaya kolektivis tinggi dan tingkat uncertainty avoidance yang juga sangat tinggi.
Dalam masyarakat seperti ini, stabilitas sosial dan harmoni kelompok menjadi nilai utama. Permintaan maaf menjadi alat penting untuk meredam potensi konflik dan menjaga keseimbangan hubungan. Bahkan, kata sumimasen di Jepang bisa berarti “maaf”, “permisi”, atau “terima kasih” tergantung konteksnya.
Orang Jepang sering meminta maaf bukan karena merasa bersalah, tetapi karena ingin menunjukkan kerendahan hati, menegaskan perbedaan peran sosial, dan menghormati orang lain. Hal ini juga berkaitan erat dengan konsep tatemae (wajah publik) dan honne (perasaan pribadi), di mana menjaga citra diri dan menghindari rasa malu kolektif jauh lebih penting daripada sekadar mengakui kesalahan personal.
Edward T. Hall akan menyebut Jepang sebagai high-context culture, sebuah budaya di mana makna komunikasi banyak tersembunyi dalam konteks nonverbal, status sosial, dan relasi antarindividu. Dalam kerangka ini, “maaf” adalah bahasa simbolik yang lebih dalam dari sekadar kata, dan sering kali dipahami tanpa perlu penjelasan panjang.
Di sisi lain, Amerika Serikat menempati spektrum budaya yang berlawanan. Berdasarkan Hofstede, AS termasuk dalam budaya dengan individualisme sangat tinggi dan power distance rendah. Dalam masyarakat seperti ini, komunikasi berlangsung lebih langsung dan eksplisit. Permintaan maaf biasanya muncul ketika seseorang merasa benar-benar melakukan kesalahan atau melanggar norma tertentu.
Mengucapkan “I’m sorry” berarti mengakui tanggung jawab pribadi, dan karena itu memiliki konsekuensi sosial, bahkan hukum. Dalam budaya bisnis Amerika, misalnya, pengakuan kesalahan melalui permintaan maaf bisa dimaknai sebagai bentuk kelemahan atau membuka peluang gugatan.
Di sini, Edward T. Hall mengklasifikasikan AS sebagai low-context culture, di mana makna komunikasi tersampaikan secara verbal, jelas, dan spesifik. Jika Anda meminta maaf, pesan yang diterima hampir selalu literal: “Saya salah, saya menanggung akibatnya.”
Indonesia menempati posisi unik di antara dua ekstrem ini. Secara psikologi budaya, Indonesia adalah masyarakat dengan kolektivisme tinggi seperti Jepang, tetapi memiliki karakter komunikasi yang cenderung lebih fleksibel dan berlapis. Dalam dimensi Hofstede, Indonesia memiliki power distance tinggi, di mana hierarki sosial sangat dihargai. Hal ini membuat permintaan maaf sering kali dipengaruhi oleh faktor status dan kedudukan.
Orang yang lebih muda atau berada di posisi sosial lebih rendah biasanya lebih sering meminta maaf kepada yang lebih tua atau memiliki otoritas.
Namun, berbeda dari Jepang yang menempatkan permintaan maaf sebagai bagian dari sistem sosial yang kaku, di Indonesia penggunaannya lebih situasional dan sarat konteks budaya lokal.
Teori Hall membantu kita memahami hal ini. Indonesia termasuk kategori high-context culture, mirip dengan Jepang, tetapi dengan karakter khas Nusantara yang kaya keragaman. Kata “maaf” di Indonesia bisa menjadi simbol kesopanan, tanda penghargaan, ungkapan empati, atau sekadar pembuka percakapan. Misalnya, kalimat “Maaf, boleh saya lewat?” sebenarnya bukan bentuk pengakuan kesalahan, melainkan strategi menjaga kenyamanan orang lain.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, permintaan maaf juga terkait erat dengan ritual budaya dan religius. Tradisi Lebaran dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” adalah contoh paling jelas bagaimana “maaf” di Indonesia berfungsi sebagai alat rekonsiliasi kolektif. Dalam momen tersebut, permintaan maaf tidak menandakan kesalahan tertentu, melainkan simbol pembersihan hati dan pembaruan hubungan sosial.
Berbeda dari Jepang, masyarakat Indonesia tidak selalu konsisten dalam penggunaan “maaf”. Ada kalanya orang Indonesia meminta maaf bahkan ketika tidak bersalah, demi menghindari konflik. Di sisi lain, ada pula kondisi di mana meminta maaf justru dihindari karena dianggap menurunkan harga diri, terutama dalam konteks status sosial dan politik. Fenomena ini terlihat jelas dalam dunia birokrasi atau kepemimpinan.
Tidak jarang pejabat publik enggan meminta maaf secara terbuka meskipun jelas melakukan kesalahan, karena permintaan maaf dianggap sebagai simbol kelemahan dan kehilangan otoritas. Di sini, kita melihat paradoks antara nilai kolektivisme yang menekankan harmoni sosial dan realitas politik yang lebih menekankan citra kekuasaan.
Jika kita membandingkan ketiga budaya ini, terlihat jelas perbedaan cara mereka memaknai kata “maaf”. Jepang menekankan relasi sosial dan harmoni kolektif, Amerika menekankan tanggung jawab personal dan kejelasan komunikasi, sementara Indonesia berada di antara keduanya dengan memadukan kesopanan, rekonsiliasi, dan nilai spiritual. Tetapi perbedaan ini juga memunculkan tantangan, terutama di era globalisasi.
Dalam interaksi lintas budaya, kesalahpahaman mengenai makna “maaf” bisa menimbulkan gesekan. Seorang pebisnis Indonesia yang mudah mengucapkan “maaf” kepada rekan Amerika mungkin dianggap sedang mengakui kesalahan besar, padahal maksudnya sekadar menunjukkan kesopanan. Sebaliknya, sikap enggan meminta maaf dari rekan Amerika bisa dianggap dingin atau arogan oleh mitra Jepang atau Indonesia. Dalam pertemuan internasional, pemahaman terhadap kerangka Hofstede dan Hall menjadi penting untuk menavigasi perbedaan persepsi ini.
Fenomena generasi muda Indonesia menambah dimensi baru dalam pembahasan ini. Dengan paparan budaya global dan interaksi di media sosial, cara mereka memaknai permintaan maaf mulai bergeser. Ungkapan seperti “sorry not sorry” atau “no hard feelings” menunjukkan perubahan ke arah ekspresi diri yang lebih individualistik. Bagi generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital, “maaf” tidak selalu dilihat sebagai kewajiban sosial, melainkan pilihan personal. Namun, di sisi lain, ritual kolektif seperti minta maaf saat Lebaran masih bertahan, menandakan adanya tarik-menarik antara modernitas dan tradisi.
Kata “maaf” adalah cermin nilai budaya. Di Jepang, ia merepresentasikan kesadaran kolektif dan tata krama sosial. Di Amerika, ia menandakan integritas personal dan kejelasan tanggung jawab. Di Indonesia, “maaf” adalah jembatan yang menghubungkan kesopanan, harmoni sosial, dan spiritualitas.
Memahami perbedaan makna ini membantu kita melihat betapa satu kata bisa memuat filosofi hidup yang berbeda-beda. Dalam dunia yang semakin terhubung, kepekaan terhadap makna kultural di balik kata “maaf” menjadi keterampilan penting. Lebih dari sekadar ungkapan linguistik, “maaf” adalah bahasa emosi, bahasa relasi, dan bahasa kemanusiaan.