Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Pagi itu penulis menghadiri undangan perhelatan satu organisasi profesi yang sedang melakukan rapat besar tingkat provinsi. Tentu saja sebagai orang yang dituaka, penulis sangat menghargai undangan itu. Akhirnya semua agenda lain disingkirkan. Penulis hadir di tempat kegiatan satu jam sebelum acara dimulai. Berkumpul bersama teman, sahabat, mantan mahasiswa — dan masih banyak lagi, menyibak nostalgia lama, walau hanya sesaat.
Beberapa saat sebelum acara di mulai seorang pejabat teras organisasi ini mendekat pada kursi duduk sebelah. Beliau berbisik menyapa standard pergaulan dari apa kabar sampai bagaimana kesehatan. Sosok pejabat organisasi ini kalem, namun memiliki strategi jitu dalam menyelesaikan pekerjaan. Namun, ada juga keluhan sebagai manusia. Beliau mengatakan keanehan undangan. Ada pejabat teras yang diundang karena ini acara penting yang dihadiri ketua organisasi pusat, justru yang datang diwakilkan, berwakil, dan perwakilan. Akibatnya, marwah daerah ini agak kurang bagus auranya. Sementara menurut beliau, ada yang tidak diundang tetapi hadir. Akhirnya membuat repot panitia. Sampai-sampai panitia bingung harus didudukkan di mana dan bicara apa.
Ternyata dalam proses kehidupan kita setiap hari seolah ketemu dengan tamu tidak diundang. Tamu itu bisa berupa karunia, tetapi bisa jadi petaka.
Sebagai orang yang beragama, tentu kita menganggapnya itu adalah “jantera kehidupan” yang sudah ditulis sebelum kita lahir. Oleh karena itu, kita sering terkaget-kaget manakala melihat ada saudara tega mengusir saudara kandungnya sendiri, ada anak yang tega mengusir orang tua kandungnya atau sebaliknya. Masih banyak lagi peristiwa yang seolah di luar nalar manusia normal. Namun sebenarnya kita tidak harus bersikap kontra produktif, sebab jangan-jangan itu adalah skenario Tuhan terhadap mahluknya, karena kedangkalan ilmu dan keterbatasan kemampuan-lah, mengakibatkan kita berburuk sangka, atau paling tidak bertanya-tanya.
Persoalannya, bisakah kita menerima tamu tidak diundang itu dengan berprasangka baik? Ternyata untuk sampai pada tataran ini sangat sulit sekali. Perlu waktu untuk latihan yang tidak sebentar. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak semua orang sampai pada tataran itu.Boleh jadi hanya orang-orang pilihan yang sampai pada taraf itu.
Sisi lain diksi “tamu tak diundang” pun bisa menjadi makna konotatif lain, yaitu untuk pencuri yang menyatroni harta orang lain. Makna ini ternyata lebih popular dari makna denotatifnya. Oleh karena itu, banyak di antara kita membaca atau terbaca akan tamu tak diundang akan langsung terpersepsi negatif. Dan, jika ini yang terjadi, maka tidak salah jika kita selalu membangun persepsi negatif akan diksi tadi. Sementara hari-hari sekarang banyak sekali tamu tak diundang yang hadir di ruang kita; terlepas apakah itu ruang privasi atau ruang publik, sehingga ruang-ruang terbuka hijau berubah menjadi ruang-ruang berhala baru yang tertancap pada media yang diciptakan. Semua itu tidak ada undangan yang kita layangkan kepada mereka. Termasuk penyakit yang sedang melanda kita, jangan-jangan itu adalah tamu tak diundang akibat dari kealpaan kita. Bisa jadi juga adalah penanda yang Tuhan berikan kepada kita untuk bersiap memenuhi panggilan pulang dari-Nya.
Sisi lain di antara kita masih banyak yang sibuk menancapkan berhala dengan harapan akan cuan, sementara Hutan Kota yang dicabut oleh investor untuk dijadikan hutan beton, hampir semua kita diam. Sekalipun makna diam itu bisa bermacam-macam. Bisa jadi sudah kelelahan berteriak selama ini, bisa juga bentuk kemasabodohan, atau bisa jadi “buntu akal”. Ternyata hutan kota telah kedatangan tamu tak diundang.
Sebelum terlambat akan kehadiran tamu tak diundang, mari kita mengkoreksi diri: jangan-jangan tamu tak diundang itu datang karena ulah kita sendiri yang membuat dia datang. Atau bisa jadi itu peringatan Tuhan kepada kita akan kealpaan kita selama ini. Namun, bisa juga itu adalah panggilan Tuhan dalam bentuk lain kepada kita agar kita bisa lebih dekat lagi kepada kepada-Nya.
Selamat ngopi pagi.