Review  

Menangkup Ironi ‘Burung tak Bersayap’

Buku Kumpulan Prosa "Burung tak Bersayap", karya Dalem Tehang (dok/inilampung)
Buku Kumpulan Prosa "Burung tak Bersayap", karya Dalem Tehang (dok/inilampung)
Bagikan/Suka/Tweet:

Endri Kalianda
Esais, Tinggal di Bandarlampung

Sang ayah mertua tak bisa berucap apa-apa. Ia langsung memeluk Hadi. Mereka pun bertangisan. “Sekarang saya bagaikan burung tak bersayap. Bapak saya meninggal tepat setahun saya di rutan. Sekarang istri saya menyusul. Ayah pahamkan bagaimana burung tanpa sayap? Pun anak-anak saya. Mereka adalah tiga anak burung yang juga tak bersayap. Ayah mereka di penjara, mama mereka sudah menghadap Yang Kuasa. Tolong Ayah jaga ketiga anak burung itu.”

Penggalan dialog Hadi dengan mertua dan anak-anaknya itu adalah kalimat penutup salah satu cerpen dalam buku “Kumpulan Prosa; Burung tak Bersayap” yang ditulis Dalem Tehang dengan editor Isbedy Stiawan ZS. Siger Publisher, 2022.

Sepintas, judul itu merupakan kejanggalan kalimat. Anomali. Bisa juga disebut cacat. Sebab, tidak mungkin dibenarkan logika jika ada burung yang tak bersayap. Tapi, itulah sastra. Kadang ambigu, menubruk logika, melawan “yang lazim” dan sering punya dalih, lisensi puitika. Semacam kebebasan mereduksi sebuah fakta demi menyulut makna.

Benarkah Dalem Tehang memakai hal itu untuk mengubah sintaksis standar, penyimpangan bahasa, diksi dan pengucapan umum dalam rangka mencapai kecukupan aturan tonal dan metrum, termasuk melanggar aturan sintaksis dasar demi keindahan kalimat dalam “Burung tak Bersayap”?

Saya mulai pelan-pelan membaca semua prosa dalam buku Dalem Tehang ini, menyelami setiap judul dan tema di dalamnya. Tercatat ada 25 judul yang berisi lakon hidup beragam tokoh. Alur dan latar, semua mengangkat satu lema yakni, kehidupan dan sisi lain dari narapidana.

Diksi “Burung tak Bersayap” ini menurut Himawan Ali Imron dalam pengantar di buku itu, yang membuat dirinya ikut terlibat membantu penerbitannya hingga sampai di tangan pembaca, selain kalimat yang digunakan Dalem Tehang juga bersayap-sayap. Disebut, buku ini sangat menarik disimak dan dinikmati khalayak, agar ada pengetahuan soal sastra dan beragam kehidupan di dalam penjara.

Sebagai editor, Isbedy Stiawan ZS banyak diadili untuk ikut mempertanggung jawabkan diksi “Burung tak Bersayap” yang jadi judul buku. Saya menyimak serunya dialog antara Antoniyus, Himawan Ali Imron, Isbedy Stiawan ZS, dan Adi Sugianto di ruang belakang KGM itu, Rabu malam, 16 Maret 2022.

Bagi saya, de Sade yang menulis dan meluncurkan karya-karya roman vulgar dari penjara. Cikal bakal lahirnya filsafat liberti dan paham sadisme itu, cukup sebagai bahan permenungan. Dalem Tehang lewat prosa-prosanya membuat antitesis dari penjara tentang bingkai moralitas dan banyak mengeksplorasi beragam kesedihan seorang narapidana. Bahwa kemudian sastra yang diusung dalam “Burung tak Bersayap” ini, memang melulu fokus pada tematik keseharian dan pikiran-pikiran warga binaan.

