Arcandra Tahar dan Undang-Undang Kewarganegaraan

Bagikan/Suka/Tweet:

Tomi Lebang

Di ruang makan resepsi pernikahan putra seorang kawan di Balai Sudirman, Jakarta, semalam (14/8/2016), perbincangan tak jauh-jauh dari ihwal status Kewarganegaraan Menteri ESDM Arcandra Tahar.

Duduk di sebelah kanan saya adalah Dirjen Imigrasi, Ronny F Sompie dan pendahulunya, Bambang Irawan. Di sebelah kiri saya mantan Menteri Hukum Hamid Awaludin dan Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams.

Hamid Awaludin-lah yang menandatangani Undang-Undang Kewarganegaraan di tahun 2006. UU ini diilhami oleh pengalaman para juara bulutangkis Indonesia yang sudah dielu-elukan sebagai pahlawan olahraga yang mengharumkan nama bangsa tapi pengajuan status kewarganegaraannya ditolak tanpa alasan yang jelas.

Pahlawan bulutangkis seperti Ivanna Lie dan Hendrawan, mengalaminya — dan meraih simpati sang menteri. Satu nama legenda lain korban dari carut-marut aturan kewarganegaraan kita saat itu adalah pelatih bertangan dingin kelahiran Lampung, Tong Sin Fu — yang akhirnya kembali ke Cina dan melahirkan para jawara badminton seperti Lin Dan.

UU ini juga mengatur soal kewarganegaraan ganda bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran sampai usia 18 tahun ketika ia diharuskan memilih. Dan lain-lain.

UU ini kembali ditengok dalam kasus Arcandra Tahar, Menteri ESDM yang dua pekan lalu dilantik. Ia — kalau benar telah bersumpah setia sebagai warga negara Amerika di tahun 2012 — dengan sendirinya telah kehilangan status sebagai WNI. Paspor Indonesia di tangannya adalah dokumen negara yang seharusnya ia kembalikan saat itu.
Mereka yang dianggap berjasa atau dibutuhkan oleh negara, boleh saja diberi status WNI oleh Presiden tetapi harus melalui pertimbangan DPR.

Tak ada jalan lain bagi Presiden selain memberhentikannya. Bukan mengundurkan diri.

Selamat pagi Indonesia.