Guru Besar Menyapa

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Minggu-minggu terakhir ini, dimulai dari Balairung Universitas Gajah Mada, suara keprihatinan akan negeri ini didengungkan oleh para intelektual, umumnya para guru besar. Sekalipun mungkin jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah guru besar yang ada, namun tidak lama kemudian gelombang itu menarik gerbong banyak kampus di negeri ini. Pada saat tulisan ini dibuat tidak kurang dari 51 perguruan tinggi negeri swasta yang menyuarakan hal yang sama, yaitu keprihatinan akan nasib demokrasi di negeri ini.

Sudah menjadi kelumrahan bahwa setiap ada aksi pasti disusul reaksi. Pun, dengan keadaan ini. Reaksi pertama, mereka yang mendukung, baik secara diam-diam atau terbuka melalui media sosial.

Melalui kelompok besar ini pemikiran-pemikiran kritis disalurkan, baik melalui tulisan, poster atau tindakan nyata lainnya. Kelompok kedua, kelompok ikut menang, tidak lebih sebagai pemandu sorak. Ikut ramai dan heboh, biasanya dari kelompok ini kemudian muncul pahlawan-pahlawan kesiangan. Kelompok ketiga, kelompok penentang. Pada umumnya kelompok ini mencari dalih untuk mematahkan logika yang diusung kelompok pertama. Mereka yang berada pada kelompok ini pada umumnya yang ada pada tataran pernah menikmati atau diuntungkan dari pihak yang diingatkan.

Pertanyaannya, apakah keprihatinan itu merupakan gerakan demonstratif seperti yang dipersepsikan oleh mereka yang menjadi sasaran? Jika batasan demonstratif termasuk unjuk ungkap pendapat, maka jawabannya “Ya”. Namun jika dimaknai gerakan turun ke jalan ingin berlaku anarkhi untuk menumbangkan pemerintahan yang sah, pendapat itu tidak tepat. Sebab, gerakan ujuk keprihatinan, semata-mata adalah gerakan moral. Hal ini terjadi karena “roso handarbeni” (rasa peduli) terhadap negeri ini besar. Jika ada salah urus, maka kelompok intelektual merasa terpanggil untuk meluruskan pemikiran, tentu dengan beragam cara yang dipilih, salah satu diantaranya adalah mengemukakan pendapat atau unjuk pendapat.

Guru besar yang rata-rata sudah berusia diatas 60 tahun itu, tentu memiliki jam terbang baik pengalaman bidang keilmuan, dan atau pengalaman kemaysrakatan yang banyak. Mereka tentu tidak gegabah dalam mengemukakan pendapat, apalagi itu berkaitan dengan moral. Sebab, dalam tatanan keilmuan, moral adalah kaidah yang memayungi ilmu. Sementara guru besar adalah bernaung di bawah payung moral itu dan melandasi pemikiran dan perilakunya atas dasar ilmunya. Sebab,  jika menilai pemikiran moral yang diusung dengan ukuran perilaku biasa dengan motivasi keduniawian, tentu saja hal itu salah dalam mengambil ukuran. Akibatnya, komentar atau pernyataan tanggapan atau sanggahan menjadi tidak mengena, karena berbeda parameter. Lebih parah lagi jika tanggapan yang diajukan keluar dari konteks, bahkan lebih bermuatan emosi.

Sementara itu ada juga kelompok guru besar yang tidak sependapat karena beda sudut pandang. Hal itu sah-sah saja. Sebab, guru besar itu memang sudah terbiasa untuk berbeda pendapat dalam memandang sesuatu. Ini tentu segaris dengan Filsafat Ilmu yang mereka anut. Perbedaan sudut pandang di dunia ilmu adalah biasa. Yang tidak biasa adalah memaksakan paham atau pandangannya kepada pihak lain yang tidak sepaham atau beda sudut pandang.

Walaupun diwarnai perbedaan, sapaan kaum intelektual sangat jarang berujung revolusi sosial, tetapi yang pasti revolusi pemikiran dan moral etik yang berujung pada terbangunnya peradaban. Atau paling tidak berkesadaran. Perbedaan sudut pandang justru akan terbangun mozaik yang indah, tanpa harus merasa lebih dari yang lain. karena harmoni itu terbentuk justru dari perbedaan sudut pandang.

Yakinlah para guru besar itu bukan sedang mencari popularitas, karena mereka sudah populer di bidangnya. Mereka juga tidak mencari kursi kekuasaan karena rata-rata mereka sudah “tuwuk” alias kenyang. Justru kekuasaan akademik yang melekat pada kegurubesarannya selalu dituntut untuk menjaga etika akademiknya.

Salam waras!