Menjadi Manusia Esei

Bagikan/Suka/Tweet:
Prof. Hasyim Ismail (Malaysia), Ibu Nur (Indonesia), Dr Haji Ramlee (Bruney)

Oleh Alexander GB

(Catatan Pelatihan Penulisan Esei Mastera, Badan Bahasa, 31- 6 September 2014)

Di Kebun Wisata Pasir Mukti Cietereup, Bogor, perbincangan ini dimulai, menjadi manusia esei.  Agus R Sarjono adalah pelatuknya. Ia yang mengawali bagaimana setiap individu sesungguhnya berpotensi menjadi manusia esei. Manusia dengan kebebasan dan kemungkinannya untuk menjadi apa saja. Kita lupakan definisi. Esei bekerja dengan menghadirkan metafora-metafora, sesuatu yang sekilas tampak paradoks, alegori-alegori, mencari kaitan antara peristiwa yang sederhana, sepele, dengan sesuatu yang besar bahkan yang maha besar. Bagaimana menyandingkan antara tembakau dengan kesadaran, antara sandal jepit dengan kondisi perekonomian kita, antara sepakbola dengan filsafat hidup, menemukan hubungan konsep adzan dengan politik atau bahkan cara memasak , dan sebagainya, dan sebagainya.
Sepanjang pelatihan mereka mengelak untuk memberikan definisi baku terhadap esei. Mereka mengelak untuk menjadi pasti. Seperti manusia yang mestinya tak terburu-buru pada definisi-definisi. Memang ini menjadi pengalaman yang semula membingungkan, namun sekaligus memukau. Lebih jauh Emha Ainun Nadjib menjabarkan secara panjang lebar bahwa dengan menjadi eseis kita tidak menjadi siapa-siapa tetapi sekaligus menjadi siapa-siapa, Tujuan esei menemukan bahwa kesadaran kita atas hidup tidak dikurung oleh batasan-batasan akademis, oleh rambu-rambu ilmiah, melainkan menjauh dan melebar hingga ke cakrawala, menembus keremangan dan terjebak di dalam kegelapan.
“Esei bukan tulisan ilmiah yang dipersyarati oleh kaidah-kaidah keilmuan, kecerdasan dan kejernihan terhadap fakta-fakta, serta oleh teguh dan tajamnya logika. Tetapi beban esei bisa lebih berat, karena esei harus lebih meluas dan mendalam dibanding ilmu.  Oleh karena itu, menulis esei bagi dalam pandangan saya adalah menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang terbuka dengan segala kemungkinannya. Bukan manusia-manusia definitif. Bukan masa. Tetapi manusia yang unik, yang otentik,” ujar sosok yang akrap di sapa Cak Nun ini.
Badan bahasa adalah lembaga yang sangat berjasa dalam hal ini. Mereka yang telah bersusah payah mengundang dan mempertemukan kami dengan para Narasumber dan Fasilitator hebat tersebut. Dari tanggal 1 – 6 September 2014, otak kami dicuci, dibersihkan dari karat-karat yang selama ini mengekang kemanusiaan kami.  Cakrawala berpikir kami jadi meluas, hingga terkadang kami jadi cemas sendiri. namun kecemasan itu tentu manusiawi dalam proses perjalanan kesadaran kami sebagai individu, sebagai sekumpulan daging yang ingin menjadi manusia, menjadi Dasein dalam istilah Heidegger, dan pelan-pelan menjauh adri apa yang ia sebut sebagai Das man.
Pada kesempatan ini kami dipertemukan dengan Proffesor Hasyim dari Malaysia, DR Haji Ramlee dari Bruney Darussalam, Agus R Sarjono, Acep Zam-zam Noer, Cecep Syamsul Hari perwakilan Indonesia. Dan Emha Ainun Nadjib yang esei lisannya telah membuat kesadaran saya tergugah, dan sekaligus merasa malu, sedih dengan keterbatasan pemahaman saya selama ini. Kami ditelanjangi. 
Karenanya kami merasa sangat beruntung. Kami tidak hanya diberi rambu-rambu bagaimana menulis esei, tetapi kami juga diperlihatkan bagaimana berkebun, menyemai rumbut, menyebar benih, dan diarahkan untuk menjadi manusia. Proses yang terjadi selama enam hari ini saya anggap paralel dengan pemahaman kita akan pemikiran Heidegger tentang Dasein yang tidak seperti Mengada yang lain, ia selalu dalam proses menjadi Ada. Oleh karenanya, Dasein mungkin ada, tapi juga mungkin tiada. Bahkan Dasein adalah kemungkinan itu sendiri. Dasein selalu berproses mencari jati dirinya, yakni dengan memahami Ada sebagai eksistensi Dasein itu sendiri. Hal ini mungkin dilakukan Dasein dengan menyembul keluar dari keseharian, yang melupakan.

Ada, dan menyadari Adanya. Perlu ditekankan, bahwa Dasein seringkali hanya menjadi Das man yang melupakan Adanya dan hanya larut dalam keseharian. Untuk menyembul keluar dari keseharian, bukanlah dengan meninggalkan keseharian itu sendiri, sebab Dasein tidak bisa keluar dari faktisitas keberadaannya di dunia, melainkan mencandra keseharian yang banal tersebut. Pada titik inilah barangkali mistik keseharian (metafisika keseharian) memperoleh mementum penjelasannya. Menyembul dari keseharian bukan berarti lari dari keseharian, tapi menyelami hal-hal yang selama ini dianggap remeh temeh dan profan untuk diangkat menjadi hal yang lebih transenden dan ontologis.
Barangkali demikianlah pelajaran yang bisa kami petik selama mengikuti kegiatan yang diprakarsai oleh Badan Bahasa. Hadir pada kesempatan ini  Mahwi Air Tawar,  Mario F Lawi, Langgeng Prima A, Niduparas Erlang, Peri Sandi Huizche, Muhammad Ikhsan, Gilang Saputro, Pungkit Wijaya, Uniawati,   mewakili Indonesia,  empat orang perwakilan Bruney Darusalam (Dayang Siti Hawa Binti Yakup, Dayang Ruhana binti Radin, Awangku Haji Amirul Amin bin Pengiran Haji Jamaludin, Awang Mohammad Khairol Nazwan bin Karim), dan tiga perwakilan dari Malaysia (Puan Nur Fatiha Fadila binti Abu Bakar, Hani Salwah binti Yakup, Encik Shahrun Nizal Bin Mohd Nor).

Enam berlalu sudah, tetapi saya rasa banyak hal yang tertinggal dalam benak kami, peristiwa ini akan selalu terkenang dalam waktu yang lama, juga persaudaraan yang terbina di antara peserta penulisan Mastera 2014. Terimakasih Badan Bahasa, semoga program ini membawa kebaikan bagi kita semua.

Emha Ainun Nadjib dan penulis perwakilan Indonesia.