Kasus Fee Proyek Dinas PUPR Lamsel: Zainudin Hasan Minta Keringanan Hukuman, Ini Alasannya

Zainudin Hasan (kiri) pada sidang penyampaian pledoi di pengadilan tindak pidana korupsi Tanjungkarang, Senin, 15 April 2019.
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Sidang lanjutan kasus fee proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan dengan terdakwa Bupati Lampung Selatan nonaktif Zainudin Hasan, Kamis (15/4/2019), di Pengadilan Tipikor dengan agenda pembacaan pledoi  oleh penasihat hukum

Dalam nota pembelaan (pledoi) penasihat hukum Zainudin Hasan, Robinson dkk, mengaku pihaknya tidak mengingkari fakta bahwa Zainudin Hasan sudah mengakui perbuatannya. Nota pledoi setebal 300 halaman lebih itu dibacakan secara bergantian oleh tiga orang tim kuasa hukum, yang pada pokoknya meminta keringanan.

BACA: Bupati Lampung Selatan Nonaktif Dituntut 15 Tahun Penjara

“Dalam hal ini terdakwa dibenarkan diduga bersalah melakukan tipikor dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Tetapi sebagai catatan kami, jumlah secara pasti nominal uang yang diterima terdakwa tidak dapat dibuktikan. Sebab dalam hal ini yang mengambil uang bukan terdakwa langsung. Kami meminta agar terdakwa dihukum seringan ringannya,”ujarnya.

Robinson juga menjelaskan bahwa fakta praktik ploting anggaran merupakan praktik yang sudah terjadi sejak masa kepemimpinan bupati sebelumnya, sehingga program ini sudah berjalan terstruktur dari sebelumnya. Ia juga mengatakan bahwa yang melakukan floating bukanlah terdakwa, melainkan Kepala Dinas PUPR setempat.

“Terdakwa dalam hal ini hanya mengikuti rekam jejak yang pernah ada sebelumnya. Dan lain daripada itu segala prosedurnya tidak diketahui oleh terdakwa. Kami berharap fakta hukum yang kami sajikan bisa diterima oleh majelis hakim,” jelas Robinson.

BACA: Tidak Diizinkan Dampingi Istri Melahirkan, Zainudin Hasan Menangis

Menurut Robinson, terdakwa juga tidak pernah menentukan jumlah fee yang ditentukan rekanan. Dan Terdakwa tidak pernah memerintahkan untuk membentuk tim pengaturan lelang, juga tidak memerintahkan untuk intervensi proses lelang di dinas PU. Dan poin terakhir, terdakwa tidak mengetahui dan tidak pernah memerintahkan tim pembuat dokumen untuk memberikan penawaran ke perusahan.

“Kami selaku penasehat hukum tidak sependapat adanya kerjasama dalam menwujudkan tipikor. Berdasarkan pengertian yang kami sebutkan, tidak ada unsur sebagai orang yang melakukan dan menyuruh melakukan,” ungkapnya lagi

Pada 2016 terdakwa menerima sejumlah uang dari Syahroni sebesar Rp 26.073.771.210 dan dari Ahmad Bastian sebesar Rp 9,6 miliar.

Pada 2017, terdakwa kembali menerima uang melalui Syahroni sebesar Rp 23.669.020.935 dan dari Rusman Effendi sebesar Rp 5 miliar. Pada 2018 terdakwa kembali menerima uang dari Anjar Asmara sebesar Rp 8,4 miliar.

“Berdasarkan ‘perlakuan’ (aturan tak tertulis/kebiasaan) nilai fee 13-17 persen, (nilai) ini tidak dapat dihitung secara pasti. Juga pernyataan terdapat penerimaan fee dari Ahmad Bastian tersebut, faktanya Ahmad Bastian tidak pernah diminta uang oleh terdakwa. Dan juga bahwa terhadap Rusman Effendi sejumlah Rp5 miliar yang diserahkan bukan permintaan dari terdakwa,”jelasnya.

Selain itu pada tahun 2018, terjadi penyerahan uang dari Gilang Ramadhan Rp450 juta, Iskandar Rp 750 juta, Rusman Effendi Rp250 juta, dan Ardi Rp55 miliar.

“Terhadap penerimaan tersebut, juga tidak pernah diterima langsung oleh terdakwa,” katanya.

Menurut Robinson, hal yang disampaikan merupakan fakta yang sebenarnya terjadi pada kenyataanya terbukti, sehingga penasihat hukum meminta persidangan untuk mencari dan kebenaran bukti.

“Terdakwa telah jujur mengakui yang menerima sejumlah uang. Namun, nanun kami tidak sependapat dari beberapa uraian di atas. Kami mohon untuk dipertimbangkan bagi beberapa fakta hukum. Setidaknya diberikan hukuman seringan ringannya,” tandasnya.