Kisah Edi, Pengrajin Gula Semut dari Desa Kotadalam Lampung Selatan

Edi Sutrisno (45), pengrajin gula merah warga Dusun Umbul Waru, Desa Kota Dalam, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan yang membuat inovasi kreatif mengolah air nira kelapa menjadi gula semut.
Bagikan/Suka/Tweet:

Zainal Asikin | Teraslampung.com

LAMPUNG SELATAN — Minggu, 13 Januari 2019. Jam dinding di rumah Edi Sutrisno (45) menunjukkan pukul 09.30 WIB. Edi dan warga  RT 02/05 Dusun Umbul Waru, Desa Kotadalam, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan ini tsibuk di rumahnya melakukan aktivitas seperti biasa sebagai pengrajin gula yang akan mengolah air nira kelapa menjadi gula.

Dari 20 pengrajin gula merah yang ada di Dusun Umbul Waru, Edi merupakan satu-satunya pengrajin gula yang melakukan inovasi mengolah gula merah biasa dari nira kelapa menjadi gula semut. Bahan pangan olahan itu, kini menjadi salah satu inovasi terbaru yang ada di Kabupaten berjuluk Gerbang Sumatera.

Pria yang memiliki tiga orang putri ini tengah menunggu kuali dan oven berisi rebusan air nira kelapa di rumahnya dibantu istrinya, Yani Puji Astuti (38), dan dua orang pekerjanya untuk mulai memproses air nira sadapan itu diolah menjadi sebuah olahan penganan yang diberinama gula semut.

Gula semut bukan berarti gula yang dikerubungi semut. Gula semut adalah gula merah yang berbahan dasar nira kelapa yang diolah hingga berbentuk serbuk. Gula semut memiliki aroma khas dan warnanya kuning kecoklatan. Itulah yang membedakan gula semut dengan gula merah pada umumnya (konvensional). Diberi nama gula semut, karena dilihat spintas bentuknya seperti semut.

Gula semut hasil inovasi kreatif Edi Sutrisno yang dikemas dalam bentuk plastik berbagai ukuran dan toples serta penganan jenang kaspe hasil olahan berbahan dasar gula semut.

Meski tergolong baru, namun usaha gula semut ini memiliki prospeknya sangat menjanjikan. Selain sebagai kebutuhan sehari-hari, gula semut ini juga bisa mengobati penyakit. Bahkan gula semut hasil olahan Edi sudah diuji lab, dan mendapat sertifikasi laik produksi dari instansi pemerintah.

“Sudah 18 tahun saya jadi pengrajin gula merah, sejak saya menikah dengan istri saya Yani. Kalau melakukan inovasi membuat gula semut ini, baru saya lakoni sekitar enam bulan belakangan ini,”kata Edi saat ditemui teraslampung.com di rumahnya, Minggu 13 Januari 2019.

Edi menuturkan, pembuatan gula semut yang dilakoninya ini terbilang masih baru, hal itu berawal dari adanya penyuluhan dan pelatihan mengenai pembuatan gula semut dari Dinas Perkebunan dan Ketahanan Pangan awal Agustus 2018 lalu yang diadakan di Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan.

Sebab, kata Edi, manyoritas warga yang tinggal di Dusun Umbul Waru, Desa Kota Dalam dan Desa Budidaya, Siring Jaha, Suak, Banjarsuri, Sukabanjar dan desa lainnya sebgai perajin gula merah cetak pada umumnya atau konvensional yang kerap disebut dengan gula jawa.

“Jadi pengrajin gula merah, sejak dari dulu yakni zaman nenek dan orangtua kami. Karena kebanyakan warga yang tinggal di sini (Umbul Waru), menjadi pengrajin gula merah. Sebab di tempat kami tinggal tidak ada sawah, mayoritas pekerjaan warga jadi penyadap nira yang dibuat gula merah konvensional,”ujarnya.

Lantaran harga gula merah yang rendah, kata Edi, sehingga membuat warga desa meminta kepada penyuluh bagaimana caranya agar bisa mengembangkan usaha sebagai pengrajin gula merah. Karena dari hasil nira kelapa yang didapat, bisa diolah menjadi bahan pangan yang lebih bernilai ketimbang gula merah konvensional (biasa) tersebut.

“Setelah ada pelatihan dari Dinas Ketahan Pangan, sejak saat itulah saya mulai beralih dan mencoba melakukan inovasi membuat gula semut yang bahan dasarnya dari sadapan air nira kelapa,”ucapnya.

Yani Puji Astuti (38), istri Edi mengemas gula semut.

