Opini  

“Kasus” Pelantikan Pejabat, Nasib Mantan Wabup Lampung Utara di Ujung Tanduk

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Feaby Handana

Untuk kali ke sekian, Pemkab Lampung Utara kembali melakukan blunder fatal dalam mengambil kebijakan. Akibatnya, petahana terancam tak dapat mengikuti pelaksanaan Pilkada mendatang.

Blunder yang dimaksud adalah pergantian puluhan pejabat di lingkungan Pemkab Lampung Utara tiga hari jelang berakhirnya masa jabatan pemerintahan Bupati Budi Utomo-Wakil Bupati Ardian Saputra. Tepatnya, pada tanggal 22 Maret 2024 lalu.

Total ada 73 pejabat yang masuk dalam daftar pergantian pejabat tersebut. Rinciannya, 34 pejabat eselon III dan 39 pejabat eselon IV. Kala itu, pejabat yang melantik dan mengambil sumpah dari puluhan pejabat itu adalah Pelaksana Tugas Asisten III Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Utara, Dina Prawitarini.

Awalnya, pergantian ini adem ayem saja. Tidak ada masalah berarti. Kalau pun ada, itu hanya sebatas kritikan yang ramai di media sosial. Alhasil, proses serah terima jabatan antarpejabat lama dan baru berjalan mulus seperti biasanya.

Mereka pun segera menempati posisi barunya masing-masing. Tentunya, setiap dari mereka langsung melakukan proses adaptasi lingkungan dan tugas di tempat kerja yang baru.

Celakanya, sepekan kemudian, terbitlah surat edaran dari Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian. Surat dengan nomor 100.2.1.3/1575/SJ yang ditujukan kepada gubernur atau penjabat/Pj gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia itu berisikan kewenangan kepala daerah yang melaksanakan Pilkada dalam aspek kepegawaian.

Adapun inti dari surat tersebut adalah penegasan pelarangan bagi kepala daerah untuk melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon peserta Pilkada sampai dengan masa akhir jabatan. Celakanya lagi, masa enam bulan yang dimaksud ternyata terhitung sejak tanggal 22 Maret 2024.

Tanggal ini bertepatan dengan proses pelantikan terakhir yang pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Penetapan awal larangan itu merujuk pada Lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024. Dasar larangan itu sendiri diatur dalam ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Terdapat sanksi tegas yang akan diberikan bagi mereka yang kedapatan melanggar ketentuan tersebut.

Sanksinya pun bukan main-main. Petahana yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada dapat dibatalkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Dengan demikian, dapat dipastikan mimpi petahana untuk bertarung dalam Pilkada akan pupus.

Sejumlah daerah langsung merespons larangan tersebut dengan melakukan pembatalan pelantikan yang telah dilakukan. Berdasarkan penelusuran di mesin pencarian google, daerah-daerah itu di antaranya Pemerintah Kota Pematangsiantar, Pemkab Dompu, Pemkab Bangka Selatan, dan Pemkab Lombok Tengah, Pemkab Sleman, Pemkab Bangka Barat.

Kebanyakan dari daerah ini masih belum mengalami pergantian kepemimpinan. Kepala daerahnya masih sama. Inilah yang membuat mereka dengan cepatnya langsung membatalkan kebijakan pelantikan yang telah dilakukan. Mereka jelas tidak ingin terkena sanksi pembatalan pencalonan dari KPU akibat kebijakan pergantian pejabat tersebut.

Apesnya, kondisi berbeda terjadi di Lampung Utara. Respons mereka sedikit lamban terkait persoalan ini. Mereka masih saja ingin berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat terkait larangan tersebut. Alhasil, sampai dengan sekarang belum diketahui pasti kebijakan apa yang akan dilakukan oleh mereka terkait larangan itu.

Respons lamban mereka sendiri sejatinya dapat dimafhumi. Sebab, tongkat kepemimpinan Lampung Utara telah berganti. Bupati sebelumnya telah berakhir masa jabatannya sejak tanggal 25 Maret 2024 lalu. Kini, kabupaten tersebut dipimpin oleh seorang Penjabat/Pj Bupati.

Lantaran belum mengeluarkan kebijakan pembatalan pelantikan pejabat maka pihak yang paling terancam kepentingannya saat ini adalah mantan Wakil Bupati Ardian Saputra. Ya, nasibnya dapat dikatakan berada di ujung tanduk.

Mimpinya untuk ikut serta dalam Pilkada pada November mendatang bergantung sepenuhnya pada pemimpin Lampung Utara saat ini. Jika Pj Bupati Lampung Utara mau membatalkan pelantikan yang telah dilakukan oleh pemerintahannya sebelumnya maka mimpinya tak akan pupus di tengah jalan. Begitu juga sebaliknya.

Pun demikian dengan ke-73 pejabat yang baru dilantik tersebut. Meskipun nantinya mereka berpeluang kembali ke jabatan sebelumnya, tapi secara psikologis, persoalan ini tentu membuat mereka tidak nyaman.

Persoalan yang terjadi di Lampung Utara ini sejatinya tak lepas dari ketidakjelian mereka dalam mengambil sejumlah kebijakan. Kebijakan berisiko tinggi sering mereka ambil. Salah satunya pengangkatan Kepala Desa Subik yang menafikan aturan yang berlaku. Se-Indonesia, mungkin baru Lampung Utara sendiri saja yang melakukan kebijakan seperti ini.

Puncaknya, terjadi dalam persoalan ini. Padahal, aturan telah secara tegas melarang pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon Pilkada sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Kemelut yang terjadi saat ini hendaknya dijadikan pembelajaran bagi bupati terpilih mendatang. Jangan ada lagi kebijakan kontroversial. Berpikirlah dengan lebih cermat sebelum bertindak. Dengan demikian, kestabilan dalam pemerintahan akan terus terjaga sehingga publik tak terus disuguhkan dengan “dagelan-dagelan” yang tidak seharusnya.