Kisah Si Tukang Kecrek (4)
Oyos Saroso HN Dua semester saya lewatkan tanpa kuliah. Awal semester saya membayar SPP dan mengisi kartu rencana studi (KRS). KRS hanya berisi mata kuliah skripsi. Namun, saya tidak mengerjakan skripsi.Saya jenuh. Akhirnya saya pun pulang kampung ke...
Oyos Saroso HN
Dua semester saya lewatkan tanpa kuliah. Awal semester saya membayar SPP dan mengisi kartu rencana studi (KRS). KRS hanya berisi mata kuliah skripsi. Namun, saya tidak mengerjakan skripsi.Saya jenuh. Akhirnya saya pun pulang kampung ke Purworejo, pindah ke kampung kakak sulung di Wonosobo, pindah lagi ke kampung kakak perempuan saya di Brebes.
Saya sebenarnya tidak ingin segera ke Jakarta kalau tidak datang sepucuk surat dari Rokhmat. Surat bersampul putih bertuliskan nama pengirim “Rokhmat Prabu” itu mengabarkan perkembangan terakhir di kampus. Rokhmat juga bercerita tentang pentingnya saya segera lulus karena jatah semester hampir habis. Tak lupa, dia menulis tentang ‘daun-daun gugur’. ‘Daun-daun gugur’ adalah istilah kami berdua tentang perasaan jatuh cinta….
Akhirnya saya kembali ke Jakarta dengan target menyelesaikan skripsi. Target saya lima bab langsung selesai pada semester itu juga (dan betul, akhirnya berhasil dengan konsekuensi sehari-semalam hanya tidur kurang 3 jam).
BACA: Kisah Si Tukang Kecrek (1)
Benar apa yang dikatakan Rokhmat, setelah pertunjukan drama itu usai, sebuah drama lain ternyata terjadi di sebuah rumah kos di Jalan Haji Ten Rawamangun. Dalam drama kehidupan itu Rokhmat ‘mati kutu’ karena merasa terhina oleh ketidakberdayaanya. Ya, di tempat kosnya, dia mendapat saingan dari kawan-kawan satu kos. Rokhmat ‘mati kutu’ karena dia hanya berkarier sebagai guru di sebuah STM (atau SMA?) di Pulogadung, sementara para pesaingnya ‘kelasnya’ masih di atasnya.
Saya hanya ikut prihatin. Namun, diam-diam saya ingin sekali membantu Rokhmat. Bagaimana caranya? Saya sendiri tidak tahu. Sampai tibalah satu saat saya (kalau tidak salah saat jalan bersama Ukim) berpapasan dengan Ibu Maidar Arsyad.Ibu Maidar adalah dosen pengajar mata kuliah kebahasaan yang saat itu
menjadi Pembantu Dekan I FPBS. Bu Maidar mengabarkan adanya kesempatan ikut program wajib militer bagi mahasiswa yang sudah lulus.
Saya berterima kasih kepada Bu Maidar. Namun, dalam hati saya tertawa. Tak ada potongan saya jadi tentara. Apalagi tubuh saya kerempeng dan seorang perokok berat. Lagi pula, bagaimana mungkin saya yang (ketika itu) membenci militer mau daftar jadi tentara? Kakak sulung dan paman saya memang tentara. Tapi saya tak suka jadi militer.
Saya tiba-tiba teringat Rokhmat yang bertubuh tinggi tegap, atletis, tidak merokok, dan rajin lari pagi. Siapa tahu Rokhmat tertarik, pikir saya. Saya pun kemudian menemui Rokhmat untuk menyampaikan informasi dari Ibu Maidar Arsyad. Rokhmat awalnya ragu.
“Mungkin ini jalan terbaik untuk mengubah nasibmu. Kalau kamu jadi tentara dengan pendidikan sarjana kan ya tidak mungkin jadi kroco.Kamu nanti bisa membuktikan kepada mertua dan ‘lawan-lawan politikmu’ bahwa kamu tidak bisa disepelekan!” saya mencoba memberi pandangan.

Akhirnya Rokhmat benar-benar mendaftar wajib militer dengan “semangat 45”. Saya tidak tahu prosesnya. Saya hanya ingat saat dia tes fisik di Senayan. Dia pun bercerita saat tes fisik itu dia membayangkan ‘lawan-lawan politik’ berada di depannya, sedang mengejeknya.
BACA: Kisah si Tukang Kecrek (2)
Saya ikut senang ketika mendengar Rokhmat diterima wajib militer dan mulai pendidikan di Subang. Ia lolos setelah melewati serangkaian tes yang ketat. Sesudahnya saya tidak tahu perkembangan Rokhmat: bagaimana kelanjutan pendidikan militernya, bagaimana kisah percintaannya, dll. Saya sibuk bekerja sebagai wartawan Lampung Post biro Jakarta. Komunikasi makin terputus ketika pada Juli 1997 saya hijrah ke Lampung.
Kalau tidak karena Facebook, maka saya tidak akan menemukan Rokhmat. Memang rumah mertuanya di Jalan Haji Ten saya masih hafal. Ibu mertuanya, istrinya, dan saudara-saudara iparnya pun kenal baik dengan saya. Namun, saya selalu
ragu untuk sekadar mampir ke rumah di Jalan Haji Ten saat saya berkesempatan ke Jakarta.
Sejak dia menikah saya belum pernah bertemu dengan si tukang kecrek yang kini tampak macho dengan pakaian dinas Angkatan Udaranya itu. Saya pun jengah untuk bertanya pangkatnya apa sekarang. Yang jelas, pasti sudah perwira.
Saya ikut bangga Rokhmat sukses menaklukkan duri-duri kehidupan yang pernah membentang di depannya. Ah ya, semoga bekas tukang kecrek itu selalu sehat dan akan terus mereguk kebahagiaan dengan istri, anak-anak, dan keluarga besarnya…











