Kehormatan

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Kehormatan banyak disinonimkan dengan penghargaan. Kehormatan lebih kepada sesuatu yang bersifat abstrak, sementara penghargaan lebih mengarah kepada sesuatu yang nyata. Walaupun pemisahan itu tidak tepat benar karena ada pada wilayah ontologi, sementara bila berada pada wilayah aksiologi maka pemaknaan menjadi subjektif sesuai kebutuhan.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka tidak salah banyak di antara kita metukarposisikan antara penghargaan dan penghormatan. Dan, itu sah-sah saja manakala berada pada wilayah praksis, sekalipun jika kita tarik ke wilayah filosofis tidak jumbuh. Namun berapa banyak orang yang berpikir sampai pada hakikat seperti itu. Oleh karena itu, tidak salah jika kata “penghormatan” menjadi semacam kata sulih untuk “mengedepankan selangkah, meninggikan seranting” dari peribahasa lama yang sudah jarang sekali dipakai saat ini.

Saat ini penghormatan sudah mendapatkan tafsir baru dalam khazanah kehidupan. Makna baru tersebut seiring dengan perkembangan akan keinginan manusia mendapatkan sesuatu yang lebih atau dilebihkan, terutama yang berkaitan dengan aspek nonmateri. Oleh sebab itu, tidak aneh jika tafsir yang dilekatkan berbeda dengan konsep tafsir selama ini sebagai sesuatu norma yang dianut.

Sebagai contoh,  syarat untuk menjadi guru besar itu tidak mudah. Bahkan ada yang sampai bertungkuslumus guna mencapai derajat itu, karena harus memenuhi persyaratan yang tidak ringan. Namun, ternyata di dunia yang berbeda, guru besar dapat dianugerahkan sebagai pemberian. Yang menerima tidak harus menyiapkan sejumlah syarat berat sebagai penyerta sebagaimana lazimnya. Anehnya lagi, dalam aturan perundangan yang kita sepakati melalui lembaga terhormat, guru besar itu harus memberikan pengajaran di perguruan tinggi. Ternyata ada penerima yang dari semenjak menerima guru besarnya sampai kini belum pernah mengajar atau membimbing mahasiswa pascasarjana. Begitu dikonfirmasi kepada teman yang paham akan perundangan, jawab beliau sambil tersenyum penuh arti “namanya juga kehormatan”.

Ternyata kehormatan yang semula memang pantas untuk mendapatkan penghormatan, telah bergeser makna. Kehormatan hampir mirip serupa sekarang ini, yaitu pada zaman kerajaan di Nusantara, ternyata sudah banyak ditemukan. Ada penghormatan berupa gelar kebangsawanan, ada juga pemberian karena jasa-jasanya maka diberi “Tanah Perdikan” atau tanah bebas pajak. Sampai-sampai keturunannya dijadikan selir oleh raja. Dan itu justru merupakan kehormatan bagi yang bersangkutan untuk ukuran saat itu.

Hanya pada masa modern sekarang bentuk penghormatan itu menjadi seolah lebih terhormat karena dilaksanakan dengan cara lebih terhormat, walaupun beda tipis dengan gila hormat. Hal ini terjadi karena begitu mudahnya persyaratan untuk mendapatkan penghormatan. Hal itu  bisa dilakukan dengan cara transaksaksional simbolik. Maka, jadilah sempurna dari suatu ketidaksempurnaan tadi.

Ternyata kata kuncinya ada pada nilai dan moral. Tentu saja ini bersifat subjektif. Sebab, masing-masing individu akan memiliki batasan sendiri-sendiri. Contohnya “kepatutan”. Bisa jadi untuk orang tertentu satu perbuatan dianggap patut untuknya, namun bagi orang lain hal itu tidak patut. Kecuali nilai-nilai moral yang universal, tentu ini melekat kepada sesuatu yang lebih sakral, seperti halnya hak-hak asasi manusia dan atau kemaslahatan bersama.

Tampaknya celah ini dimanfaatkan oleh mereka yang licik untuk dapat menggapai apa yang diinginkan, termasuk memberikan penghormatan, agar terjadi transaksional simbolik. Akhirnya, hal itu akan menyandera yang diberi oleh si pemberi. Namun, bisa juga merupakan balas budi dari sesuatu yang telah diberikan pada masa lalu.

Selanjutnya pada wilayah ontologi terserah kita akan memberi makna apa pada “kehormatan”. Sebab, selagi di wilayah itu, kita bebas menabalkan nilai. Hanya manakala itu berada pada wilayah aksiologi kita harus mampu memberikan argumentasi pertanggungjawaban secara moral mengapa kita ada pada wilayah itu.

Salam waras.