Soal Tampang Boyolali, Prabowo Tidak Bersalah

Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso HN

Judul di atas seolah menegaskan bahwa saya membela Prabowo dalam heboh pidato Prabowo yang salah satu bagiannya menyitir tentang “tampang Boyolali”. Sebagai orang yang berdiri di luar pagar dua kubu yang kini bersaing pada Pilpres 2019, saya tegaskan: itulah kesimpulan saya setelah saya mengumpulkan aneka referensi berupa transkripsi pidato Prabowo di Boyolali dan inferens saya tentang budaya Jawa.

Saya lahir dan besar di Pulau Jawa (daerah Purworejo, Jawa Tengah) yang berjarak sekitar 112-an kilometer dari Kabupaten Boyolali. Saya belajar bahasa, sastra, dan filsafat Jawa sejak saya kecil hingga saya menapaki bangku perguruan tinggi. Referensi dan inferensi saya tentang Jawa, insya Allah, tidak akan membuat saya “tersesat” ketika berbicara soal Jawa.

Inferensi itulah yang “menyelamatkan” saya dari kemungkinan terpengaruh dampak viral “heboh tampang Boyolali” yang dilontarkan Prabowo. Bagi saya, pidato Prabowo itu biasa-biasa saja dan tidak perlu membuat orang Boyolali bereaksi keras, tersinggung atau marah. Sebab, maksud Prabowo adalah bercanda, guyon yang diselipkan dalam pidato. Dan, bagi orang Jawa, menikmati guyon bernada satire untuk menertawakan diri sendiri adalah hal lumrah.

Kesalahan Prabowo dalam konteks pidato berbumbu “tampang Boyolali”, menurut saya, adalah Prabowo tidak pandai melucu. Mungkin juga Prabowo tidak terlalu dekat dengan aneka sanepa Jawa. Dua hal itulah kemungkinan yang membuat maksud melucu Prabowo menjadi tidak lucu, meskipun banyak pendengar pidatonya tertawa ketika tampang Boyolali dibeberkan Prabowo.

Dalan pidato bermaksud melucu itu, saya menduga Prabowo sedang ingin mendekatkan diri atau setidaknya mengidentikkan diri dengan orang Boyolali kampung yang bertampang lugu (dan barangkali memang terlalu ndeso bin ndhesit seperti saya). Soalnya menjadi lain ketika fakta susah dimungkiri bahwa Prabowo bukanlah ndeso atau layak memiliki tampang Boyolali yang (katanya) tidak bisa (terbiasa) masuk hotel berbintang).

Menurut catatan sejarah, kakek Prabowo dari garis ayah memang Jawa (Raden Mas Margono Djojohadikusumo). Ia tokoh penting pada zamannya dan pendiri Bank Negara Indonesia. Ayah Prabowo (Sumitro Djojohadikusumo) lahir di Kebumen, Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 150 km dari Boyolali.

Sama-sama Jawanya, tetapi beda “kastanya” dengan orang Jawa kebanyakan. Terbiasa dididik dalam keluarga ala Eropa, hidup dalam keluarga yang berkecukupan, pernah menjadi menantu orang nomor satu di republik ini, menjadikan Prabowo tidak terlalu “membumi” jika berbicara masalah kemiskinan atau melucu denan menyitir tampang Boyolali. Sebab, faktanya Prabowo adalah orang yang dibesarkan dalam keluarga kaya raya. Sampai sekarang pun Prabowo termasuk kelas elite dengan jumlah kekayaan yang tidak sedikit.

“Jarak realitas” yang begitu jauh dengan orang Jawa kebanyakan itulah membuat lelucon Prabowo tentang tampang Boyolali menurut saya menjadi tidak lucu.

Agar tidak “tersandung” oleh ucapannya sendiri, ada baiknnya Prabowo perlu melakukan refleksi kembali. Mungkin para penasihatnya bisa memberikan masukan yang baik dan benar tentang materi pidato sehingga maksud baiknya tidak menjadi harimau bagi dirinya sendiri.