Tuhan Telah Mati

Bagikan/Suka/Tweet:

: Tentang Kematian Penyair  dan Legitimasi Teks

Oleh Oyos Saroso H.N.

Akhirnya! Kembalilah! 
Pun dengan siksamu yang nyeri!
 
Padaku orang terakhir yang sepi…

Friedrick Nietzshe

Penggalan puisi di atas merupakan antagonisme pemikiran Nietzsche tentang
Tuhan. Dari Alp, Sils Maria, Nietzsche menggilindingkan Zarathustra dan
berteriak: Tuhan telah mati! Tetapi, dalam baris-baris puisinya ia justru
menemukan Tuhannya. Tampak di situ, ”Tuhan yang antropologis” akhirnya diganti
dengan ”Tuhan yang teologis”. 

Sejauh mana kebenaran tesis itu?  Hingga sekarang
belum ada yang mampu menjelaskannya secara valid. Tetapi, setidaknya bagi
Nietzsche, pernah ada Tuhan yang hidup. Lalu dibunuhnya.

Tuhan telah mati. Penjelasan apa lagi yang dapat diberikan oleh realitas
radikal semacam itu? Jika subjek tertinggi sebagai pencipta telah mati,
dapatkah ‘objek realitas’ mampu menjelaskan dirinya tanpa keterkaitan subjek?

Ketika puisi dilempar ke wilayah massa dan jadi milik publik, pada dasarnya
subjek penyair telah mati. Tidak ada manusia lagi di sana, kecuali catatan
romantisme biografis, yang kadangkala dijadikan acuan untuk memahami teks. Yang
ada adalah ’aku penafsir’ (I) dan ’engkau objek’ (Thou, teks). Idealnya ’aku
penafsir’ tidak menghancurkan berbagai makna dalam sejarah konteks. Penafsir
dan teks harus selalu dalam situasi dialogis dan saling menyediakan cakrawala
untuk bertemu dengan mesra. Pertemuan tersebut oleh Hans Georg Gadamer disebut
sebagai “suatu penyingkapan” atau “pertemuan ontologis”.

***

Setelah subjek penyair mati, terpuruk di antara onggokan sampah peradaban, maka
peran subjek digantikan oleh penafsir atau publik pembaca.

Yang menjadi perdebatan selanjutnya adalah: (1) kematian manusia
penyair tanpa diotopsi, (2) hadirnya objek realitas, (teks) yang terpenggal
dari sejarah, (3) terasingnya konteks sastra (puisi) dari realitas obyektif.
Perdebatan yang terus melingkar-lingkar, yang sering justru menjauhkan diri
dari sastra, pada akhirnya tidak mencerminkan realitas yang utuh.

Berbagai kecurigaan tentang manusia penyair yang mati, muncul bersamaan dengan
kegagapan memaknai puisi. Bahasa teks yang berfungsi sebagai aspek penandaan
telah mendapatkan beban yang berat, sehingga ia tidak mampu menjalankan fungsi
kesusastraannya.bahasa tiba-tiba menjelma makhluk aneh yang sulit
diidentifikasi. Namum, pada akhirnya siapa pun tidak bisa menolak kehadiran
sastra. Terlepas dari apakah mereka akan menerimanya sebagaimana melahap pizza
atau minum Coca-Cola.

Basis utama sastra adalah manusia. Tetapi, sastra tanpa bahasa menjadi nonsens.
Bahasa merupakan medium efektif untuk seluruh komunikasi yang memungkinkan
manusia berada dalam satu ruang pemahaman. Kegagalan menempatkan diri dalam
ruang pemahaman selalu bersumber pada bahasa. Jika subjek yang hadir dalam
ruang pemahaman hanya berkutat pada bahasa biografinya sendiri, maka subjek
yang hadir itu selalu pasti akan terlempar ketempat yang jauh dan sepi. 

Lalu, mungkin ia akan berteriak: ”dunia apa ini?”. Padahal, kesalahan terletak pada
kekurangsadarannya memahami realitas lain ketika dia sedang memasuki ruang
pemahaman.

Banyak penulis dan filsuf modern mengatakan, bahasa puisi bersifat lebih
’mewahyukan’. Bahasa tidak diturunkan dari pengalaman empiris yang
direduksikannya menjadi berbagai metafora. Bahasa puisi terutama lahir dari
proses pengembaraan penyair untuk menangkap intuisi.

Intuisi di sini tidak identik dengan wahyu Tuhan yang diberikan
kepada nabi. Intuisi bukanlah perasaan irasional, melainkan suatu pengetahuan untuk
melihat secara menyeluruh. Dari cakrawala yang dilihatnya itu, sejumlah
pengalaman diinternalisasikannya kembali ke dalam dirinya, sehingga puisi
menjadi cermin jiwa dan diri penyair yang telah mengalami proses trans-objektif.
Akhirnya, wilayah realitas sastra (puisi) dengan realitas objektif menjadi
berjarak.

Wilayah realitas sastra dan realitas objektif yang berjarak, sering menimbulkan
pengacauan pemahaman dalam proses penandaan. Juga ketegangan. Publik pembaca
atau penafsir ketika membaca teks acap menggegam ‘pisau bedah’ untuk melakukan
penandaan. Yang terjadi kemudian teks ‘terburai’ menjadi serpihan dan luka
parah. Teks hanya dipahami sebagai gejala bahasa yang dikaitkan dengan sekian
biografi yang tidak terjaga. 


