“Tahukah Kamu, Lampung Krisis Listrik?”

Bagikan/Suka/Tweet:

Gunawan Handoko

Gubernur Lampung panjenenganipun Mas M. Ridho Ficardo beberapa waktu lalu sempat berkicau melalui twitter @mridhoficardo terkait dengan krisis listrik yang terjadi di wilayah Provinsi Lampung. Kicauan yang diawali dengan kalimat ‘Tahukah kamu…..”  tersebut cukup panjang lebar, mencapai 77 paragraf sehingga orang yang berumur lebih setengah abad seperti saya ini terpaksa harus berhenti beberapa kali membacanya untuk mengelap kacamata minus, sekaligus mengulang kembali isi kicauan yang sempat terlupa.

Diyakini, bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca pasti akan mengurungkan niatnya untuk merampungkan isi kicauan tersebut, males mikir… Tapi karena terdorong rasa penasaran, adakah Gubernur Lampung akan memberi penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada masyarakat tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Lalu langkah apa saja yang telah dilakukan Gubernur dalam mengatasi krisis listrik belakangan ini?

Saya pikir ini penting, bahkan sangat penting untuk disampaikan mengingat sebagian besar masyarakat taunya bahwa saat ini sedang terjadi kerusakan jaringan atau peralatan, seperti kabel yang tertimpa pohon tumbang, travo yang terbakar akibat tegangan arus pendek, atau ada spare part/suku cadang yang harus di ganti dan pesennya mesti dirakit dulu di Jepang sana, dan banyak spekulasi lainnya.

Masyarakat selalu berharap semoga lusa, minggu depan atau bulan depan aliran listrik bisa kembali normal. Hal yang wajar, karena pihak PLN sendiri pun tidak pernah mau terbuka, hanya memberi informasi bahwa sedang dalam perbaikan. Sementara semua media, baik cetak maupun elektronik seperti sedang kena sirep dan kompak untuk tidak mengangkat berita yang satu ini, walaupun diyakini teman-teman awak media tahu persis bahwa sedang ada masalah. Padahal, teman media juga merasa terganggu dengan adanya listrik yang byar pet ini, bahkan tidak sedikit yang menyampaikan sumpah serapah. Tapi hanya lewat media sosial, bukan koran atau televisi……

Alhasil, sampai selesai saya menyimak seluruh kicauan yang ada, tidak satu patah kata pun apalagi kalimat yang menyatakan bahwa krisis listrik yang terjadi di Lampung akibat belum tersambungnya aliran listrik dari Sumsel ke Lampung, karena ada kawasan perkebunan anu milik perusahaan si anu yang tidak atau belum bisa dilewati jaringan tower (Sutet) milik PLN. Yang ada hanya upaya penyadaran atau pesan kepada masyarakat bahwa byar pet yang saat ini dirasakan telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu, maksudnya sebelum era kepemimpinan Ridho – Bakhtiar gitu. Masyarakat juga harus tahu bahwa untuk merencanakan, membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik baru butuh waktu setidaknya 4 tahun.

Ada agenda besar Pemprov Lampung dengan memunculkan mindset Kemandirian Energi, sesuai UU Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009 sebagai upaya mewujudkan slogan Lampung Maju dan Sejahtera 2019. Konon, sejak Januari 2015 Pemprov Lampung telah melakukan inventory dan negosiasi dengan perusahaan yang bergerak di bidang ketenagalistrikan untuk berinvestasi di bidang ketenagalistrikan di Lampung dan akan dibangun Independent Power Plant (IPP).

Konon lagi, Gubernur juga telah menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) atau Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik proyek pengembangan Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Semangka, dan banyak kerjasama yang lain. Terbayang oleh saya, mungkin ke depan Lampung ini akan seperti Saudi Arabia, terang benderang karena surplus listrik. Yang membedakan hanya satu, di sini pelanggan pasti tetap bayar, sedangkan disana gratis sepanjang masa, kecuali biaya instalasi dan sambungan.

Namun, persoalan yang dihadapi masyarakat hari ini cukup krusial, butuh penanganan yang bersifat tanggap darurat. Ibarat kita mau makan nyruit, tidak mungkin harus menanam pohon durian dulu untuk mendapatkan tempoyak. Maka sambil menunggu  program jangka panjang terealisasi dan siap dioperasionalkan, tentu harus ada solusi untuk mengakhiri krisis listrik yang saat ini belum ada kepastian kapan berakhir. Dan ini menjadi tugasnya Pemerintah.

Di tengah kegalauan hati, rekan-rekan LSM dana organisasi profesi seperti Walhi, LBH Bandarlampung, AJI, dan YLKI dengan dukungan penuh teman aktivis serta tokoh penggerak melakukan gerakan 1.000 Lilin di Tugu Adipura Bandar Lampung, Kamis (17/3/2016). Seperti telah di duga sebelumnya, aksi ini ternyata mampu untuk membuka tabir hitam atas krisis listrik yang terjadi.

Seperti gayung bersambut, aksi yang melibatkan ribuan masyarakat tersebut ternyata telah mengusik ketenangan pihak PT. Sugar Group Company (SGC). Yang dipersoalkan bukan banyaknya massa yang hadir, tapi judul kegiatannya yang dinilai tendensius karena menggunakan kata “Gulaku Tebang.”

Adalah Heru Sapto, Adminstrasi manager PT  SGC yang kemudian nongol di berbagai media koran dan televisi. Ia menilai bahwa aksi tersebut sangat tendensius atau berat sebelah dengan memposisikan PT SGC sebagai pihak yang bersalah dan menjadi penyebab matinya listrik. Menurut Heru, pada dasarnya jalur untuk pembangunan tower telah diberi ijin, tinggal bagaimana PLN mengerjakannya. Benarkah? Pihak PLN tidak membantah pernyataan tersebut, hanya saja ijin yang diberikan bukan untuk  membangun tower jaringan Sutet yang melintas di atas areal perkebunan raksasa itu, melainkan transmisi bawah tanah (underground) yang jika diitung-itung bisa menghabiskan biaya sekitar Rp900 miliaran.

Izin yang diberikan tersebut tidak berikut Hak Guna Usahanya (HGU) yang saat ini masih dipegang oleh PT GSC, entah sampai kapan. Tentu PLN sebagai perusahaan ‘penjual jasa’ berpikir untung rugi, hal yang wajar. Kini pihak PLN sedang perencanakan alternatif perubahan rute pembangunan tower yang melintasi PT. GSC, pascaketidaksanggupan PLN membangun jaringan bawah tanah. Banyak yang bertanya – termasuk saya tentu saja – bukankah itu tanah milik Negara yang menurut UUD 1945 dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat. Kenapa jadi ribet begini, dimana Negara saat ini berada, kok sepertinya diam?

Mungkin, sekali lagi mungkin panjenenganipun Mas Ridho Ricardo dalam posisi serba salah. Di satu sisi dalam kapasitas sebagai Gubernur Lampung harus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Artinya komitmennya harus jelas dan jangan sampai diragukan. Di sisi lain, Mas Ridho terlahir dan tumbuh besar dari guwo garbo  PT. SGC. Sungguh pilihan yang sulit, bahkan amat sulit. Tapi nuwun sewu, rakyat butuh listrik sekarang, bukan 4 atau 5 tahun lagi…….