Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Siang menjelang sore, saya kedatangan tamu. Ia enaga pengajar. Kami pun bercengkerama ngalor-ngidul, membicarakan yang remeh temeh sebagai pelepas lelah. Namun dasar dunia ilmuwan, akhirnya ia menyinggung karakteristik hubungan dosen dengan mahasiswanya.
Semula hubungan itu hangat, ramah dan sangat terbuka; bahkan tidak jarang begitu friendly. Namun begitu mereka selesai, satu per satu hubungan itu meredup dan menuju kesunyian. Bahkan tidak ada lagi berita atau sapaan melalui media sosial.
Ironis lagi beberapa berita atau perkabaran yang beliau kirimkan tidak berbalas. Saat diingatkan bahwa tiada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan; beliau tersentak dan seolah tersadar. Akhirnya beliau berkesimpulan biarkan waktu yang menjawabnya; karena peristiwa serupa bukan hanya di ruang kuliah, tetapi disemua lini kehidupan akan seperti itu; semula bersama, kemudian dingin, dan terakhir berpisah dalam sunyi.
Setelah beliau meninggalkan ruangan pemikiran filsafat mulai bergentayangan di alam idea. Dan, mulailah pengembaraan itu berjalan dimulai dari satu pemikiran bahwa manusia adalah makhluk sosial; keberadaannya tak pernah utuh tanpa hadirnya orang lain, tanpa interaksi yang menautkan keberadaan satu insan dengan insan lainnya. Maka ketika relasi yang pernah ada dalam keramahan dan penghormatan mulai redup, entah karena waktu, jarak, pergeseran hati, atau dilema kesibukan dan prioritas, hal itu menimbulkan tantangan eksistensial tersendiri.
Kehilangan keakraban yang dulu menghangatkan ruang jiwa, kini menghadirkan ruang hampa, kesenyapan yang menggema dalam teater kenangan. Lalu, ketika sang teman dalam waktu seolah-olah “lama‑lama minggat tak terlihat”, kita bertanya: apa yang hilang sebenarnya, dan apa harapan di balik hilangnya itu?
Filsafat manusia, khususnya dalam tradisi eksistensialis, mengajarkan bahwa autentisitas relasi adalah jembatan peneguh identitas kita. Sartre menegaskan bahwa eksistensi manusia bukan sekadar hadir, akan tetapi juga hadir bagi yang lain. Tanpa orang lain, dunia kita menjadi monolog hampa. Dalam dunia yang sempat akrab dan penuh hormat, perjumpaan yang sederhana seperti sapaan “apa kabar?”, tawa berbagi cerita, serta pengertian tanpa kata adalah pilar bagi keberlangsungan hidup batin.
Hilangnya kehadiran orang lain, yang dulu selalu ada, seakan merenggut cermin yang selama itu membantu kita melihat refleksi diri. Dalam keheningan yang menyertai hilangnya sosok-sosok yang pernah ada, seolah kita dipertemukan kembali dengan diri sendiri, dengan rasa sendiri, tapi juga dengan ketiadaan.
Dalam filsafat Heidegger, hubungan manusia dengan manusia lain adalah “being‑with”: yaitu, kita adalah makhluk yang “selalu sudah bersama”. Jika kehadiran itu ditarik, ruang‑ruang yang pernah dihuni bersama menjadi kosong dan mengundang kecemasan ontologis: “Dasein” yang dulu nyaman kini merasa terkoyak. Namun, justru dalam kehampaan itu kita menemukan kedalaman masa lalu kita bersama; detik‑detik kecil yang dulu tampak biasa saja, kini memancar sebagai fragmen kehangatan yang sulit dilupakan. Jauh sebelum kehadiran fisik hilang, “muka” filosofis kita terhadap orang lain sudah pernah bertaut lewat citra, tawa, empati, dan saling memahami yang tak banyak kata.
Ketika sang kawan “lama-lama minggat tak terlihat”, ada proses pengendapan; bisa di tingkat psikologis, atau bisa juga di ranah etis. Secara psikologis, kita merasakan penolakan yang samar; kerinduan yang merambat diam-diam. Secara etis, kita bertanya-tanya tentang hubungan: apakah ada sesuatu yang kita abaikan, atau mereka-mereka sendiri yang meninggalkan? Dalam skema filsafat Emmanuel Levinas, etika relasi adalah tanggung jawab tanpa syarat kepada wajah lain.
Di sisi lain, filsafat Martin Buber menyikapi relasi manusia dalam ranah “Aku‑Kamu” versus “Aku‑Itu”. Saat relasi pernah bersifat “Aku‑Kamu”, ada saling pengakuan akan keberadaan yang penuh makna. Setiap sapaan adalah dialog penuh kehadiran. Ketika keakraban meredup dan seseorang “larut tak terlihat”, kita merasa mereka seperti berubah menjadi “Itu”; tak lagi subjek relasional penuh kehadiran, melainkan entitas yang tak terjangkau, bagai bayangan samar di lorong ingatan.
Akhirnya, “semula akrab dan hormat, setelah selesai permintaan lama-lama minggat tak terlihat…” bukan sekadar cerita tentang kehadiran dan ketiadaan, tapi panggilan etis: bagaimana kita memperlakukan ruang antara kehilangan dan kedatangan. Filsafat manusia mengajarkan bahwa relasi tumbuh bukan dari persamaan sempurna, tetapi dari ketidaksempurnaan yang disambut dengan kesabaran, rasa hormat, keaslian, dan kesiapan hati. Jika sapaan kembali dan diterima dengan hangat, itu bukan penegasan bahwa masa lalu selalu benar, melainkan peringatan bahwa masa sekarang punya potensi kebaikan baru.
Kita hidup di tengah sunyi dan gemuruh; antarrelasi bisa retak, meregang, bahkan lenyap. Tetapi bila kita memiliki keberanian untuk menyapa sekali lagi, bukan karena utang rasa atau pamrih, melainkan karena sepenuh hati tetap melihat wajah lain sebagai “kamu” yang pantas dihormati dan dijaga, maka sinar keakraban bisa kembali menyala, meski redup karena waktu. Oleh karena kita tidak bisa menghindar dari dua pasang kata “jumpa dan pisah”; karena dia adalah sunatullah yang harus dijalani manusia dalam “berjalan” di dunia ini; dan kedua kata itu sejatinya meneguhkan kefanaan dunia dan isinya.
Orang bijak mengatakan “kita datang sendirian, dan akan pulangpun kelak dalam kesendirian”. Jangan khawatir kawan, ada Tuhan yang selalu memberasamai; biarkan musim berganti, waktu bergulir; karena kita tetap bersama-Nya.