Penafsir yang telah siap masuk ke dalam ruang pemahaman pada dasarnya berada
dalam realitas objektif. Ia selalu terkepung oleh berbagai wacana
politik-ideologi- ekonomi-sosial-budaya, yang dengan bahasanya sendiri-sendiri
telah melakukan represi terhadapnya. 

Dalam posisi seperti tiu penafsir adalah ’pembaca yang tidak bersih’ meminjam
istilah Afrizal Malna. Ia pun telah bersiap-siap untuk menyusul ’kematian’
penyair yang telah mati tanpa diotopsi itu. Kematian publik (penafsir) terjadi
pada saat ’aku-penafsir’ berposisi sebagai pelaku reproduktif yang
’menginginkan sesuatu yang lain’ dari teks yang dihadapinya, dan terperangkap
ked alam jaring-jaring romantisme biografis.

Kematian publik tentu tidak perlu ‘diotopsi’. Sebab, teks tidak
menyediakan ruang duka cita kepada siapa pun yang hadir. Tetapi, ‘kematian
penyair’,  bagaimanapun juga, merupakan
masalah eksistensi-humanisme yang perlu mendapatkan penjelasan.

Dalam kerangka pemikiran Hegelian, manusia selalu dalam proses untuk  ’menjadi’. Ia
tidak pernah dalam posisi yang ‘selesai’, ‘paripurna’, dan statis.

Pada konteks penyair, proses untuk ’menjadi’ dimulai ketika seorang
penyair merambah ke luar realitas ke realitas di luar realitas objektif, keluar
dari dirinya, dan melahirkan dirinya kembali (eksteriosasi). Kemudin
mempresentasikan seluruh pengalaman untuk menjadi dirinya sendiri
(interiorisasi).
Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dari proses eksteriosasi itu.
Sebab, ia berada di luar jangkauan subyek penyair. Maka, setelah puisi lahir,
sebagai proses ekteriosasi dan interiorisasi, ia tidak secara otonom milik
penyair. Penyair dan puisi, masing-masing memilki biografi sendiri-sendiri, yang
keterkaitan antara keduanya tidak bisa diterangjelaskan secara gamblang.
Bahkan, penjelasan tentang puisi oleh penyair sendiri sekalipun tidak akan
menyamai realitas yang ada dalam puisi.

Sastra dan Bahasa Kekuasaan

Hans-Georg Gadamer. (dok nndb.com)

Setelah manusia mati dalam puisi, bahasa sastra telah kehilangan makna, maka
tidak ada satu pun orang yang bisa menjaga teks dengan senjata. Teks tetap
bebas menentukan posisinya di antara seribu slogan dan bahasa iklan. Tidak ada
yang akan melakukan represi terhadap publik untuk membaca sastra sebagai dunia
yang penuh makna. 

Dalam kesendiriannya, sastra tetap berdiri gagah meskipun lukanya telah
berdarah-darah. Sementara itu, hegemoni penguasa telah menciptakan imperium
tunggal untuk segala proses pemaknaan. Dari wilayah itu telah tumbuh
pelegimitasi yang totaliter dan menegasikan kemungkinan pemaknaan lain terhadap
teks. Dan,dari wilayah lain,muncul pendobrakan massa yang dilakukan dengan bahasa
kekuasaan juga.

Selayaknya, dalam proses penandaan terhadap teks ada kejelasan garis pembatas
anatara realitas teks dengan realitas obyektif yang telah menjadi wilayah
kognitif pembaca. Pembaca yang telah sadar diri tentu tidak akan melakukan
intervensi terhadap realitas teks. Sehingga ketika realitas obyektif yang
dimiliki pembaca telah terlalu pasif oleh bahasa kekuasaan, ia tidak harus
mengganyang teks dengan bahasa yang direproduksi dari bahasa kekuasaan juga.

Bahasa kekuasaan tidak menyisakan tempat bagi pembaca mereproduksi pemahaman
terhadap teks. Bahasa kekuasaan selalu diturunkan dari konsep hubungan antara
I-It (Aku-Itu), sedangkan bahasa sastra berasal dari korespondensi antara I-Thou  (Aku-Engkau). Hubungan I-It tampak dalam dunia pengalaman, yang
didalamnya terkandung maksud-maksud ’Aku-menggunakan’, ’Aku-memperalat’, dan
’Aku-mengekploitasi’. Yang timbul adalah kesewenang-wenangan terhadap objek.

Hubungan I-Thou lebih merupakan hubungan kerja sama dan korespondensi. Teks
yang sedang dihadapi ’aku-pembaca’ atau ’aku-penafsir’ berada dalam tataran
yang sama dengan posisi subyek. Dari hubungan ’aku-pembaca’ dengan teks (I
dengan Thou) seperti itulah yang memungkinkan terjadinya dialog sejati. Dan inilah sebenarnya
hakikat sebuah pemaknaan atau penafsiran terhadap teks.

Namun, pemahaman terhadap basis bahasa yang berbeda itu kurang disadari oleh
para pembaca teks. Ia selalu tidak bebas berposisi sebagai ’aku yang
menafsirkan’ sebab di otaknya telah tumbuh sekian banyak referensi. Begitu ia (pembaca, penafsir) gagal memberikan pemaknaan terhadap teks, maka
buru-buru ia akan mengatakan basis penciptaan berasal dari dunia gelap. 

Lalu, secara
bersama-sama, seperti para khorus dari Athena, mereka mengklaim fenomena
masifikasi budaya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap hilangnya makna
bahasa sastra.***