Gambaran kondisi ruang 6 kali 6, dihuni 12 orang tahanan, teralis besi sebagai pembatas penjara, sebutan Kapten untuk senior atau yang dianggap tokoh, detail-detail itu, jika menurut teori, dikenal dengan “pendekatan ekspresif”. Yakni, pendekatan yang fokus pada pengarang dengan teks. Tentang ide, gagasan, emosi dan pengalaman-pengalaman batin.

Di buku ini, kita akan disodori sebuah pantulan dari kelemahan pendekatan ekspresif itu sendiri. Dimana jebakkan realitas pengarang dan teks dianggap padu padan. Kesamaan, identik dengan dunia nyata. Seolah, mengajak kita pada pemahaman, ini liputan jurnalistik dengan menyamarkan nama dan latar tokoh atau mutlak fiksi dengan imaji Dalem Tehang? Kita ketahui, sebuah teks mesti dilihat sebagai keberaksaraan yang kokoh berdiri sendiri. Namun buku “Burung tak Bersayap” pasti tanpa magnet dan nir-daya kejut, jika penulisnya adalah orang bebas. Kisah-kisah dari balik jeruji tahanan, dilema, problem, suka duka warga binaan, pasti kehilangan pikat. Namun tahanan yang menulis sastra berlema penjara, pasti menemukan objek dan mendapat sentuhan yang paling sublim dari kehidupan bui itu sendiri.

Persoalannya kemudian, apakah Burung tak Bersayap layak disebut sebagai teks sastra yang bisa dibedah dengan pisau mimetik, pendekatan ekspresif, pragmatik, objektif dan atau semiotik struktural? Atawa sebatas curhat dan catatan harian yang menarasikan kisah hidup penulisnya sendiri? Lebih ekstrem, pada pertanyaan Antoniyus yang menganggap anomali. Apakah Burung tak Bersayap merupakan sastra gelap. Prosa gagal yang sebagai teks, sulit dimengerti selain oleh pengarangnya dan Tuhan.

Saya yang sudah membaca buku ini, menemukan hal-hal lain, seperti pembenar postulat, orang baik jika sudah berurusan dengan hukum, cendurung jadi orang jahat. Jika orang jahat, banyak yang bertobat. Ada sebuah medan permenungan yang konsen diusung Dalem Tehang pada setiap judul prosanya. Sementara pada “sesat fikir” dan kesalahan memakai istilah “Burung tak Bersayap“. Cukup menyandarkan pada upaya Dalem Tehang mencari padanan majas metafora. Yang terkadang, sebuah diksi dan kalimat dari prosa, lahir seperti detak batin. Semacam intuisi dan penemuan puitis dari hal-hal sepele yang telihat, maupun terlintas di pikiran.

Mari kita uji. Apakah makna dan istilah burung tak bersayap cukup menggambarkan ironi dan puncak kesedihan dari tiga anak yang ayahnya dipenjara dan ibunya meninggal? Apakah burung tak bersayap dapat diterima sebagai majas metafora dari seorang lelaki yang dipenjara, ayahnya baru meninggal dan kemudian, disusul istrinya, hingga tiga anaknya dititipkan kakek atau mertuanya di Waylima, Pesawaran?

Topik ini, bagaimana pun, memantik diskusi yang tak mudah diselesaikan. Kenapa misalnya, kita menerima istilah kutu buku, parasit, bulan rebah di meja, dan sebagainya sebagai bagian majas. Tetapi menolak majas yang lain. Kita ingat model Kredo Puisi oleh Sutardji Calzoum Bahri. Saya kutipkan; “Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya.”

Pada pengertian majas sebagai upaya menguatkan emosi kalimat pada yang bukan makna sebenarnya atau konotasi. Lihatlah usaha Dalem Tehang memaksakan majas Burung tak Bersayap dengan penguatan lanjutan kalimat. “Ayah pahamkan bagaimana burung tanpa sayap?” Artinya, dibaurkan dengan majas retorik. Pada dimensi anomali melawan aksioma, seolah Dalem Tehang gagal membangun diksi Burung tak Bersayap. Tapi, mencermati narasi secara utuh tentang ironi, teks ini cukup kuat sebagai pondasi utama buku prosa. Sebuah prasyarat ketika batas lisensi puitika boleh dipergunakan. Kalimat itu menyungsang, dan Dalem Tehang berhasil menangkapnya sebagai “pilihan kata” yang puitis di puncak kalimat-kalimat ceritanya.