Geliat usaha gula semut ini, lanjut Edi, tidaklah langsung diminati khususnya pengrajin gula merah cetak. Karena, warga masih membutuhkan proses untuk bisa menekuni usaha gula semut tersebut. Beberapa desa di wilayah Kecamatan Sidomulyo, banyak perajin gula merah cetak dari nira kelapa dan aren. Tapi yang mengolah nira kelapa menjadi gula semut, hanya ia sendiri yang menggelutinya.

“Bukan hanya di tempat saya tinggal saja, mungkin bisa dikatakan di Lampung Selatan ini hanya saya sendiri yang membuat gula semut. Kalau untuk produksi sementara ini, dalam sehari saya baru bisa produksi sekitar 10 kilogram saja,”ungkapnya.

Edi mengutarakan, proses pengolahan gula semut ini, berbeda seperti membuat gula cetak biasa. Proses pembuatannya memakan waktu 6 hingga 8 jam, mulai mengolah nira kelapa yang disadap dan diberi air kapur sirih. Setelah itu diturunkan, lalu direbus dalam kuali besar diatas tungku sembari diaduk hingga mengental dan matang menjadi gula.

Selanjutnya, kata Edi, dimasukkan ke dalam cetakan mangkuk plastik. Setelah dingin gula dirajang hingga jadi buliran kecil-kecil, lalu dimasukkan dalam mesin oven untuk disangrai sampai benar-benar kering dan mengkristal. Hal itu dilakukan, untuk menurunkan kadar air sampai 20 persen. Kalau gula merah cetak biasa (konvensional), kadar airnya bisa mencapai 40 persen bahkan lebih.

“Untuk proses sangrai menurunkan kadar airnya, membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Jadi mulai proses awal pembuatan hingga jadi gula semut, memakan waktu selama 6 hingga 8 jam,”bebernya.

Tidak hanya itu saja, gula semut hasil olahannya itu disebut-sebut memiliki kandungan kadar gula jauh lebih rendah ketimbang gula cetak biasa atau gula pasir. Manfaat gula semut hasil olahannya, selain higenis juga rendah kalori dan membantu mengurangi penyakit kolesterol serta kadar gula. Hal tersebut dibuktikan dengan keluarnya hasil uji lab dari Dinas Ketahanan Pangan pada tanggal 23 November 2018 lalu.

“Sudah ada uji labnya, dari hasil uji lab kadar airnya dalam kandungan gula semut mencapai 20,3 persen, proteinya 0,8, lemak 0,1 dan karbohidratnya 92,37 persen. Karena proses pengolahannya, sehingga kadar airnya banyak menguap saat pengovenan,”terangnya.

Dia mengatakan, gula semut hasil olahanya tersebut, dijual dalam bentuk kemasan plastik dan toples, mulai dari Rp 10 ribu untuk ukuran 200 gram, Rp. 20 ribu ukuran 400 gram dan Rp. 40 ribu untuk ukuran 800 gram.

Saat ini, gula semut hasil olahannya tersebut jadi pengganti gula pasir atau gula cetak biasa untuk memasak dan lainnya. Sehingga, warga mulai banyak yang mencari dan membeli gula semut ketimbang gula merah cetak biasa ataupun gula pasir.

Gula semut rendah kalori hasil olahan dan inovasi Edi Sutrisno

Selama memproduksi gula semut, Edi mengaku terkendala hanya di market (pemasaran). Sementara ini, pemasarannya baru sekitar lokal saja belum sampai meluas keluar daerah. Kendala lainnya, pada alat oven yang belum memadai. Edi baru memiliki satu alat oven, dan itupun masih sangat sederhana karena hasil karya buatannya sendiri.

“Harapannya, pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya agar kiranya dapat membantu hasil inovasi saya ini mengenai marketnya,”ungkapnya.

Meski belum membuahkan hasil yang signifikan, Edi akan terus menekuni usaha gula semut berkalori rendah dan memiliki khasiat lainnya hasil dari inovasinya tersebut.

“Pembelinya masih dari teman-teman saja, ya baru seputaran di Desa Kota Dalam ini saja. keuntungannya cukup lumayan, hasilnya sudah bisa dirasakan jika dibandingkan membuat gula merah cetak biasa,”jelasnya.

Selain membuat gula semut, kata Edi, ia juga membuat panganan jenang kaspe dan madu mongso yang diolah menggunakan bahan dasar dari gula semut dan ketan hitam dan diberi nama “Roro Jinggan”. Panganan hasil olahnya tersebut, baru dipasarkan di warung-warung di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.

“Selain buat serbuk gula semut, saya juga membuat olahan panganan jenang kaspe dari gula semut. Hasil uji labnya juga sudah keluar, dari hasil uji lab itu kandungan isi dalam panganan kadar airnya 18,2 persen, proteinnya 1,1 persen, lemak 3,0 persen dan karbohidratnya 72,6 persen,”tukasnya.