Ketika membaca buku Burung tak Berasayap ini, saya menemukan hal-hal yang cukup mengejutkan.

Ada cerita yang menurut saya paling kuat. Yakni, prosa berjudul “Ketika Pemetik Setengah Hati” halaman 165. Berkisah tentang Aldi, berusia 19 tahun. Namun sudah lebih 25 sepeda motor yang “dipetiknya”. Bukan hanya di Kota Bandarlampung, wilayah kerja atau aksi kriminal Aldi bukan hanya di Bandarlampung, tetapi sudah sampai ke seberang. Mulai dari Serang, Cikampek, Cirebon, sampai Bandung. Aldi menjadikan kerja pemetik sebagai bakti dan pembuktian anak yang bertanggung jawab pada keluarga, membiayai keperluan sehari-hari kedua orang tua dan tiga adiknya. Selalu minta doa dan direstui ibunya ketika hendak metik. Lalu, terjadilah klimaks ketika metik tapi dengan rasa setengah hati. Akibat dirayu teman.

Aldi tertangkap. Dipenjara. Kawannya berhasil kabur.

Secara bebas, tanpa tedeng aling-aling Dalem Tehang menulis nama lokasi, rumah, dan titik dimana Aldi digeruduk dan dikepung massa. Di sini, sebagai pembaca kita diseret pada pemahaman, apakah Aldi nanti ke luar jadi orang baik-baik atau justru jadi pemetik profesional? Sebab, tergambar selama di penjara, Aldi justru terhibur karena bareng rekan-rekannya yang tertangkap. “Sedang menebus dosa dan kesalahan”.

Pada kisah “Pemetik” ini Aldi jadi tokoh tunggal, prosa ini berdiri sendiri sebagai cerpen atau benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Sulit dibedakan. Mengingat nama tempat, semuanya ada dan semua orang Lampung, pasti tahu peristiwa yang terjadi pada medio 2015 itu.

Sebagai teks sastra yang coba dibangun dalam narasi self-reflection dan story narrative di buku Burung tak Bersayap oleh Dalem Tehang ini, menjadi pendulum lahirnya model prosa yang layak diperhitungkan dalam buku sastra modern. Selain tentu saja, menambah lahirnya khasanah sastrawan Lampung kontemporer.

Dalem Tehang banyak bermain bukan hanya soal tematik dan lika-liku kehidupan penjara dalam pespektif narapidana. Yang utuh digambarkan dalam beragam nama tokoh dengan lilitan problem hidup masing-masing. Lihat Sang Amnesia di hlm.95;

“Pria bernama Bono itu, berjalan. Perlahan. Menuju kamarnya. Sebuah ruangan sel di rumah tahanan. Sudah 7 bulan Bono tinggal di sini. Selepas ia didakwa menyalahgunakan anggaran alokasi dana desa alias ADD.”

Berkisah tentang Bono, bendahara desa yang dihukum 26 bulan itu, dengan dakwaan korupsi yang tak bisa dapat remisi dan asimiliasi. “Bono tetap tabah menjalani takdirnya. Meski ia masih didera penyakit amnesia. Yang membuatnya masih bisa tertawa adalah tenggang rasa kawan-kawan satu kamarnya.”

Beragam prosa di Burung tak Bersayap ini, semuanya mengesankan, cukup kuat membuat deskripsi, ciamik memainkan alur, enak dibaca. Dan terutama, kemampuan menangkup ironi serta lilitan keadilan dalam hidup “warga binaan” yang secara apik dan ajaib diolah, dinarasikan oleh Dalem Tehang.(*)